top of page
Search

Tuntutan Media Sosial dalam Pameran Seni Biennale Yogyakarta

oleh Andhika Miftakhul Huda & Putri Karina Yusuf


Lagi-lagi pameran dan instalasi seni di Yogyakarta sukses dibanjiri pengunjung.Namun, siapa yang dapat menjamin bahwa para pengunjung tersebut benar datang dengan tujuan yang sepaham dengan diadakannya pameran-pameran seni layaknya Biennale ini?Bagi pejalan kaki yang kebetulan melewati gerbang depan Jogja National Museum selagi Biennale berlangsung, jawabannya pasti; ya. Sayangnya, jawaban tadi akan berubah ketika ia masuk ke dalam gedung putih ini bersama ratusan pengunjung yang memenuhi ruangan-ruangan di dalamnya.

Saya tidak mau sok. Saya juga bukan seorang penikmat seni yang kritis atau bahkan pada kebanyakan kasus, tidak tahu bagaimana cara menikmati dan memahami seni yang dipajang di depan mata saya. Baru-baru ini, saya menemukan ketertarikan dan kenikmatan dalam berusaha untuk memahami karya seni di pameran-pameran, hal ini menjadi salah satu hal yang membuat saya sedikit jengkel terhadap pengalaman saya saat mengunjungi Biennale minggu kemarin. Memang betul, saya bingung dan bahkan merasa tersesat dalam karya seni yang terasa sangat personal dan berat di pikiran, namun walau begitu, saya berusaha untuk menikmati sisi atau aspek yang dapat saya kaitkan dengan diri saya sendiri dari seniman atau karyanya, sekecil apa pun itu.

Lalu apa yang membuat saya jengkel? hm.. ya, pengunjung lain. Bukan! Bukan pengunjung yang sedang berdiri di samping saya sambil menikmati karya, tapi yang sibuk mondar-mandir, mengantre, dan memenuhi hanya satu sisi ruangan untuk berfoto. mungkin kini saya terdengar seperti orang tua anti teknologi yang hanya bisa menjatuhkan budaya anak muda, tapi bukan itu maksud saya. Yang menjengkelkan adalah yang masuk ke ruangan, tanpa melihat kanan-kiri langsung menuju ke titik yang memang sudah viral di sosial media sebagai tempat foto. Lucunya, pada beberapa ruangan instalasi tertentu di mana karya seni terpajang hampir di tiap sisi ruangan, ada pula pengunjung yang berfoto di sisi yang bahkan tidak terdapat karya seninya. Misalnya di instalasi seni oleh Angki Purpandono, ruangannya dipenuhi dengan catatan harian pribadi beliau yang dicetak besar dan digantung memenuhi ruangan, di satu sisi, terdapat tangga kayu yang mungkin dimaksud untuk membantu pengunjung yang ingin melihat lebih dekat cetak yang berada di atas. Tangga kayu ini diletakkan di depan salah satu sisi tembok, dan tampaknya tangga ini jauh lebih populer dari karya seni yang memenuhi ruangan ini karena tangga ini tidak pernah kosong selama saya berada di ruangan tersebut (dan saya berada disana cukup lama karena banyaknya halaman catatan pribadi yang dipajang), pengunjung berfoto di atasnya dengan berbagai pose, bergantian dan mengantre.

Saya pikir ini hanya suatu kejadian tidak sengaja, kebetulan saya berpapasan waktu dengan pengunjung yang hobi berfoto-foto, namun setiap saya keluar meninggalkan ruangan-ruangan sumpek yang viral tadi dan pindah ke karya seni yang tidak dapat saya temukan di latar belakang foto-foto di media sosial, sekeliling karya kosong dan ruangan hanya banyak di lirik, bukan di lihat. Kasihan, rasa yang muncul dalam hati saya adalah seakan para pengunjung yang hanya datang untuk mengumpulkan konten bagaikan tidak menghargai seniman dan karya seni yang ada di depan matanya. Padahal begitu banyak tenaga dan perasaan yang telah dimasukkan oleh seniman ke dalam karyanya, yang pasti sangat penuh arti.

