top of page
Search

Perkara Cilik yang Asik untuk Diulik

Menengok Isu Gender Melalui Karya Seni

Oleh Hanum Ari P. & Widya Milliyani


Kamis, 31 Oktober 2019. Pada siang yang terik kami menuju Jogja National Museum menggunakan sepeda motor untuk mengunjungi Pameran Biennale Jogja. Biennale merupakan salah satu acuan utama dalam meninjau perkembangan seni di Indonesia. Biennale Jogja Equator 5 kali ini menggandeng seniman-seniman Asia Tenggara. Tujuan menggandeng seniman-seniman tersebut yaitu untuk melihat Asia Tenggara sebagai gagasan rumpun kebudayaan. Kali ini Biennale Jogja diadakan di beberapa tempat yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, Ketandan 17, Kampung Jogoyudan, Helutrans Artspace, dan PKKH UGM. Acara ini berlangsung dari tanggal 20 Oktober 2019 hingga 30 November 2019.

Tema pameran Biennale Jogja 2019 adalah Do we Live in The Same Playground. Sebelum memasuki ruang pameran Biennale, sebuah karya seni dengan bahan dasar kantung plastik bekas berdiri menyambut kami di pelataran, unik memang. Karya tersebut berbentuk piramida berundak yang dilengakapi dua buah patung kepala boneka dibagian pagar masuk. Kami pun melanjutkan rasa penasaran kami tentang pameran Biennale ini dengan memasuki ruangan. Setelah masuk ke ruangan, kami harus mengisi daftar pengunjung telebih dahulu. Kami pun diberi tahu tentang aturan pelarangan merekam karya seni. Langkah demi langkah kami turuti untuk melihat karya dari para seniman.

Ada beberapa karya seni yang belum tidak sempat kami pahami maknanya. Untung saja ada tulisan keterangan mengenai karya seni tersebut, setidaknya kami bisa mengambil sebuah interpretasi. Dalam interpretasi kami, karya tersebut merupakan bentuk penggambaran dari sebuah kebudayaan masyarakat atau kelompok yang dianggap menarik oleh seniman. Tak sedikit karya seni yang membuat kami berdecak kagum, tersentuh hatinya, bergidik, paranoid atau parno, dan takut hingga menimbulkan bulu kuduk berdiri.

Dalam sebuah bilik, langkah kami terhenti karena sebuah tulisan “18+”. Penasaran? Tentu saja. Takut? Pastinya. Ragu? Iya. Setelah menimbang-nimbang banyak hal, akhirnya kami pun masuk ke bilik tersebut dengan langkah hati-hati dan perasaan yang was-was layaknya pencuri. Usai berada di dalam ruangan tersebut, kami terdiam memandang sekeliling. Hening, suasana pertama yang kami rasakan saat memasuki ruangan. Pandangan kami menyapu di area sekitar yang masih terlihat sepi pengunjung. Ada delapan gambar yang tertempel di sana. Mendekat dengan pelan ke sebuah tulisan berisi keterangan karya seni. Ya, karya seni tersebut adalah karya dari Yosep Arizal dengan judul Tanggalan Barohiwiyah. Karya tersebut menampilkan tentang apropriasi dari sebuah kitab primbon Jawa yang ditulis dengan huruf pegon.

Di ruangan tersebut juga terdapat kitab primbon yang ditulis dengan huruf arab pegon. Kitab tersebut dipajang dalam sebuah kubus kaca. Kemudian kami melihat gambar satu persatu. Mengamati, meresapi, lalu mengangguk-anggukkan kepala seolah mengerti dengan penjelasan. Gambar tersebut memiliki keestetisan yang terletak pada tulisan dan dua orang yang digambarkan. Keestetisan tersebut juga didikung dengan kertas yang digunakan untuk menggambar dan tata cahaya yang bagus, sehingga mampu menghadirkan suasana masa lampau di dalam ruangan.

Lalu, di dekat pintu ada kumpulan kertas yang disatukan dengan paperclip mulai terlihat lusuh. Kami mendekati dan membacanya. Isinya tak jauh berbeda dengan apa yang tertulis dalam gambar, yaitu mengenai titik gairah laki-laki dalam tanggalan Jawa. Satu hal yang menarik adalah adanya tulisan larangan untuk para pengunjung mengambil kumpulan kertas tersebut. Ya, kemungkinan pengunjung tergiur untuk mengambil kumpulan kertas tersebut sangat besar. Mengapa? Karena di zaman sekarang tulisan tersebut sangat diperlukan untuk memuaskan pasangan ketika bersetubuh, meskipun dia hanya sebuah ramalan primbon. Laki-laki mana yang tak ingin dimanjakan oleh pasangannya?

