top of page
Search

Sosok Arham Rahman dibalik Biennale Jogja XV

Anisah Efendi (18/430852/SA/19467)

Tsaniya Insyira (18/424771/SA/19143)


Arham Rahman mulai dikenal dalam arena seni di Yogyakarta terutama setelah kelompok yang ia inisiasi memenangkan kompetisi program dalam Parallel Events yang diselenggarakan oleh Biennale Jogja Ekuator #1, yang mempertemukan Indonesia dengan India. Pada saat itu, Arham bersama teman-temannya menyelenggarakan pameran yang gagasan kuratorialnya berbasis pada penelitian mereka tentang sejarah Bugis yang tidak banyak dibicarakan dalam wacana sejarah kontemporer. Arham Rahman juga sempat memunculkan sebuah narasi yang sangat kuat, terutama dalam hal memberi posisi baru atas peran perempuan pejuang bernama Colliq Pujie yang memberi kontribusi besar pada perkembangan bahasa, sastra dan wacana anti-kolonial pada masyarakat Sulawesi. Tidak hanya berkaitan dengan narasi, proyek seni mereka menunjukkan ketrampilan untuk menurunkan gagasan menjadi karya-karya yang lebih menarik, yang secara visual memberi ruang imajinasi bagi penonton.


Arham Rahman tumbuh besar di Makassar hingga ia melanjutkan pendidikannya ke Yogyakarta pada kisaran tahun 2011. Beliau sempat menempuh Pendidikan di Makassar. Di Makassar ia banyak bergelut dalam bidang sastra, mengingat juga pendidikan formal yang ia dapatkan di Fakultas Sastra Universitas Muhammadiyah Makassar. Namun ternyata, beliau memutuskan untuk mendalami kajian budaya dan melanjutkan sekolah di Program Studi Ilmu Religi dan Budaya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Referensinya yang luas terhadap sejarah dan kajian-kajian Indonesia Timur, dengan perhatiannya yang besar atas teori-teori kajian dan filsafat kebudayaan, membuat Arham dengan segera masuk ke dalam lingkaran intelektual dan akademik dalam dinamika seni di Yogyakarta. Selain itu ia terlibat dalam beberapa proyek penelitian dan penerbitan, serta secara aktif menjadi pembicara atau pemandu diskusi dalam berbagai pertemuan yang melibatkan pemikir, aktivis dan seniman di Yogyakarta.


Setelah melalu berbagai pengalaman panjang yang ia hadapi, akhirnya beliau dipercaya untuk menjadi penanggung jawab bagi program-program seminar dan diskusi di Indonesia Visual Art Archive pada tahun 2017 dari Festival Arsip. Peristiwa inilah yang menyebabkan ia mulai secara intensif mendiskusikan kemungkinan keterlibatan dalam Biennale Jogja 2019. Sebelum bergabung dalam tim kurator Biennale Jogja 2019, sebagian orang juga mengenal Arham sebagai bagian yang cukup penting dalam Biennale Makassar di Sulawesi Selatan pada 2015 dan terlibat kembali dalam penyelenggaraan 2018. Pada saat itu, Arham bekerja ulang-alik di dua kota ini, dan secara khusus menyiapkan sistem kerja atau struktur yang dapat dilakukan oleh teman-teman di Makassar sendiri walaupun ia tidak secara langsung berada di sana.


Sejak awal tahun 2017, Arham juga sudah mengembangkan visi kuratorial di Galeri Lorong, difokuskan pada wacana kepengrajinan (craftsmanship) hal tersebut menjadi sesuatu yang unik yang membedakan ruang ini dengan ruang-ruang lain di Yogyakarta atau di Indonesia. Lalu Arham Rahman menunjukkan kepiawaiannya untuk membangun gagasan-gagasan kuratorial yang menarik dan membuka kemungkinan bagi pertemuan antara praktik kerajinan dan seni kontemporer. Tema-tema yang cukup provokatif seperti contohnya “Performing Crafts”. Suatu ketika ia ditanya mengapa kemudian tertarik untuk mengembangkan lebih jauh tentang kerja kuratorial, Arham menyatakan bahwa “Praktik kuratorial tidak mempunyai pakem atau metode yang baku. Setiap kurator bisa mengembangkan metodologi dan praktik kerjanya sendiri. Ditambah lagi, peluang untuk berdialog dengan berbagai jenis gagasan sangat terbuka, yang membuat kita terus tertantang dan terus belajar. Itu yang membuat praktik kuratorial itu menarik buat saya.”


