top of page
Search

Wanita: Pinggiran dalam Gender?

Mufadlila Dienul Zahra (18/424766/SA/19138)

Asmi Ramiyati (18/430853/SA/19468)


Sore itu, selepas kelas Antropologi Ekonomi, kami menerjang teriknya matahari yang menyengat khas Jogja dengan perasaan yang malas menerjang keramaian Malioboro, kami menuju Taman Budaya Yogyakarta. Berdesak-desakkan di jalanan bagai ikan-ikan yang baru saja ditebari pellet di tengah empang. Dua kombinasi yang sangat sempurna untuk merusak mood di sore itu. Tapi dengan berbagai alasan itu, beban tugas menulis lebih memberatkan kami, akhirnya kami melawan diri sendiri untuk berangkat menuju Taman Budaya Yogyakarta guna melengkapi tugas kami terkait Biennale Equator Jogja XV 2019.


Jujur saja kami bukan golongan manusia penikmat seni yang gemar mendatangi pameran dengan sengaja. Ketika kami mendengar Taman Budaya Yogyakarta sebagai salah satu lokasi Biennale equator Jogja XV 2019, tempat tersebut jauh dari bayangan dalam benak kami. Apalagi Biennale itu diselenggarakan hanya dua tahun sekali, namun kami baru mendengar nama pameran seni tersebut karena mendapat tugas menulis ini.


Sesampainya di Taman Budaya, kami disambut oleh dua bapak satpam yang berjaga. Namun mereka hanya terdiam dan melihat kami yang berlalu begitu saja menuju parkiran. Pertama kami memasuki lokasi, terlihat gedung putih besar dengan gaya kuno yang memancarkan khas peninggalan Belanda. Dilengkapi dengan pintu utama di bagian tengah serta dua anak tangga sisi kanan-kiri yang saling berhimpitan. Kebetulan sore itu belum banyak orang yang berkunjung, sehingga kami leluasa melihat kanan-kiri gedung Taman Budaya.


Selama melangkah menuju Biennale, kami bertanya-tanya Bagaimana pameran utama dalam Biennale tersebut? Terhenti kami pada sisi kanan pintu masuk utama tertulis deskripsi singkat terkait tema Biennale tahun ini yaitu Pinggiran serta berjudul Do We Live in The Same Playground? Tertulis dalam dinding putih polos itu pula, pinggiran sebagai subjek atau komunitas atau tempat yang tidak diuntungkan, atau secara singkat dapat dijelaskan sebagai antonim dari yang terpusat. Penjelasan tujuan Biennale tertulis pula dengan kapur hitam, yaitu berbicara terkait permasalahan identitas (gender, ras, dan agama).


Biennale Equator Jogja XV 2019 terdapat pameran utama yang dilaksanakan pada tanggal 20 Oktober-30 November 2019. Pameran utama instalasi seni ini bukan hal yang biasa karena melibatkan 52 seniman muda pria dan wanita Asia Tenggara. Biennale Equator XV Jogja digelar pada lima tempat yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Jogja Nasional Museum, PKKH UGM, Jalan Ketandan Kulon 17, dan Kampung Jogoyudan.


Setelah membaca dengan seksama, kami mengetahui bahwa kurator Biennale Equator Jogja XV 2019 melalui pameran tersebut ingin mengajak pengunjung atau penikmat seni memberi merespon terhadap persoalan yang terdapat di Asia Tenggara yang disajikan dalam bentuk seni. Salah satu permasalahan yang angkat yaitu terkait identitas gender dalam masyarakat. Sebab posisi gender begitu erat dengan kehidupan sehari-hari manusia. Bagaimanakah penggambaran gender dalam pameran tersebut? Kami penasaran, Bagaimana gender disentuh dalam balutan seni?


Melangkah menuju pintu utama masuk gedung, di depan terdapat Umbai-umbai Karya Wisnu Ajitama Yogyakarta. Perpaduan manis antara warna coklat muda dan tua yang membentuk usus dua belas jari terbuat dari material triplek bekas sudah menarik mata kami. Karya seni tersebut bergantung horizontal, berikut dengan lantainya. Namun monument penyambutan itu kami rasa cukup berbahaya, karena triplek-triplek tersebut saling direkatkan menggunakan staples yang notabene mudah lepas dan rawan berjatuhan di lantai. Kami khawatir memungkinkan akan melukai pengunjung jika terinjak dengan alas kaki yang tipis.


