top of page
Search

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia


Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale mengangkat tema pinggiran yang dikemas dalam tajuk “Do We Live in The Same Playground?” Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam rangkaian acara ini antara lain pameran, residensi, diskusi, dan simposium.


Isu pinggiran pada event ini menjadi “jembatan penghubung” dalam membicarakan bagaimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara berbagi permasalahan yang sama. Biennale Jogja hendak melihat efek-efek berbagai relasi tradisional yang terbentuk di kawasan Asia Tenggara setelah era kolonialisme dan munculnya batas antar-negara-bangsa, tanpa meromantisir relasi-relasi itu. Pinggiran menjadi salah satu sarana untuk memahami kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, terutama tentang masyarakat yang terbelah karena perbedaan preferensi politik atau perbedaan-perbedaan lainnya. Melalui tema ini, Biennale juga mengajak kita belajar dari perspektif pinggiran.


Saya berkunjung ke Biennale Jogja XV pada hari Minggu, 10 November 2019 dan Kamis, 21 November 2019. Lokasi pameran yang saya kunjungi adalah yang berada di Jogja National Museum. Satu per satu ruangan yang terisi dengan karya insalasi saya masuki dan saya cermati. Saya tertarik dengan karya-karya instalasi yang menyinggung kemampuan tubuh manusia, di antaranya “Hands Around in” karya Moe Satt dan “Rest in Fear-2” karya Pendulum. Dari sana para penciptanya mampu mengajak khalayak untuk berhadapan dan berefleksi tentang situasi marginal dari daya fisik manusia.

Tentang Karya “Hands Around in”

Saat saya masuk ke pameran, di lantai satu saya melihat sebuah ruangan yang lengang dari barang-barang pameran ataupun instalasi. Di sana hanya tergantung lima monitor di dinding yang menampilkan berbagai cuplikan video. Saya amati sebagian besar cuplikan yang tayang menampilkan aktivitas tangan dari banyak orang. Kemudian saya keluar sejenak untuk melihat deskripsi dari instalasi ini. Ternyata instalasi ini memang menaruh perhatian pada tangan. Judulnya “Hands Around in” karya Moe Satt dari Yangon. Instalasi ini ditampilkan melalui media lima tayangan kanal video yang menampilkan berbagai macam aktivitas tangan-tangan warga di beberapa kota di Asia, yakni Hanoi, Yangon, Busan, Akihabara, dan Yogyakarta.


Moe Satt merekam gerakan tangan dari orang-orang di sekitarnya, mulai dari buruh jalanan, pedagang pasar, sampai seniman-seniman lokal. Ia mengajukan pertanyaan: apakah menurutmu gestur tangan bisa menceritakan sebuah kisah? Apakah gerakan tangan bisa menjadi kunci untuk memunculkan kerja dari dalam yang ada dalam setiap kebudayaan? Moe Satt mengumpulkan banyak cerita tentang tangan yang “liyan” dan melalui hal itu tampaknya ingin menyentil khalayak bahwa banyak, bahkan semua hal besar dimulai dari tangan yang bekerja.


Saya tertarik dengan instalasi ini karena instalasi ini menampilkan sesuatu yang sederhana namun menyadarkan orang-orang akan sesuatu yang besar, yang kadang tidak terduga atau tidak dihiraukan oleh khalayak. Karya semacam ini menempatkan tangan manusia pada posisi yang mulia sebagai salah satu sarana manusia untuk bekerja menuangkan daya ciptanya, dan dengan demikian menegaskan pula peran manusia sebagai pelaku kebudayaan. Bukan berarti bagian tubuh yang lain menjadi tidak penting. Semua sama pentingnya. Namun demikian, tangan selain menjalankan fungsi nyatanya sebagai alat manusia dalam bekerja, ia juga menjadi sebuah simbol melalui gestur dan berbagai macam geraknya. Maka saya menangkap makna dari video berbagai macam tangan yang ditampilkan dalam instalasi ini bahwa betapa orang-orang pinggiran sangat mengandalkan kerja tangan atau kerja manual dalam hidupnya. Artinya mereka melakukan segalanya manual. Dari sana tergambar bahwa sebenarnya mereka memiliki kemampuan, kecakapan, dan ketelatenan dalam berkerja yang unggul.


Kini di jaman teknologi yang semakin pesat, banyak orang cenderung kurang mengandalkan keterampilan tangan dalam melakukan atau menghasilkan sesuatu. Namun demikian, mereka yang berada sebagai kalangan pinggiran melakukan pekerjaan mereka dengan tangan mereka sendiri; manual. Menurut hemat saya, kerja mesin jaman sekarang meskipun sangat membantu manusia, namun di saat yang sama melemahkan keterampilan manusia dalam mengerjakan sesuatu dan dalam menghasilkan suatu produk. Di jaman ini, banyak orang dilatih untuk menggunakan keterampilan mesin tapi tidak dilatih bagaimana keterampilan aslinya yang tentu menggunakan daya keterampilan tangan, sehingga banyak orang tidak menguasai keterampilan dasar dan semakin lama banyak orang menjadi “manja”. Harus kita akui bahwa orang-orang pinggiran lebih terampil daripada mereka yang terbiasa dengan kepraktisan.