Puas melihat karya dari Yosep Arizal, kami kembali melanjutkan langkah kaki menuju karya selanjutnya. Kali ini kami menaiki tangga menuju lantai dua. Di lantai dua kami tidak menemukan hal yang menarik untuk diulik. Masih sama seperti di lantai sebelumnya, kami selalu merasa parno dan takut ketika ingin melihat sebuah karya seni yang tertutup tirai dan ruangannya gelap, bergidik. Sebelum, kami melihat keterangan karya seni tersebut. Namun sepertinya tidak berefek apapun terhadap kami, tetap saja parno. Dasar kami!

Kami melanjutkan perjalanan ke lantai tiga menaiki tangga yang berwarna putih. Sampai di ujung anak tangga, kami terdiam. Mata menyusuri penjuru ruangan yang luas, yang terpenuhi dengan karya seni. Benar, ruangan tersebut sepi dari pengunjung. Hanya ada dua orang pengunjung saja. Dengan langkah pelan, kami mulai menyusuri ruangan. Ada sebuah bilik yang membuat kami tertarik, yaitu bilik dengan tirai berwarna merah marun. Di depan bilik tersebut terdapat tulisan “18+”. Akhirnya kami memutuskan untuk membaca keterangan mengenai karya seni tersebut agar tidak parno.

Karya seni tersebut merupakan karya dari seniman asal Denpasar, yaitu Citra Sasmita. Mengutip penjelasan yang tertempel pada tembok, karya dengan judul Timur Merah Project: The Embrace of My Motherland menceritakan mengenai kakawin di Bali yang sulit untuk diposisikan sebagai teks kanon seperti halnya di Jawa. Jika pun ada, itu hanya mengakomodir gagasan elit para pria di istana. Dalam karya tersebut, merekonstruksi narasi historis, seperti narasi peperangan dan seksualitas yang biasanya terdapat di dalam lukisan Kamasan. Dalam narasi yang dibuat, keseluruhan tokoh yang dihadirkan dan menjadi pusat perhatian adalah perempuan, sehingga sisi heroik dan protagonis yang selama ini ditampilkan dalam perspektif maskulin dapat dilihat melalui perspektif yang berbeda, yaitu feminim.

Dengan pelan-pelan kami membuka tirai merah marun. Tercium bau kunyit yang cukup kuat dan menyengat. Satu langkah, dua langkah, dan langkah berikutnya kami memasuki ruangan. Diam, lalu pandangan kami menyampu seisi ruangan. Di ruangan tersebut ada lima buah gambar dan kantung yang digantung. Tulisan dari bubuk kunyit yang merupakan apropriasi dari beberapa kakawin tertulis dengan rapih dan memiliki nilai estetika tersendiri. Tulisan tersebut ditulis rapih dengan gaya tulisan latin. Lalu tembok yang berlapis kain warna merah marun yang berpadu dengan tulisan dari bubuk kunyit yang berwarna kuning keemasan menambah kesan mewah pada ruangan. Dalam interpretasi kami, kunyit digunakan sebagai tulisan karena bisa jadi kunyit menjadi lambang perempuan, wangi dan kesat. Mengapa demikian? Karena kunyit dipercaya mampu membuat vagina para perempuan kesat dan sehat, bahkan mengurangi bau akibat keputihan. Kemudian ketika perempuan sedang menstruasi atau haid, ia dianjurkan untuk meminum jamu kunyit untuk mengurangi nyeri pada perut. Selain itu, kunyit juga dapat digunakan sebagai lulur tubuh yang membuat kulit menjadi halus.

Kedua karya seni di atas secara tidak langsung membahas mengenai isu-isu gender yang terjadi di Indonesia, khususnya di Bali dan Jawa. Dua karya seni ini pun sangat menarik untuk diulik karena menggunakan perspektif yang berbeda dalam membahas isu yang terjadi. Dalam pandangan kami, hal-hal yang terdapat dalam karya Yosep Arizal dan Citra Sasmita merupakan hal kecil yang tanpa disadari sering terjadi di sekitar kita. Contohnya yaitu kurang mengertinya perempuan akan titik tubuh laki-laki yang mampu membuatnya mabuk kepayang ketika melakukan seks. Hal tersebut sangat berbanding terbalik dengan laki-laki. Laki-laki selalu mengetahui titik tubuh perempuan yang mampu membuatnya hilang kendali saat berhubungan seks. Tak bisa dipungkiri jika wanita selalu menjadi objek dalam seksualitas.

Di samping itu, kedua seniman tersebut menggunakan jejak masa lalu untuk membuat karyanya. Seperti yang kita ketahui bahwa budaya atau gaya hidup masyarakat saat ini adalah menjadi manusia modern dengan mengadopsi budaya di masa lalu. Bagi kami, selain memiliki nilai historis, karya seni yang dibuat oleh Yosep Arizal dan Citra Sasmita ini juga memilki nilai estetis yang tak kalah menarik.

14 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page