Ketika memasuki gedung Taman Budaya kesan pertama yang ada dalam benak kami adalah gelap dan lenggang. Dominasi antara cat ruangan yang berwarna hitam dan proporsi karya seni yang mengisi ruangan tersebut berpadu dengan susunan yang cantik membuat pengunjung nyaman berlama-lama di dalamnya.


Wanita, Wanita dan Wanita


Pengamatan gender dalam karya seni kami mulai pada karya seni milik “Muslimah Collective”. Hal ini yang merangsang rasa penasaran kami dan memunculkan berbagai pertanyaan mengenai siapa yang menjadi sasaran tema “pinggiran” ini? Karya ini di balut dalam video, seni dua dimensi dan seni tiga dimensi. Goresan tinta putih di dinding hitam memberikan informasi dan gambaran bahwa "Muslimah Collective" adalah kelompok kolaboratif dari lima seniman Muslim wanita dari Pattani, Yala dan Narathiwat - bagian paling selatan Thailand. Kelima anggotanya adalah: Keeta Isran, Nurlya Waji, Heedayah Mahavi, Kusofiyah Nibues , dan Arichama Pakapet. Kelompok ini dibentuk dengan tujuan mendorong kemauan dan keterampilan terutama seniman wanita di ujung selatan Thailand. "Muslimah Collective" ini berusaha memberikan ruang dan mencirikan generasi baru seniman wanita.


Dilihat dari nama kelompok muslimah ini, sudah mengisyaratkan focus utama pembahasan ini yaitu wanita tanpa sedikitpun tanda akan menyinggung “pria”. Karya pertama dari instalasi “Muslimah Collective” ini yaitu lukisan di atas kanvas putih bertekstur halus dan sedikit tebal tersebut dengan tinta hitam. Menggambarkan berbagai bentuk wajah wanita berhijab serta tulisan-tulisan berbahasa Arab di dalam wajah tersebut.

Kemudian di samping kanannya terdapat karya yang kedua, yaitu lukisan dari kertas yang disusun semi tiga dimensi untuk membuatnya terlihat nyata dan lebih hidup. Lukisan semi tiga dimensi itu dibuat sedikit timbul dengan tambahan kayu di antara dasar dan atas lukisan. Lukisan tersebut menggambarkan aktivitas sehari-hari wanita seperti kegiatan jual-beli di Pasar.


Setelah itu pada karya yang ketiga, terdapat perpaduan kertas dengan rumput kering bersatu dengan sulaman benang dengan membentuk wajah seorang wanita. Hal ini sangat memberikan gambaran seutuhnya tentang wanita, ditambah pula pemilihan ring (alat sulam) juga memperkuat. Sebab kebiasaan wanita jaman dahulu untuk menyulam terlihat dalam karya ini.


Setelah seni dua dimensi, kami disuguhkan dengan semi tiga dimensi yang dibiarkan menjuntai seperti menjemur sprei. Terlihat dua karya yang terbuat dari kain dan serat alami berbentuk jala ikan. Namun di dalam karya tiga dimensi tersebut, kami tidak bisa melihat penggambaran gender.


Kami menyebutkan karya ini wanita, wanita dan wanita. Sebab menampilkan tiga karya yang bersentuhan dengan penggambaran wanita serta gendernya.


Di ujung karya seni tersebut terdapat video “Muslimah Collective” terkait proses pembuatan dan cerita di balik karya. Kami menikmati video yang tersedia, sembari menghirup bau cat namun hal itu tidak begitu menyengat sehingga kami masih ke-enjoy-an seperti menonton film India. Setelah melihat video dan karya seni yang kuat akan gender wanita, terbesit sebuah pertanyaan terkait penjelasan yang dipaparkan pada deskripsi “Muslimah Collective” yang kalimat terakhir menyatakan bahwa, “… for Biennale Jogja XV Equator XV the five muslimah present diverse body of works focused in on muslim ways of life in Pattani…” Namun kami sulit menemukan penggambaran terkait aktivitas keseharian pria pada beberapa karya seni yang ditampilkan. Ketika berbicara terkait muslim yang kuat kaitannya dengan pria sebagai golongan unmarked namun, mengapa penggambaran wanita lebih terlihat jelas di sana?