Dalam Biennale Jogja Equator #5 Arham Rahman bersama para tim kurator lainnya mengangkat adanya isu yang menarik yaitu tentang pinggiran dan melihat beberapa soal umum. Pertama, mengenai bagaimana subjek-subjek pinggiran membayangkan kawasan (Asia Tenggara) dan dunia global. Istilah “Asia Tenggara” bukanlah istilah generik yang lahir dari basis kesadaran masyarakat di kawasan ini. Terdapat beberapa relasi-relasi tradisional yang pernah berlangsung di kawasan ini, jauh sebelum batas-batas teritori dari negara-negara di kawasan ini ditetapkan. Kita tidak bermaksud untuk meromantisir relasi-relasi tradisional itu, tetapi hendak melihat efek-efek setelah era kolonialisme dan munculnya batas antar negara dan bangsa. Kedua, pinggiran sebagai salah satu sarana untuk memahami kondisi yang tengah kita hadapi saat ini, terutama perihal masyarakat yang terbagi menjadi dua karena hegemoni kekuasaan tertentu. Situasi tersebut banyak berlangsung saat ini, pembelahan masyarakat karena perbedaan preferensi politik atau perbedaan-perbedaan lainnya. Kadang kita gagal membaca situasi itu, sekonyong-konyong mengambil posisi yang kita anggap paling benar. Di dalam masyarakat pinggiran, dinamika antara kelompok penindas dan yang ditindas selalu hadir dan tidak pernah ada habisnya jika membahas hal tersebut. Ketiga, bagaimana kita belajar dari perspektif pinggiran. Sebagai gambaran, kita bisa belajar dari bagaimana masyarakat adat Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, dalam mempertahankan hak ulayatnya dari ekspansi PT LONSUM yang ditopang oleh negara. Gagasan mengenai keterlibatan Asia Tenggara dalam penyelenggaraan Biennale Jogja tahun 2019 ini, Arham Rahman juga telah terlibat dalam jaringan Arisan Tenggara yang diinisiasi oleh Ace House Collective pada tahun 2018 yang lalu, sehingga menarik untuk memperluas jejaring kerja para penggerak seni generasi muda dalam lingkup yang lebih luas serta memudahkan jalannya Biennale Jogja Equator #5.


Membahas mengenai pameran seni Biennale Jogja Equator #5, sang kurator Arham Rahman menjeaskan bahwa adanya beberapa hal yang tidak diduga saat pameran tersebut berlangsung. Beliau menjelaskan beberapa hal tersebut diantaranya adalah, adanya karya seni yang memang dianggap penting dan karya tersebut jika rusak tidak dapat digantikan. Namun, dalam hal tersebut adanya beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab saat melihat adanya pameran. Mereka menyentuh bahkan menginjak area display pameran tersebut hingga merusak bagian tripleks yang dijelaskan oleh Mas Arham Rahman. Saat kami mendengar hal tersebut, kami ikut merasakan miris, miris terhadap sikap tak bertanggungjawab dari pengunjung. Mas Arham Rahman sendiri pun juga tidak habis pikir. Bagaimana bisa mereka dengan teganya merusak sebuah karya seni yang cukup penting dan dibuat dengan penuh kematangan. Kemudian, selain itu ternyata terdapat karya berupa instalasi yang menggambarkan sebuah rak buku dengan sekumpulan buku-bukunya, namun dalam display karya terebut disajikan dengan yang bukunya direplika dengan sebuah papan kayu, yang nantinya pengunjung dapat menulisakan sebuah judul buku dengan menggunakan kapur. Namun, para pengunjung justru malah menulisakan hal-hal yang mungkin kurang pantas untuk ditulis. Sehingga hal tersebut cukup mengecewakan para seniman maupun kurator.


