top of page
Search

Seniman Perempuan, Menyuarakan Buruh Rumahan

Oleh Viky Setya Nusantara dan Nugraha Jaya Mahendra

sumber : Biennale Jogja

 

Dian Suci Rahmawati adalah seorang seniman lukis asal Yogyakarta. Ia mencampuradukkan seni lukis dan latar belakang arsitektur yang dimilikinya dari bangku sekolah formal. Dian Suci Rahmawati mendapatkan gelar sarjananya dari Jurusan Arsitektur, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Saat ini, Dian menetap dan bekerja di Yogyakarta sebagai ilustrator dan seniman. Karya-karyanya berangkat dari observasi dan pengalamannya sebagai perempuan dalam ranah domestik. Dian ikut serta dalam berbagai pameran kelompok dan art fair, antara lain Art of The Islamic World, World Trade Center building, Jakarta (2019), Celebration of The Future, Art Bali, AB.BC Building, Bali, dan Yang Tersingkap, Proyek Seni Perempuan, Dewan Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (2018). Di tahun 2018, Dian juga mengadakan pameran tunggalnya yang berjudul Aku Pingin Crita Dawa, Nanging Apa Kowe Kuwawa? Aku Kuwawa di Kedai Kebun Forum setelah mengadakan pameran tunggal pertamanya di LIR Space pada tahun 2016.


Biennale Jogja XIV 2019 benar-benar memperkaya wawasan baru kami tentang berbagai hal utamanya kehidupan pinggiran yang terpinggirkan, baik sengaja atau tidak. Para seniman bersusah payah menuangkan ide gagasan mereka melalui karyanya agar sedap dinikmati khalayak umum. Berbagai karya sangat menarik perhatian kami yang juga tak luput dipenuhi misteri tanya besar tentang hasil pemikiran karya seniman, salah satunya adalah karya dari Dian Suci yang diberi nama Apakah Tubuh : Sebuah Ladang di Dalam Rumah. Dipajang dalam sebuah bilik, ratusan bingkai lukisan sablon digantung memanjang ke belakang persis kenampakan para paskibraka berbaris rapi dengan seragam yang sama. Karya itu benar-benar membuat kami tertarik dari berbagai aspek dan dari itu juga kami penasaran akan berbagai hal dibelakangnya.


Sesaat setelah mengamati karya ini, segera dengan tanpa arahan kami mendiskusikannya. Rupanya kami memiliki kesamaan untuk mengulik lebih jauh perihal karya yang juga menjadi spot instagramable di pameran ini. Selain kenampakannya yang eye catching, kami berpikir bahwa isu dan gagasan yang diangkat oleh Dian Suci ini sangat relevan dengan kehidupan yang ada dan kami rasa dengan mudahnya permasalahan itu diitemui justru seakan terlalaikan oleh pihak-pihak yang ada. Kami semakin kepo untuk menilisik sejauh mana rumitnya permasalah yang mendampingi kehidupan para pekerja rumahan ini. Rasa ingin tahu membawa kami untuk mencari jalan bagaimana kami bisa memuaskan rasa penasaran terhadap karya ini. Mengingat kami hanya sebatas mengenal seniman karya itu, yah, dari buku panduan saja. Sepertinya, Tuhan bersama semesta merestui kepentingan kami untuk mengulik informasi lebih mendalam, kami mendapat kesempatan untuk bertemu langsung dengan beberapa seniman serta kurator Biennale edisi tahun ini dalam suatu acara yang mana salah satu pembicaranya adalah Dian Suci Rahmawati. Mendapati rezeki ini, tentu saja tidak akan kami sia-siakan. Di hari acara, segera kami bergegas menuju Jogja National Museum dengan berboncengan mengendari motor yang ditemani proses menyembunyinya sang surya untuk siap berganti suasana.