Kami juga bertanya dalam diri, Mengapa curator menyertakan “Muslimah Collective” di dalam Biennale tersebut? Jika dilihat dari segi material karya seninya mempunyai warna dan tekstur tertentu. Serta karya ini juga bisa di katakan menyimpan berbagai keunikan. Bagi kami, pinggiran jauh dari karya ini, kami melihat pinggiran dalam karya ini memperjelas wanita yang masih terpinggirkan oleh keberadaan karya seni pria yang digambarkan dengan aktivitas seperti berburu. Kurator ingin mengajak kami merespon karya seorang Muslim untuk menuntut kesetaraan dalam seniman wanita.


Semakin berjalan masuk ruang display, music seperti karaoke terdengar samar-samar. Ternyata, hal itu muncul dari instalasi sudut kiri belakang ruang display bernama Pukat Asia Berdendang. Terkait karya seni yang menggambarkan wanita selain “Muslimah Collective", kami juga menemukan hal terkait itu yang sangat menarik, terkait menstruasi.


Menstruasi, Panik dan Wanita



Sebuah boneka yang berwarna putih lembut berukuran sekitar 150 cm yang cukup menyeramkan. Boneka tersebut diletakan dalam posisi duduk di atas kursi dengan alas kain berwarna merah menyala. Bersama dengan beberapa lukisan frame hitam kuno di dinding dan nuansa merah yang mendominasi di sisi tersebut semakin meyakinkan aura menyeramkan dalam pikiran kami. Setelah mendekat, kami mencoba menyentuh boneka tersebut, sontak kami menyadari boneka seukuran wanita dewasa ini terbuat dari pembalut. Jenius! Itu hal yang seketika terlintas begitu cepat di benak kami. Bagaimana seseorang terpikirkan membuat sebuah boneka dari pembalut?


Mandamonderland diketahui nama instalasi seram yang kami amat-amati hingga membuat kaki pegal. Setelah membaca deskripsi, kesan pertama yang dirasa terhadap karya tersebut seperti di-amin-kan. Boneka pembalut ini disebutkan merupakan interpretasi pengalaman emosional sang seniman dengan diberi julukan Manusia. Ada hal lain yang mengusik selepas membaca deskripsi yang dipaparkan seniman, kurator dari boneka pembalut ini dua orang yang bernama Manda Selena dan Andi Baskoro, yang kami asumsikan Manda adalah seorang wanita dan Andi seorang laki-laki.


Hal lain yang mengusik kami adalah kenapa instalasi ini memiliki nama potongan dari hanya seniman yang wanita padahal seniman yang terlibat tidak hanya wanita? Apakah paranoid dan perihal emosional sangat menggambarkan wanita? Pemilihan material pembalut sebagai bahan utama boneka ini sekali lagi merujuk ke arah wanita karena pembalut ibarat kembaran dengan wanita, tidak bisa dipisahkan satu sama lain?


Keunikan dalam Biennale kami temukan setelah kami berselancar di dalamnya. Permasalahan Asia Tenggara yang angkat di dalam wujud seni lebih ringan untuk diterima daripada tulisan-tulisan yang termuat di dalam Koran atau berita online. Hal itu sangat membantu kami mengetahui dan meresponnya. Hal baru itu diterima oleh orang dewasa atau anak-anak karena mudah ditangkap secara visual dapat dinikmati berbagai umur.


Di luar itu berbagai asumsi dan pertanyaan tidak begitu saja lepas dari penak kami terkait wanita dan pinggiran tersebut. Serta menuntun kami kembali ke tema besar acara ini yaitu “Pinggiran” dengan display wanita emosional dan paranoid tetapi tidak bisa berbuat apa-apa yang diwakili dengan Manusia Menstruasi dan "Muslimah Collective" memaksa kembali berfikir bahwa fenomena pinggiran yang diusung dari berbagai negara di Asia Tenggara ini sebenarnya “siapa”? Penggambaran yang jelas terkait gender wanita membuat tema pinggiran ini ingin memaparkan bahwa wanita sebagai sesuatu yang terpinggirkan dalam gender mereka. Namun kami tidak menemukan wanita terpinggirkan dalam seksual pada pameran Taman Budaya itu. Pada sisi gender ini, kami melihat wanita terpinggirkan dalam peran serta emosional yang membuat keberadaan wanita sering dirugikan dan tidak diuntungkan dalam berbagai hal.

44 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page