Jadi sebenarnya,kemana dan dari mana obsesiuntuk mengunggah foto-foto di dan akan pameran seni? Teknologi untuk memotret atau menyimpan gambar langsung kini sangat identik dengan media sosial, rasanya sudah sangat jarang ada yang memotret hanya untuk disimpan sendiri, pasti untuk dipamerkan di media sosial. Hal ini dapat dengan mudah ditemukan ketika sebuah pameran seni sedang datang ke kota dan seketika media sosial dibanjiri oleh foto-foto dengan latar yang sama, instalasi yang sedang hits.Tidak hanya foto bersama instalasi, tidak sedikit juga pengunjung yang mengunggah foto karya seninya saja, dari berbagai angledengan sentuhan aestetika. Di suatu sisi, mengunggah foto-foto karya seni ini memberikan keuntungan bagi para pengunjung berbentuk likesfoto. Namun, apakah hal ini selain memberi tambahan paparan bagi karya juga secara tidak langsung menurunkan nilai dari karya seni dengan hanya dijadikan konten daur ulang pengunjung?

Mungkin secara sekilas, budaya berburu foto di instalasi seni yang sedang hits memang bagaikan tidak menghargai karya seni, dan mungkin memang seperti itu kasusnya, namun, tidak menutup kemungkinan bahwa fenomena ini memang tidak bisa dihindari dan hanya merupakan dari gelombang atau kategori baru dalam apresiasi seni. Dengan budaya tersebut, instalasi-instalasi karya seni kini menjadi lebih universal dengan terbentuknya wadah bagi masyarakat yang bukan merupakan penggiat seni atau kritikus profesional. Fenomena ini juga dapat membentuk jembatan bagi berbagai kelompok pasar baru yang sebelumnya belum tergapai.

Betul, definisi apresiasi seni kini berubah dengan bergeraknya budaya sosial manusia. Mungkin. Atau mungkin pula fungsi utama pameran senilah yang telah bergerak atau bahkan disalahartikan oleh manusia jaman sekarang dibanding dengan pada masa awalnya. Dari fokus yang bergeser ini, bisakah pengunjung tetap mendapatkan atau menerima pesan seni yang ingin disampaikan? Karena kalau tidak, bukankah artinya pameran seni tersebuttidak mencapai tujuan utamanya karena pameran seni pada dasarnya diadakan untuk menjadi perantara antara seniman dengan para penikmat seni, untuk menjadi jembatan bertemu dan untuk seniman dapat menyampaikan seninya dan pengunjung untuk mengambil kisahnya. Tetapi pada kenyataannya tidak setiap waktu seniman dapat membersamai para penikmat seni. Pada beberapa kasus pun, panitia tidak menyediakan banyak pemandu yang aktif di setiap karya seni yang ditampilkan.

Mengingat kemungkinan bahwa telah lahirnya bentuk apresiasi baru dalam seni jaman sekarang dan dekatnya hubungan pameran seni dengan sosial media, beberapa pertanyaan muncul dalam benak saya; Apakah perilaku seperti publikasi tanpa apresiasi emosional membawa dampak positif yang sepadan kepada para seniman?Apakah hanya membawa pergeseran fungsi pameran seni, atau adanya pesan karya seni yang tertahan, atau bahkan menyebabkan beberapa karya seni yang tidak di-cap estetik akhirnyateracuhkan tanpa disengaja?Apakah publikasi tanpa apresiasi emosional lebih baik dari tidak sama sekali? Lebih baik banyak anak muda tertarik tapi dengan alasan yang berbeda dibanding tidak tertarik sama sekali dan membawa kerugian ke berbagai pihak, apakah seperti itu?