Namun, beliau Arham Rahman mengatakan bahwa tidak semua pengunjung memberikan sisi negatifnya. Pastinya juga terdapat sisi positif dari pengunjung yang membaca dan memahami apa maksud dari setiap karya yang disajikan yang tidak hanya sekedar bisa merusak dan juga merugikan karya seni yang dipaparkan. Walaupun memang tetap didominasi oleh pengunjung yang hanya mengabadikan karya tanpa memahami apa maksud dari karya tersebut. Selain itu mas Arham Rahman juga menceritakan mengenai pengunjung yang memberikan adanya sebuah kritik dari karya yang mirip dengan Hajar Aswad, namun pengkritik tersebut tidak memberikan sebuah alasan yang kuat hanya sekedar suka dan tidak suka saja dengan adanya karya tersebut. Mas Arham Rahman dan ketiga kurator pun juga tidak bisa berbuat apa-apa karena memang setiap karya yang ada di Biennale Jogja Equator #5 sudah terdapat penjelasan yang dituliskan secara rinci, hanya mungkin sang pengunjung tidak memperhatikan adanya tulisan tersebut. Sebenarnya dengan adanya kritik atau kejadian tersebut, beliau ingin meluruskan adanya salah paham yang ada. Namun, sang pengkritik tidak menyampaikan permasalahannya secara lengkap, sehingga membuat kurator bingung harus memberi tanggapan yang seperti apa.

Berkaitan dengan pengalaman menyelenggarakan peristiwa pameran seni Biennale Jogja Equator #5, Arham Rahman menyebut bahwa terdapat perbedaan yang cukup terlihat, sebab ada perbedaan praktik dan kultur kesenian di wilayah Yogyakarta ini. Hal tersebut tentu tidak bisa dibandingkan karena perbedaan itu tadi. Yogyakarta mempunyai tradisi seni rupa yang kuat, seniman yang banyak jumlahnya, serta ruang ekspresi (ruang seni dan perhelatan kesenian) yang sangat banyak. Ketika kita hendak membuat sebuah perhelatan, rasanya lebih ringan karena dukungan infrastruktur-infrastruktur tersebut. Berkenaan dengan isu yang dibahas sudah dibahas di atas, Biennale Jogja Equator #5 menyoroti isu pinggiran yang perlu kita pahami bukan hanya sebagai konsep, tetapi juga memahami situasi nyata yang berlangsung di berbagai tempat di Yogyakarta.


Hingga pada akhirnya setiap karya seni yang dirancang oleh pelaku seni, memiliki porsinya masing-masing yang dipersiapkan dengan baik oleh para seniman dan kurator. Karena memang tidak ada sebuah karya dan pelaku seni yang sempurna, setiap orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing, baik dari proses pembuatannya ataupun penyajian karya itu sendiri. Sehingga kita sebagai seorang pengunjung hendaklah menghargai dan mengapresiasi setiap karya yang dirancang oleh para pelaku seni dimanapun mereka berada. Seorang kurator dan juga seniman bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Banyak ide-ide serta pemikiran yang matang yang harus mereka kerahkan sebelum terjadinya pameran seni. Namun, terkadang seseorang yang tidak memahami suatu karya seni selalu mengaggap remeh adanya sebuah karya seni yang disajikan. Dibalik karya dan pameran yang indah pasti juga terdapat sosok yang terlah berjasa di belakangnya, entah bagaimanpun caranya semua tenaga dikerahkan demi memuaskan para penikmat seni. Kami melihat sosok Arham Rahman sebagai seseorang pekerja keras yang hebat. Beliau mampu menghasilkan karya dan pameran seni yang luar biasa, dan Biennale Jogja XV 2019 adalah salah satu contohnya.

160 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page