top of page
Search

Dilematis Revisi UU KPK: Melihat Fenomena Resistensi Kelas Dalam Menanggapi Perubahan Sosial


Gambar dari

Dalam perkembangan zaman, perubahan sosial tidak dapat dihindarkan. Sejalan dengan dasar manusia sebagai makhluk sosial sekaligus individualis, yang berarti manusia juga beradaptasi secara sosial untuk secara individu dapat bertahan hidup. Tatanan sosial dibentuk oleh manusia untuk tujuan tertentu dilingkupi batasan ruang dan waktu tertentu bertujuan untuk integrasi sosial dalam lingkup ruang sosial tertentu. Pada akhirnya, walaupun secara sosial kehidupan manusia dapat berjalan dengan baik dan harmonis, tetapi secara individu manusia juga harus melakukan perjuangan demi kelangsungan hidup pribadinya baik menjalankan perannya secara individu maupun sosial (eksistensi).

Perubahan sosial dalam masyarakat menciptakan suatu resistensi tertentu disetiap lapisan masyarakat. Beberapa mengakomodasi dan menerima, namun tidak sedikit yang menolak atau bahkan melakukan perlawanan terhadap perubahan yang terjadi. Dalam kehidupan sosial saat ini, negara menjadi suatu ruang sosial dan kebudayaan besar yang menampilkan berbagai resistensi lapisan sosial dan kelas masyarakat. Mengapa saya menyebut negara menampilkan berbagai resistensi lapisan kelas?. Negara sebagai bentuk kebudayaan memiliki berbagai nilai dan norma yang sudah ditetapkan. Logikanya, setiap terdapat suatu kebijakan selalu ada otoritas yang membuat dan kelompok yang tunduk terhadap otoritas tersebut, ada struktur. Jika otoritas membuat kebijakan yang dinilai tidak dapat diterapkan, akan terjadi konflik kelas dalam memperjuangkan eksistensinya masing-masing. Menarik untuk membahas resistensi kelas dari isu-isu terhangat di sekitar kita.

Baru-baru ini, gerakan masyarakat dalam menolak revisi UU KPK begitu gencar. Menunjukkan suatu ekspresi ketidakpercayaan terhadap kebijakan yang dibuat dapat menciptakan integrasi sosial. Bagi saya, gerakan yang muncul kali ini menjadi cukup unik karena kebijakan yang dibut sebenarnya menyasar kelas yang berbeda. Saya kali ini membagi kelas-kelas sosial negara kedalam dua bagian terpisah yang bersifat hierarkis; DPR dan Pemerintah Pusat, KPK dan Masyarakat diluar institusi negara (red: masyarakat).

KPK merupakan institusi sosial yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat untuk melakukan kontrol sosial terhadap penyimpangan dalam masyarakat berupa tindakan korupsi. Hak dan kewajiban institusi telah dibuat oleh DPR bersama Pemerintah Pusat dalam Undang-undang. Dalam proses pembentukan, dan regulasi, masyarakat sebagai diluar institusi pemerintahan tidak memiliki keterkaitan secara langsung. Hanya dalam batasan tujuan pembentukan institusi KPK sebagai lembaga kontrol sosial, masyarakat menjadi subjek tujuan pembantukan institusi ini. Namun, ketika DPR bersama Pemerintah Pusat memberikan revisi UU terkait hak dan kewajiban KPK, masyarakat bergeming. Fenomena ini menarik bagi saya, karena mampu meningkatkan resistensi tiap kelas terhadap kekhawatiran eksistensinya. DPR bersama Pemerintah meyakini penetapan kebijakan ini dapat menciptakan integrasi yang baik bagi KPK sebagai lembaga kontrol sosial, namun tidak bagi KPK dan Masyarakat.

Perlawanan terhadap revisi UU KPK adalah bentuk perlawanan antara independensi dan otorisasi. Lembaga KPK menilai dengan independensinya, penyimpangan tindakan korupsi di Indonesia dapat diminimalisir dan dibersihkan. Namun, kebijakan yang dibuat oleh DPR bersama Pemerintah merupakan langkah otorisasi terhadap KPK dan meningkatkan penyimpangan yang terjadi. Sebaliknya dengan pandangan DPR dan Pemerintah. Otorisasi melalui kontrol dewan pengawas merupakan langkah check and balance dalam mendukung KPK melakukan pemberantasan korupsi.

Menurut saya, konflik ini terjadi bukan hanya sebatas pelemahan KPK sebagai lembaga kontrol sosial oleh DPR dan Pemerintah. Namun, konflik ini terjadi semakin masif juga karena perbedaan sudut pandang DPR dan pemerintah dalam menetapkan nilai keberhasilan pemberantasan tindakan menyimpang berupa korupsi dalam masyarakat dengan KPK. KPK menilai dengan meningkatnya keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dengan berbagai prosedur yang selama ini dilakukan merupakan salah satu capaian keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi. Namun DPR menggunakan sudut pandang yang prosedural dan struktural administratif. Melalui rapat rencana kerja, rapat dengar pendapat, rapat kordinasi dan rapat evaluasi KPK bersama DPR, justru DPR menilai bahwa KPK gagal melaksanakan tugas, hak, dan kewajibannya. Maka, dari elaborasi tersebut DPR melakukan revisi Undang-undang KPK.