Bagaimana dengan adanya larangan foto di beberapa instalasi? Meningkatkan kesadaran dan menyindir akan bagaimana cara menikmati sebuah karya seni dengan benar atau sesuai, menjaga eksposur agar tidak menjadi pasaran dan turun nilainya dan hanya dinikmati di tempat yang berpotensi menurunkan ketertarikan hingga pengunjung berkurang karena sebenarnya kini pameran seni hanya ramai karena penuh dengan pengunjung yang ingin mengumpulkan konten?

Lagi-lagi, jaman sudah berubah dan budaya terus bergerak, kehidupan seputar pameran seni juga harus terus tumbuh, menyesuaikan lingkungan sekitarnya. Apresiasi seni melalui media sosial dan ramainya suatu pameran atau instalasi karena dipenuhi pengunjung yang ingin berfoto akan perlahan menjadi bentuk validasi dan penilaian baru untuk beberapa aliran karya seni. Perlombaan samar dan tidak terang-terangan yang terjadi mengenai validasi akan estetika ini tidak selamanya perlu dianggap sebagai hal yang negatif misalnya justru dengan memanfaatkan fenomena ini dengan memberikan apa yang dicari oleh pengungjung tersebut demi meningkatkan pemasaran dan secara langsung-tidak langsung, wawasan dan ketertarikan masyarakat terhadap pameran seni.

Sangat jelas, tuntutan media sosial telah perlahan mengubah perilaku para pengunjung pameran seni dan bahkan penyelenggara pameran seni. Para pengunjung pameran seni memiliki sikap dan perilaku yang berbeda karena adanya tuntutan media sosial. Sedangkan penyelenggara pameran seni memiliki tuntutan untuk membuat atau menampilkan spot foto yang estetis atas kebutuhan media sosial.

Media sosial dalam perkembangannya cukup mempengaruhi perilaku pengunjung pameran seni. Perubahan ini merupakan suatu tuntutan yang mengharuskan mereka mendapat status sosial dan kedudukan di dunia maya, yang tentunya status sosial dan kedudukan tersebut bisa jadi berbeda dengan yang ada di dunia nyata. Melihat perkembangan ini, pengunjung pameran seni kedepannya akan melakukan swafoto dengan karya yang estetis lebih banyak lagi. Walaupun begitu kita harus tahu bahwa setidaknya para pengunjung telah datang ke pameran seni dan merasakan sesuatu dari sebuah karya seni untuk dimaknai.

Fenomena ini juga berdampak pada seniman yang dituntut untuk menciptakan sudut estetis dari karyanya yang cocok dijadikan spot foto oleh pengunjung. Mas Arham bersama seniman lainnya melihat fenomena ini sebagai sesuatu yang cukup mengkhawatirkan, tetapi untuk saat ini mereka belum mengambil langkah yang signifikan. Tentunya apabila ditemukan tindakan sewenang-wenang oleh pengunjung terhadap karya seni akan ditindak secara tegas oleh pihak panitia penyelenggara pameran maupun seniman.

Menurut saya pribadi, fenomena ini merupakan suatu bentuk apresiasi baru terhadap karya seni. Keindahan suatu karya dibawa ke dalam publik yang lebih luas hanya dengan memfoto dan menyertakan tulisan singkat. Pengunjung tidak hanya merasakan sudut estetis dari suatu karya seni, tetapi mereka pun bisa mengajak orang lain menikmatinya lewat dunia maya. Imajinasi atas pengalaman pengunjung akan ter visualisasikan dan memudahkan orang lain untuk mengapresiasi karya tersebut secara digital.

Tentunya hal ini harus terus menyertakan makna atau nilai yang terkandung dalam karya seni terkait. Jika seseorang hanya datang untuk berfoto saja tanpa ingin mengetahui makna dan nilai suatu karya seni, menurut saya itu akan menjadi hal yang disayangkan. Interaksi sosial yang ingin dilakukan oleh seniman tidak terjadi, maka hal ini akan terkesan tidak menghargai lawan interaksi. Ada baiknya dalam setiap apresiasi kita tidak hanya memperhatikan bentuk dari objek material yang membentuk karya seni, tetapi melihat pula makna filosofis yang terkandung dalam suatu karya.

30 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page