Mbak Dian—sepakat kami panggil demikian agar tidak terkesan sangat berjarak—dengan suara mungilnya, dalam acara diskusi itu menjelaskan dan menceritakan bagaimana awal mula terciptanya karya tersebut. Karya itu tercipta berangkat dari rasa penasarannya terhadap sebuah pamflet dan poster yang dilihatnya di suatu jalan. Poster dan pamflet itu berisi tentang ajakan bekerja di rumah, atau menjadi buruh rumahan. Mbak Dian kemudian menjadi tertarik dan menelusuri lebih jauh tentang bagaimana rasanya menjadi buruh rumahan. Awalnya, memang menarik, Mbak Dian diungkapkan dibarengi gesture tubuh dan raut muka yang seakan meyakinkan hadirin tapi terbesit maksud kontradiksi dengan pernyataanya. Bagaimana tidak, kapan lagi bisa bekerja di rumah dan mendapat uang yang ‘lumayan’ dan keuntungan besarnya bisa menyambi mengurus anak. Namun setelah dicoba, hal itu (menjadi buruh rumahan) ternyata benar-benar tidak semudah kelihatannya. Jumlah pekerjaan yang tidak sedikit, jenis pekerjaan yang monoton, dan waktu yang benar-benar ditekan menjadi kendala utama yang dialami oleh Mbak Dian. “Setelah melalui itu semua, ternyata tidak worth it sama sekali”, kata Mbak Dian yang menunjukkan eskpresi sangat menyesal dan seakan marah.


Sasaran utama pekerjaan ini tentunya adalah wanita utamanya ibu rumah tangga. Mereka biasanya hanya menghabiskan waktu untuk mengurus rumah tangga dan juga berfokus pada pertumbuhan dan perkembangan buah hatinya. Banyak wanita menjadi buruh rumahan juga karena tuntutan keluarga untuk tidak meninggalkan rumah dan anak-anak. Di sini, isu patriarki berperan besar. Sebagian besar suami melarang istrinya untuk bekerja di luar rumah. Jangankan bekerja, beraktivitas di luar saja terbatas oleh izin suaminya yang dianggap sebagai imam dalam rumah tangga dan harus tunduk padanya. Dalam pekerja rumahan, buruh rumahan benar-benar pekerjaan yang lebih tepat disebut sebagai keterpaksaan daripada pekerjaan yang sebenarnya, karena banyaknya belenggu yang merantai pekerjanya itu sendiri.


Sebenarnya, beberapa pertanyaan kami sudah terjawab dari acara diskusi terbuka bersama kurator dan seniman malam itu. Namun, entah mengapa kami berkeinginan untuk berdiskusi lebih lanjut dengan Mbak Dian untuk menelisik lebih dalam terkait isu yang diusung dalam karyanya. Oleh karena itu, kami memberanikan diri mengirim pesan beliau untuk menghadirkan ruang diskusi secara personal. “Halo, Iya inget. Boleh banget, silakan aja. Kalau butuh apa-apa bilang aja ya” sederet pesan muncul di layar gawai salah seorang dari kami. Masih tidak menyangka jika maksud kami ini disambut hangat dengan Mba Dian. Segera kami menyepakati tanggal untuk bertemu dan tentu kami yang mengikuti jadwal Mba Dian mengingat kami yang meminta bantuan dan tidak memiliki banyak kepentingan seperti beliau.


4 Desember 2019, bertempat di Kafe Tuman daerah selatan Jogja untuk kedua kalinya kami bertatap muka dengan Mbak Dian. Kami bertemu setelah menunggu beberapa saat dikarenakan Mbak Dian harus melakukan suatu hal penting terlebih dahulu. Untuk meminta maaf karena keterlambatannya, Mbak Dian mentraktir kami (asyik) kopi dan kentang goreng untuk disantap sembari berbincang santai sore itu. Kali ini, Mbak Dian tampil berbeda dari waktu pertama kali kami bertemu di acara diskusi. Dengan rambut yang diikat ekor kuda dan menggunakan baju dominan berwarna hitam, Mbak Dian tempo itu terlihat sangat lebih muda.


Seperti biasa, kami menanyakan bagaimana awal mula Mbak Dian tertarik ke dunia seni. Sembari menghisap batang rokok putih, beliau menjawab pertanyaan kami dengan santai dan perlahan-lahan. Awalnya, beliau tertarik ke dunia seni karena kesukaannya dalam menggambar dan karena itu juga Mbak Dian memilih jurusan Arsitektur bukan jurusan lain, seperti Teknik Sipil ataupun Hubungan Internasional. Tidak menyesal atau sejenisnya, tapi diakui oleh dirinya jika dulu beliau tahu ada jurusan seasyik antropologi tentu antropologi menjadi prioritas utama dalam pilihannya. Sontak, kami berdua bertatap muka dan tanpa ancang-ancang langsung tertawa bersama akan ungkapan itu.