Posisi pemerintah pusat menjadi sangat dilematis dalam konflik ini. KPK merupakan alat pemerintah pusat sebagai lembaga yang melakukan kontrol sosial. DPR sebagai lembaga yang juga bersama pemerintah pusat menjalankan fungsi yang sama sebagai pembuat kebijakan. Jika menggunakan sudut pandang KPK, pemerintah pusat telah mengingkari janjinya untuk mendukung pelaksanaan kontrol sosial yang independen dari KPK. Namun dengan menggunakan sudut pandang DPR, maka Pemerintah Pusat tidak melaksanakan kordinasi dengan DPR dalam rangka kegiatan penyelenggaraan negara. Revisi UU KPK hanya terjadi melalui kordinasi DPR dan Pemerintah Pusat saja. Jadi, resistensi pemerintah pusat terhadap eksistensinya ditentukan melalui sudut pandang pencapaian keberhasilan yang ia gunakan terhadap KPK.

Pergerakan masyarakat melakukan penolakan revisi Undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan bentuk sudut pandang masyarakat sebagai kelas yang dikontrol oleh KPK dan Pemerintah. Masyarakat menilai bahwa KPK selama ini telah berhasil melakukan upaya meminimalisir tindakan penyimpangan berupa korupsi dalam masyarakat. Maka, revisi terkait kebijakan lama yang melekat pada KPK saat itu tidak perlu dilakukan oleh DPR. Dalam masyarakat, DPR merupakan agen perubahan sosial yang bersifat destruktif karena masyarakat menggunakan sudut pandang yang sama dengan KPK dalam menanggapi perubahan sosial melalui kebijakan DPR. Uniknya, justru masyarakat menuntut pemerintah pusat menggunakan sudut pandang yang sama melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Dalam hal ini, masyarakat berhasil memberi efek dilematis yang lebih tinggi terhadap pemerintah dalam menanggapi konflik ini, namun gagal dalam menekan DPR untuk tidak membuat kebijakan yang mengancam integrasi sosial dan mengancam eksistensi sosial masyarakat.

Bagi saya, melalui konflik ini kita dapat melihat fakta-fakta sosial yang menarik. Setiap elemen kelas memiliki batas eksistensinya masing-masing. Perjuangan kelas melalui pergerakan sosial, pembuatan kebijakan, dan evaluasi atas kelas lain memiliki dampak terhadap eksistensi kelas itu sendiri. Menciptakan berbagai perubahan dan menambah dinamika sosial yang terjadi dalam suatu negara. Saya tidak akan menakar dampak kedepan dari kebijakan revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi, namun dari berbagai dinamika yang sedang terjadi dan perjuangan kelas dalam konflik ini yang memperjuangkan eksistensi mereka. Nampaknya apapun yang menjadi langkah pemangku kepentingan selanjutnya, dampaknya tidak dapat secara pragmatis diperkirakan akan terjadi sesuai dengan sudut pandang yang telah digunakan oleh suatu kelas tersebut. Bukan berarti saya dalam tulisan ini menyatakan ke-acuh tak acuhan saya, tetapi perlu disadari bahwa gelombang pergerakan yang terjadi dalam lapisan masyarakat tidak berdampak siginifikan terhadap tatanan nilai dan norma masyarakat hingga lapisan terbawah. Berbeda dengan konflik 1998 yang mengganggu kestabilan ekonomi yang berdampak tidak hanya pada perjuangan kelas sosial, namun juga berdampak pada perjuangan individu dalam rangka usaha untuk bertahan hidup dan beradaptasi.

Pemerintah mungkin saja dapat mengeluarkan Perppu serta memandang permasalahan ini menggunakan sudut pandang KPK dan masyarakat. Namun, ia juga harus bisa mempertanggungjawabkan keputusannya kepada DPR ketika bersama menandatangani rancangan undang-undang tersebut. Yang berarti, presiden harus dapat memberi penjelasan terkait penyimpangan substansi yang ia lakukan ata pengeluaran perppu. Mengapa penyimpangan substantif?. Karena secara prosedural pemerintah juga berhak mengeluarkan perppu. Namun, secara substansi pemerintah telah menarik kembali aturan yang telah ia buat bersama DPR dan ini memang bisa menurunkan kewibawaan pemerintah pusat di mata DPR.

Pada akhirnya, setiap kelas sosial selalu menunjukkan resistensinya terhadap perubahan sosial yang dibuat baik sengaja atau tidak sengaja. Segala bentuk resistensi yang ditunjukkan merupakan suatu reaksi atas perubahan sosial terhadap eksistensinya dalam kehidupan sosial. Bagaimanapun, eksistensi dari setiap kelas harus dapat menunjang integritas sosial yang diharap-harapkan di setiap masyarakat kebudayaan.

27 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page