top of page
Search

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Updated: Nov 4, 2019

Nama: Hanum Ari Prastiwi

NIM: 18/424761/SA/19133

Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi)



Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalimat “anak perawan jangan pulang larut malam”. Apalagi masyarakat memiliki stigma bahwa perempuan yang pulang hingga larut malam adalah perempuan nakal dan rendahan. Masyarakat biasanya memlih untuk tidak mau tahu apa alasan perempuan yang pulang larut malam padahal banyak alasan yang logis. Kemudian masyarakat melakukan pembatasan jamm malam bagi perempuan yaitu maksimal jam 10 malam. Pembatasan jam malam bagi perempuan sebenarnya bertujuan agar perempuan terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti misalnya pelecehan seksual dan begal. Selain itu agar di mata masyarakat tidak dianggap perempuan rendahan.

Tanggapan dari berbagai pihak beragam. Ada pihak yang setuju dan tidak setuju dengan ada pembatasan jam malam. Pihak-pihak yang setuju adanya jam malam adalah masyarakat yang sudah biasa hidup dengan konstruksi sosial atau peraturan sosial yang sudah membudaya pada masyarakat. Mereka menganggap bahwa perempuan yang pulang malam adalah bukan perempuan baik-baik. Apalagi misalkan perempuan tersebut berhijab maka akan dianggap lebih rendah lagi. Pihak yang mendukung peraturan tersebut biasanya adalah keluarga yang memiliki anak perempuan. Orang tua biasanya membatasi jam malam sekitar jam 9 atau jam 10. Misalnya anak perempuan mereka harus merantau, mereka mengharapkan anak perempuan mereka tinggal di kost atau tempat tinggal yang memberlakukan jam malam. Dengan adanya jam malam mereka merasa anaknya lebih aman. Pihak-pihak yang tidak setuju mayoritas dari pihak perempuan. Mereka sebenarnya pulang malam karena alasan-alasan yang logis. Seperti misalnya pekerjaan, rapat, atau kegiatan-kegiatan yang lainnya yang bermanfaat. Kalaupun mereka pulang larut malam atau baru pergi larut malam untun mencari hiburan atau refreshing sebenarnya tidak ada salahnya. Perempuan punya hak untuk mencari hiburan atau bersenang-senang juga tanpa batasan seperti laki-laki. Laki-laki tidak punya batasan untuk bersenang-senang dan tidak ada batasan jam malam.

Meskipun  pada akhirnya memutuskan untuk menutup telinga dengan pendapat orang-orang terkait persoalan pulang larut malam bahkan pagi. Saya pribadi tidak bisa membuang rasa iri saya terhadap teman saya yang tidak memiliki batasan jam seperti laki-laki. Orang tuanya tidak merasa khawatir dengan kebiasaannya pulang larut malam atau dini hari. Sedang saya harus menutupi kebiasaan saya ini kepada Ibu untuk sekedar membuatnya sedikit lebih tenang dan tidak perlu merasa malu entah kepada siapa jika tahu anak gadisnya yang berkerudung suka pulang larut. Saya memilih untuk menutup telinga pada anggapan orang lain sebagaimana mereka menutup mata dari kegiatan saya yang sampai selarut ini. Bagi saya, baik perempuan mau pun laki-laki tidak memiliki batasan waktu untuk mendefinisikan dirinya. “Ia pantas pulang pagi karena ia laki-laki” dan “ia seperti perempuan yang tidak baik-baik karena suka pulang larut malam” adalah kalimat yang sangat tidak adil. Karena seharusnya kita sebagai manusia, anak muda pada khususnya, kapan pun, di mana pun, baik itu laki-laki mau pun perempuan punya kesempatan yang sama dalam hal mengeksplorasi diri.

Kontruksi sosial sebagaian besar masyarakat Indonesia masih terjebak dalam definisi malam dan siang. Perempuan yang pulang larut malam atau bahkan baru pergi pada larut malam, masyarakat memandangnya sebagai tindakan amoral. Dalam kaitannya, perempuan selalu menjadi obyek yang diluar batas. Keluar malam bagi mereka adalah sesuatu yang tidak wajar, perempuan sembarangan, melanggar norma adat, agama dan sebagainya. Hanya itu yang bisa dilakukan oleh para laki-laki. Pelajaran seperti ini kian lengket dalam satu kepercayaan konservatif. Alhasil, ruang stigma negatif menjadi superior untuk mengatur segala kebebasan perempuan. Di lain sisi, laki-laki terus aman dari stigma, sementara laki-laki banyak yang tergolong pelaku stigma itu. Faktanya yakni aktivitas malam sangat banyak dalam hal pelayanan publik.

Sejujurnya pelurusan atas stigma seperti yang di atas harus berakal dan tidak menggunakan eksistensi konstruk amoral dan moralis. Karena dalam kehidupan ruang publik, moral dan moralis adalah urusan privat yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun. "Pelarangan dan stigma buruk adalah gejala otoritas sosial dengan pemaknaan moral yang berlebihan." Awalnya pemikiran ini merupakan bentuk perlindungan yang dilakukan untuk membatasi ruang ekspresi dan kebebasan perempuan.

Tanggapan pemerintah tentang pembatasan jam malam mengakibatkan munculnya Rancangan Undang-Undang dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang pembatasan jam malam. Di RUU-KUHP tersebut dijelaskan bahwa perempuan yang pulang malam dianggap sebagai gelandangan. RUU-KUHP ini menimbulkan pro kontra dari berbagai pihak. Para wanita karir juga keberatan dengan peraturan ini. Belum lagi tentang wanita yang pulang malam. Sering  mempertanyakan kalau wanita yang pulang malam tersebut adalah wanita karier. Tentu saja ini akan sangat mengganggu bisnis yang dilakukannya karena akan terbatas pada jam malam. Lalu dengan adanya RUU-KUHP yang kontroversial ini juga mengundang ketidaksetujuan berbagai pihak lalu muncul demonstrasi. Banyak yang menganggap kalau demonstrasi itu wajar, tetapi menjadi akan merugikan ketika sudah ada tindakan anarkis.

Pada perempuan terutama pada suku Jawa sudah tidak asing dengan kalimat “anak perawan jangan pulang larut malam”. Apalagi masyarakat memiliki stigma bahwa perempuan yang pulang hingga larut malam adalah perempuan nakal dan rendahan. Masyarakat biasanya memlih untuk tidak mau tahu apa alasan perempuan yang suka pulang larut malam padahal banyak alasan yang logis. Banyak stigma buruk dari masyarakat dan keluarga tentang perempuan yang pulang larut malam. adanya RUU-KUHP yang kontroversial ini juga mengundang ketidaksetujuan berbagai pihak lalu muncul demonstrasi. Banyak yang menganggap kalau demonstrasi itu wajar, tetapi menjadi akan merugikan ketika sudah ada tindakan anarkis.


2,605 views0 comments
bottom of page