top of page
Search

Benarkah Perbedaan Penafsiran RKUHP karena media?

Updated: Nov 22, 2019


Oleh: Amma Hidayati



Dua minggu belakangan ini suasana politik di Indonesia sedang memanas, terbukti dengan adanya beberapa aksi yang dilancarkan oleh mahasiswa di berbagai daerah di Indonesia. Aksi mahasiswa tersebut pertama kali dilancarkan pada tanggal 23 September 2019 di Yogyakarta dengan hastag #Gejayanmemanggil. Aksi tersebut kemudian memicu para mahasiswa dari daerah lain, seperti Makassar, Riau, Malang, Jember, Lampung, Bandung, dan beberapa daerah lainnya di Indonesia melakukan aksi yang serupa. Aksi yang dilakukan oleh para mahasiswa tersebut didasari oleh rasa tidak puas terharap kinerja lembaga pemerintahan khususnya DPR RI.


Para mahasiswa memiliki tujuh tuntutan yakni: (1) menolak (RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan), mendesak pembatalan UU KPK dan UU SDA, mendesak disahkannya RUU PKS dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga; (2) batalkan pimpinan KPK pilihan DPR; (3) tolak TNI dan Polri menempati jabatan sipil; (4) tarik mundur polisi dan tentara di Papua; (5) hentikan kriminalisasi aktivis; (6) hentikan pembakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan; dan (7) tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM.


Salah satu persoalan yang cukup banyak menarik perhatian publik adalah RKUHP. Dalam RKUHP terdapat beberapa pasal yang dianggap bermasalah yaitu: pasal 604 (korupsi) karena dalam pasal ini koruptor justru dijatuhi hukuman yang lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor; pasal 414 dan 416 (alat kontrasepsi) karena dianggap kontradiktif dengan upaya penanggulangan HIV; pasal 418 (perzinahan) karena dianggap terlalu mengurusi permasalahan pribadi; pasal 218-220 (penghinaan terhadap presiden) karena dianggap mematikan opini publik; pasal 252 (kekuatan gaib); pasal 251, 470-472 (aborsi) karena dianggap kurang memanusiakan wanita apalagi aborsi yang dilakukan pada korban pemerkosaan; pasal 432 (gelandangan) karena dianggap bersebrangan dengan UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak terlantar; pasal 278-279 (unggas) karena dianggap telalu mengada-ada; dan pasal 188 (Komunisme, Marxisme-Laninisme) karena dianggap membatasi para pengajar untuk menyampaikan informasi.


Jujur saja bagi saya media sangatlah mempengaruhi opini saya terhadap RKUHP yang dikeluarkan oleh DPR RI. Ketika ajakan untuk melaksanakan aksi #Gejayanmemanggil disebarkan melalui beberapa media sosial seperti Line dan Whatsapp, saya saat itu benar-benar terpanggil untuk ikut meramaikan aksi tersebut. Alasan saya adalah karena sebelumnya saya telah melihat beberapa video di Youtube yang membahas bagaimana kerancuan RKUHP tersebut, entah itu karena bahasa yang digunakan dianggap terlalu “karet” atau karena keputusan DPR untuk segera mengesahkan RUU tersebut di akhir masa jabatannya. Namun pada keesokan harinya keputusan saya untuk ikut aksi tersebut berubah karena saya melihat salah satu video yang memperlihatkan seorang wartawan sedang mewawancarai seseorang yang ikut aksi tentang apakah tujuan dia ikut aksi tersebut dan orang tersebut menjawab pertanyaan wartawan dengan tidak yakin tentang apa tujuan dia ikut aksi. Saya kemudian berfikir bagaimana jika saya yang berada di posisi orang tersebut dan saya tidak dapat menjawab pertanyaan karena saya memang belum membaca draft RKUHP dengan tuntas. Pada akhirnya saya tidak jadi mengikuti aksi #Gejayanmemanggil tersebut.


Pada beberapa hari kemudian ketika saya berselancar di Twitter saya menemukan sebuah akun yang bernama @mncbkr yang membuat sebuah utas yang membahas tentang RKUHP. Namun kali ini dia membahas RKUHP dengan sudut pandang dari pembuat RUU tersebut. Salah satu yang membuat saya menjadi berfikir “oh iya ya, ternyata pasal-pasal yang terdapat di RKUHP tidak sekaret seperti yang dibicarakan” adalah pasal tentang gelandangan. Banyak media yang mengatakan bahwa dalam RKUHP terdapat sebuah pasal yang mengatakan bahwa: “wanita tidak boleh keluar pada jam sepuluh malam”. Namun ketika saya membaca draft yang ada, saya tidak menemukan pasal tersebut. Ada yang bilang bahwa pernyataan tersebut terdapat pada pasal 432, namun ketika saya membaca pasal tersebut ternnyata isi pasal itu berbunyi: ”Setiap Orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I” dapat dilihat bahwa pasal tersebut sama sekali tidak menyebutkan larangan wanita keluar pada jam sepuluh malam.


Pasal selanjutnya yang dibahas oleh @mncbkr adalah pasal 188 yaitu tentang larangan menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme-Lenisme, banyak orang –Youtuber- yang mengatakan “wah kok dilarang sih, padahal itu kan sudah sangat wajar apabila diajarkan oleh dosen-dosen di kampus. Masa dosen kita nanti dipidana hanya kerena mengajarkan paham-paham tersebut” namun pada draft sesungguhnya terdapat beberapa ayat yang menjelaskan lebih jauh tentang pasal tersebut. Penjelasan ini terdapat pada pasal 188 (ayat (1) sampai (6)) dan 189 ((a) dan (b)) sangat jelas dikatakan bahwa yang dapat dipidana adalah ajaran yang dimaksudkan untuk menggulingkan pemerintahan Indonesia dan mengganti ideologi Pancasila. Sehingga apabila dimaksudkan untuk urusan akademik, orang yang menjelaskan tentang paham-paham tersebut tidak akan dipidana.


Kesimpulan saya adalah bahwa media memiliki peran yang sangat besar untuk membentuk opini publik apalagi orang awam seperti saya. Pandangan saya terhadap suatu pesoalan sangat mudah dipengaruhi oleh media dan saya yakin bahwa bukan hanya saya saja yang mengalami hal seperti ini. Menurut saya perbedaan pemahaman tentang maksud isi RKUHP yang terjadi antara masyarakat dan para perancang RUU dikarenakan kurangnya sosialisasi yang seharusnya dapat dibantu oleh media, namun dalam kenyataannya media yang mudah diakses oleh masyarakat awam –berita di koran dan televisi- malah menyebarkan pasal-pasal secara terpotong dan tidak secara utuh sehingga membuat masyarakat (awam) membuat kesimpulan yang kurang tepat.

4 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page