top of page
  • Black Instagram Icon

Sosial Media Sebagai Perangkat Social Movement

Updated: Oct 15, 2019


Beberapa waktu lalu di Yogyakarta telah berlangsung sebuah aksi massa yang bertajuk “Gejayan Memanggil”. Aksi damai #GejayanMemanggil yang dilaksanakan Senin, 23 September 2019 dimulai dengan aktivitas pra aksi, yakni pengumpulan massa pada pukul 09.00 WIB. Menjelang pukul 10.00 WIB, massa aksi mulai memadati tiga lokasi titik kumpul pertama—yakni Bundaran UGM di titik barat, UIN Sunan Kalijaga di titik selatan, dan titik utara yang berlokasi di Universitas Sanata Dharma. Pada pukul 12.00 WIB, massa aksi mulai dimobilisasi ke titik utama aksi: Pertigaan Colombo, Gejayan. (Sumber: https://www.instagram.com/p/B2wzyhZlx5i/).


Menurut sebuah laman di instagram dengan nama akun @gejayanmemanggil, salah satu bentuk pergerakan massa ini diinisiasi oleh mahasiswa dari beberapa universitas yang berada di Yogyakarta dan merupakan sebuah tindakan reaktif terhadap berbagai gejolak permasalahan regional maupun nasional. Aksi tersebut telah menyita banyak sekali perhatian karena sifatnya yang masif sebab melibatkan banyak pihak—termasuk pihak non-mahasiswa, pemberitaannya pun digadang-gadang sudah ramai diperbincangkan bahkan sejak sebelum aksi itu dilaksanakan.


Sungguh menarik ketika beberapa waktu yang lalu media sosial sempat diramaikan oleh sebuah tagar, yakni #GejayanMemanggil—hingga sampai penulisan artikel ini dilakukan, terhitung sebanyak 21.278 tagar telah mewarnai jagat platform dunia maya Intstagram. Merupakan bentuk representatif dari sebuah pergerakan massa, tagar ini memiliki kekuatan yang sangat besar di dalam aksi yang berlangsung di kota pelajar tersebut. Bagaimana mungkin hal sekecil itu dapat memiliki pengaruh yang cukup besar hingga mampu mengumpulkan dan menggerakkan sejumlah massa yang begitu banyaknya di suatu tempat? mengapa orang-orang dibuat yakin dan percaya pada sebuah tagar yang kebenarannya mungkin patut untuk dipertanyakan. Begitulah sekiranya artikel ini ditulis; terbuka untuk diskusi, kritik serta saran.


Sekiranya kita dapat mengklasifikasikan tagar ini ke dalam suatu bentuk social movement berbasis komunikasi massa, hal ini merajuk pada apa yang telah dipaparkan Adler dan Rodman, dalam (Errika, 2011): “Komunikasi massa, merupakan level komunikasi terbesar dengan cakupan sasaran komunikasi terbanyak. Komunikasi massa terdiri dari pesan-pesan yang ditransmisikan ke sasaran audience yang benyak dan tersebar luas, dengan menggunakan koran, majalah, televisi, radio, dan internet.


Social movement atau dapat pula disebut dengan gerakan sosial adalah sebuah aksi kelompok, biasanya informal, yang berfokus pada masalah khusus di suatu daerah. Pada dasarnya gerakan sosial dijalankan untuk melakukan perubahan sosial.


Social movement is group action, usually informal, which focused on specific issue in a region. Basically social movement is executed to have social change.” (Margaretha, 2015).


Menurut seorang antropolog Amerika bernama David Aberle (dalam Margaretha, 2015), Social Movement dibagi menjadi empat tipe berdasar pada dua karakteristik yang berbeda; yaitu berdasar dari (1) siapa yang ingin dirubah atau siapa target gerakannya, dan (2) seberapa banyak perubahan yang sedang diupayakan. Keempat tipe tersebut mencakup; gerakan sosial anternatif, gerakan sosial penebusan, gerakan sosial revormatif, dan gerakan sosial revolusioner.


Ketika berbicara mengenai media sosial, tanpa disadari mungkin kita juga merupakan bagian dari apa yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan. Melalui platform yang ada di sana berbagai macam informasi menjadi bahan konsumsi sehari-hari, atau mungkin bisa juga turut serta menjadi pihak yang menyebarluaskan informasi, semuanya berjalan secara alami karena telah menjadi salah satu bagian dalam kehidupan masyarakat di era informasi ini. Menurut Jhon dan Swan dalam (Margaretha, 2015), Media sosial adalah situs yang menyediakan koneksi di antara para anggotanya. Ini berbeda dari media tradisional yang dipertimbangkan dari kualitas, kegunaan, frekuensi, jangkauan, kedekatan, dan keabadian. Media sosial beroperasi dalam sistem transmisi dialogis, berbeda dengan media tradisional yang beroperasi di bawah model transmisi monologis.


Kecepatan dalam perputaran informasi ini juga didukung oleh sifat naruliah manusia untuk selalu bersifat adaptif, salah satunya dengan cara mengikuti segala macam informasi yang disajikan di dalam media sosial. “Melalui status, komentar, notes, dan berbagai fasilitas dalam social media tersebut banyak orang berusaha menunjukkan keberadaannya dengan terus meng-update segala perkembangan yang ada. Suatu perkembangan yang jika di dunia nyata tak mungkin disampaikan, maka di dunia Social Media, perkembangan ini bisa menjadi konsumsi publik secara umum.” (Errika, 2011).


Meski terkesan memiliki banyak manfaat dari adanya media sosial—contohnya adalah kemudahan dalam mengakses informasi, terdapat berbagai ancaman yang tak luput menyertai salah satu bentuk perkembangan teknologi dan informasi ini. Perang informasi  merupakan kemungkinan terdekat dalam konteks ini. Perang informasi yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja akan membiaskan kebenaran informasi dalam media sosial, dan akan berdampak terhadap kekacauan di dalam masyaralat, lebih parah lagi ketika fenomena tersebut memang dibuat untuk menyerang individu atau kelompok lain yang tidak sejalan.


Perang siber (cyber war) dapat dipahami sebagai suatu situasi adanya proses penyangkalan, pengrusakan, berbagai modifikasi informasi dengan tujuan yang ditentukan si pengirim, seperti  penyerangan, manipulasi, serangan balik, melalui berbagai cara cyber, psikologis, yang akan mempengaruhi/mengganggu pihak musuh dalam aspek infrastruktur dan pengambilan keputusan.” (Iswandi, 2017).


Setelah kita pahami tentang berbagai seluk-beluk apa saja yang melingkupi kekuatan sebuah tagar di dalam media sosial sebagai sarana atau perangkat baru dalam pergerakan sosial, #GejayanMemanggil merupakan contoh konkret dari terjadinya segala rentetan proses sosial ini. Dengan memahaminya secara lebih mendalam, sebagai seorang pelaku dalam gejala sosial ini kita patut untuk  bersikap bijak dan dapat mempertanggungjawabkan seluruh risiko dari tindakan yang kita lakukan di media sosial, karena pada umumnya persebaran informasi di media soaial bersifat umum serta dapat menjadi jangkauan banyak pihak.



 
 
 

Recent Posts

See All

留言


HitamPutih.jpg

Thanks for submitting!

Department of Anthropology

Faculty of Cultural Sciences

Universitas Gadjah Mada

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Twitter Icon

2019 The Human Stories

bottom of page