Tentang Karya “Rest in Fear-2”

Setelah menyusuri lantai satu tempat pameran, saya tertarik untuk melanjutkan ke lantai dua. Di lantai dua saya kembali menelusuri satu per satu instalasi yang dipamerkan dan membaca penjelasan dari setiap instalasi yang dipasang di depan ruang pamer setiap instalasi. Saya kembali menemukan sebuah instalasi yang berangkat dari kemampuan tubuh serta kebutuhan dasar manusia. Instalasi ini berupa panel-panel foto yang menampilkan karya-karya fotografi tentang para pekerja yang sedang beristirahat di ruang istirahat tempat mereka bekerja. Dalam gambar, kepala mereka ditutup karena fokusnya adalah pada apa yang mereka lakukan: istirahat. Karya ini berjudul “Rest in Fear-2” karya Pendulum. Pendulum ingin mengangkat persoalan ruang marginal yang kerap luput dari pengamatan banyak orang. Para pekerja di mall, bioskop, petugas kebersihan, dan sebagainya kerapkali tidak mendapat ruang istirahat yang layak di tempat kerjanya. Pendulum merespon kondisi tersebut dan menunjukkan situasi-situasi marginal yang dialami para pekerja di dalam ruang-ruang tersebut.


Saya tertarik, bahkan tersentuh dengan karya instalasi ini karena karya ini menurut saya benar-benar menunjukkan situasi pinggiran atau marginal yang sebenarnya sangat dekat dengan diri kita. Bahkan hal itu juga merupakan sesuatu yang kita butuhkan, yaitu istirahat. Karya ini saya rasa mengangkat sisi kemanusiaan para pekerja itu sekaligus memantik rasa kemanusiaan kita, bahwa meskipun di dalam masyarakat sekarang para pekerja itu termasuk ke dalam kelompok “pinggiran”, tapi mereka juga manusia seperti kita yang membutuhkan waktu dan ruang untuk beristirahat. Hal tersebut kadang tidak diperhatikan, sehingga kita kadang semena-mena dalam memperlakukan orang lain, bahkan diri kita sendiri, seperti misalnya membiarkan diri terus bekerja tanpa beristirahat demi mengejar suatu hasil yang diharapkan. Juga terkait masalah eksploitasi pekerja, di mana banyak pekerja yang termarginalkan. Banyak dari mereka harus bekerja terus-menerus sepanjang hari (stand by) sedangkan kebutuhan istirahat belum terjamin.


Dalam riset yang dilakukan Pendulum, hampir semua pusat perbelanjaan tidak menyediakan tempat istirahat yang layak bagi para pekerjanya. Tempat istirahat yang disediakan seringkali minimalis, berupa ruangan kecil, berada di kolong tangga, atau dekat dengan toilet. Ada juga beberapa tempat yang tidak memperbolehkan pekerjanya membawa dan menyimpan kebutuhan pribadi, seperti bekal makanan. Hal ini kadang menimbulkan kesan yang bertolak belakang atau paradoks, antara kewajiban menjalankan tugas yang diberikan oleh tempat mereka bekerja dengan kesejahteraan mereka sebagai pekerja. Atau antara hingar-bingar geliat pusat-pusat perbelanjaan dengan kesejahteraan para pekerja di sana.


Penutup

Saya terkesan dengan apa yang ditampilkan di pameran ini, yaitu karya-karya seni rupa yang memiliki daya reflektif yang sangat dalam. Karya-karya yang ada di pameran ini saya kira juga benar-benar mampu menghadapkan pengunjung pada konteks pinggiran dari berbagai macam perspektif dan budaya. Dua karya yang saya singgung dalam tulisan ini menurut saya mengangkat hal-hal yang sederhana, yang bahkan kerap kali tidak kita perhatikan, namun nyatanya memiliki makna yang dalam dan luas.


Karya Moe Satt menyadarkan kita bahwa kehadiran tangan dalam hidup manusia bukan sekadar membantunya dalam bekerja, namun juga mampu “berbicara” mengenai sesuatu dan memiliki makna simbolis yang mendalam. Karya ini juga menyadarkan kita bahwa kadang kita terlena dengan kecanggihan teknologi yang ada sehingga kita abai terhadap kemampuan motorik kita, sehingga efeknya kita yang terbiasa dengan teknologi mesin yang modern dan kalah terampil dengan kaum-kaum yang termarginalkan yang amat mengandalkan kemampuan tangan mereka dalam menghasilkan sesuatu.


Kemudian karya Pendulum juga menyadarkan kita bahwa selama ini kadang kita abai terhadap tubuh kita sendiri yang membutuhkan istirahat, namun kadang kita paksakan untuk terus bekerja. Akibatnya banyak orang yang memiliki kekuasaan juga mengeksploitasi orang lain dan pekerja mereka untuk tidak beristirahat dan memberi fasilitas istirahat yang tidak layak bagi mereka. Hal tersebut kemudian akan semakin memarginalkan para pekerja itu.


*Referensi:

· Pamflet pameran

· Deskripsi tentang instalasi di plakat yang terpampang di setiap ruang pajang

47 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

bottom of page