Setelah menanyakan hal itu, kami kembali mengulik tentang karya beliau kemarin di Biennale. Pertanyaan kami adalah, bagaimana awal mula terciptanya ide dan apa maksud dari karya Apakah Tubuh : Sebuah Ladang di Dalam Rumah. Disambi menggigit kentang panas lalu meneguk kopinya, Ibu dari tiga orang anak ini menjawab bahwa karyanya kemarin berangkat dari ketertarikannya terhadap poster yang dilihatnya di jalan. Mbak Dian sendiri menemukan adanya aspek ketimpangan gender pada buruh rumahan. Diciptakannya karya itu sebagai ungkapan dan penggambaran permasalahan yang rumit di dalamnya tentang bagaimana wanita terpaksa bekerja di rumah di lain sisi tetap berkewajiban mengurus keluarganya. Keterpaksaan itu justru menjadi belenggu sendiri dan menyebabkan banyak permasalahan, seperti waktu kerja yang sangat melelahkan—yang malah melebihi jam kerja karyawan pabrik umumnya—hingga permasalahan upah yang sangat tidak sebanding dengan tenaga dan waktu yang dihabiskan untuk menyelesaikan produknya. Meski demikian, wanita buruh rumahan itu bersikukuh untuk melepaskan diri dari jeratan yang sangat menyiksa itu. Mereka merasa pekerjaan sebagai buruh rumahan adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa mereka lakukan tanpa menyalahi kodrat mereka sebagai wanita ataupun istri di rumah.


Selama berdiskusi, Mbak Dian sangat ekspresif dalam mengungkapkan sesuatu. Kedua tangannya selalu menemani iringan setiap kata yang terucap, begitupun kedua matanya yang selalu berusaha menatap kami semua. Mbak Dian juga sangat perhatian kepada kami selaku pemburu informasi. Terkadang kami malah merasa kami yang diwawancara di sini. Mbak Dian juga bercerita dan menanyakan banyak hal yang tidak masuk ke dalam topik yang kami tanyakan, seperti bagaimana rasanya menjadi mahasiswa antropologi dan juga bagaimana tanggapan orang tua kami akan hal itu. Mbak Dian bercerita bahwa orang tuanya kurang setuju akan profesinya ini, namun sosok adik hadir dengan dukungan yang tak henti-hentinya untuk Mbak Dian. Ketidaksepakatan dengan pilihannya pun juga datang dari Suaminya. Awalnya sang suami menolak akan pekerjaan Mbak Dian, tetapi setelah saat menjadi co-parenting suaminya justru lebih membuka ruang untuk berdiskusi.


Sangat beruntung kami bertemu dengan Mbak Dian untuk saling bertukar pikiran. Meski derajat kami tak sama, tetapi beliau tidak memposisikan dirinya sebagai atasan. Sebaliknya, beliau justru membuka diri dan pandai membuat kesan pada diri kami kalau memang benar tidak ada jarak di antara kami semua. Kami berbincang selayaknya teman sebaya yang sedang berdiskusi tugas kuliah sesekali diselingi perbincangan di luar tujuan. Hangatnya penerimaan Mbak Dian kepada kami selaku orang asing yang sama sekali tidak dikenalnya membuat kami sangat nyaman untuk berdiskusi bersama. Tidak ada yang salah tidak juga yang benar, semua hadir dengan pemikiran yang beragam. Demikian halnya pada persoalan kehidupan, laki-laki tidak selamanya benar, perempuan pun tidak selalu salah. Semua bergantung pada bagaimana mereka memposisikan dirinya untuk terus melangsungkan hidupnya. Perempuan jangan mau terus merasa ditindas, laki-laki jangan terus memandang sebelah mata kaum hawa, karena sejatinya semua orang memiliki keseteraan untuk kesempatan. Tak terkecuali dalam dunia kesenian, perempuan juga bisa menuangkan ide dan gagasannya untuk menyuarakan.


 


7 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page