top of page
Search

Media Sosial Sebagai Perangkat Social Movement

Updated: Oct 18, 2019



Beberapa waktu lalu di Yogyakarta telah berlangsung sebuah aksi massa yang bertajuk “Gejayan Memanggil”. Aksi damai #GejayanMemanggil yang dilaksanakan Senin, 23 September 2019 dimulai dengan aktivitas pra aksi, yakni pengumpulan massa pada pukul 09.00 WIB. Menjelang pukul 10.00 WIB, massa aksi mulai memadati tiga lokasi titik kumpul pertama—yakni Bundaran UGM di titik barat, UIN Sunan Kalijaga di titik selatan, dan titik utara yang berlokasi di Universitas Sanata Dharma. Pada pukul 12.00 WIB, massa aksi mulai dimobilisasi ke titik utama aksi: Pertigaan Colombo, Gejayan.1


Menurut sebuah laman di instagram dengan nama akun @gejayanmemanggil, salah satu bentuk pergerakan massa ini diinisiasi oleh mahasiswa dari beberapa universitas yang berada di Yogyakarta dan merupakan sebuah tindakan reaktif terhadap berbagai gejolak permasalahan regional maupun nasional. Aksi tersebut telah menyita banyak sekali perhatian karena sifatnya yang masif sebab melibatkan banyak pihak—termasuk pihak non-mahasiswa, pemberitaannya pun digadang-gadang sudah ramai diperbincangkan bahkan sejak sebelum aksi itu dilaksanakan.


Sungguh menarik ketika beberapa waktu yang lalu media sosial sempat diramaikan oleh sebuah tagar, yakni #GejayanMemanggil—hingga sampai penulisan artikel ini dilakukan, terhitung sebanyak 21.278 tagar telah mewarnai jagat platform dunia maya Intstagram. Merupakan bentuk representatif dari sebuah pergerakan massa, tagar ini memiliki kekuatan yang sangat besar di dalam aksi yang berlangsung di kota pelajar tersebut. Bagaimana mungkin hal sekecil itu dapat memiliki pengaruh yang cukup besar hingga mampu mengumpulkan dan menggerakkan sejumlah massa yang begitu banyaknya di suatu tempat? mengapa orang-orang dibuat yakin dan percaya pada sebuah tagar yang kebenarannya mungkin patut untuk dipertanyakan. Begitulah sekiranya artikel ini ditulis; terbuka untuk diskusi, kritik serta saran.


Sekiranya kita dapat mengklasifikasikan tagar ini ke dalam suatu bentuk social movement berbasis komunikasi massa, hal ini merajuk pada apa yang telah dipaparkan Adler dan Rodman, dalam (Errika, 2011):


Komunikasi massa, merupakan level komunikasi terbesar dengan cakupan sasaran komunikasi terbanyak. Komunikasi massa terdiri dari pesan-pesan yang ditransmisikan ke sasaran audience yang benyak dan tersebar luas, dengan menggunakan koran, majalah, televisi, radio, dan internet.


Melalui bentuk komunikasi massa ini masyarakat dapat saling berhubungan dan menyebarluaskan informasi. karena disebut dengan komunikasi, yang berarti hubungan interaktif, penyebarluasan tagar ini memungkinkan seseorang memberikan reaksinya terhadap informasi yang telah mereka terima dengan berbagai macam bentuk—dalam kaitannya dengan fenomena ini, dapat dikatakan bahwa kehadiran orang-orang di Gejayan pada saat itu merupakan sebuah tindakan respon atas tagar yang telah disebarluaskan. Tentu saja, informasi yang terkadung dalam tagar tersebut disertai dengan beragam data pendukung sehingga dapat menjadi pendorong masyarakat untuk akhirnya memutuskan untuk bergerak. Biasanya data yang dimuat telah mewakili kepentingan banyak pihak, sehingga tidak mengherankan bahwa melalui gerakan ini banyak massa telah menjadi partisipan.


Menurut seorang antropolog Amerika bernama David Aberle (dalam Margaretha, 2015), Social Movement dibagi menjadi empat tipe berdasar pada dua karakteristik yang berbeda; yaitu berdasar dari (1) siapa yang ingin dirubah atau siapa target gerakannya, dan (2) seberapa banyak perubahan yang sedang diupayakan. Keempat tipe tersebut mencakup; gerakan sosial alternatif, gerakan sosial penebusan, gerakan sosial revormatif, dan gerakan sosial revolusioner.

Ketika berbicara mengenai media sosial, tanpa disadari mungkin kita juga merupakan bagian dari apa yang sedari tadi menjadi topik pembicaraan.


Melalui platform yang ada di sana berbagai macam informasi menjadi bahan konsumsi sehari-hari, atau mungkin bisa juga turut serta menjadi pihak yang menyebarluaskan informasi, semuanya berjalan secara alami karena telah menjadi salah satu bagian dalam kehidupan masyarakat di era informasi ini. Menurut Jhon dan Swan dalam (Margaretha, 2015), Media sosial adalah situs yang menyediakan koneksi di antara para anggotanya. Ini berbeda dari media tradisional yang dipertimbangkan dari kualitas, kegunaan, frekuensi, jangkauan, kedekatan, dan keabadian. Media sosial beroperasi dalam sistem transmisi dialogis, berbeda dengan media tradisional yang beroperasi di bawah model transmisi monologis.


Kecepatan dalam perputaran informasi ini juga didukung oleh sifat naruliah manusia untuk selalu bersifat adaptif, salah satunya dengan cara mengikuti segala macam informasi yang disajikan di dalam media sosial.


Melalui status, komentar, notes, dan berbagai fasilitas dalam social media tersebut banyak orang berusaha menunjukkan keberadaannya dengan terus meng-update segala perkembangan yang ada. Suatu perkembangan yang jika di dunia nyata tak mungkin disampaikan, maka di dunia Social Media, perkembangan ini bisa menjadi konsumsi publik secara umum.” (Errika, 2011).


Setelah berbicara mengenai komunikasi massa, kali ini pembahasan akan diarahkan ke media sosial yang merupakan salah satu media terjadinya salah satu bentuk komunikasi tersebut. Media sosial memungkinkan banyak orang dari berbagai belahan dunia untuk dapat berkumpul dalam satu wadah dan waktu yang sama.Tanpa harus mengeluarkan ongkos yang cukup besar, informasi dapat tersebar dengan begitu mudahnya sehingga tidak mengherankan apabila banyak pihak yang menjadikannya sebagai jalan pintas untuk menacpai tujuannya.

                    Meski terkesan memiliki banyak manfaat dari adanya media sosial—contohnya adalah kemudahan dalam mengakses informasi, terdapat berbagai ancaman yang tak luput menyertai salah satu bentuk perkembangan teknologi dan informasi ini. Perang informasi  merupakan kemungkinan terdekat dalam konteks ini. Perang informasi yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja akan membiaskan kebenaran informasi dalam media sosial, dan akan berdampak terhadap kekacauan di dalam masyaralat, lebih parah lagi ketika fenomena tersebut memang dibuat untuk menyerang individu atau kelompok lain yang tidak sejalan dengannya.
                    “Perang siber (cyber war) dapat dipahami sebagai suatu situasi adanya proses penyangkalan, pengrusakan, berbagai modifikasi informasi dengan tujuan yang ditentukan si pengirim, seperti  penyerangan, manipulasi, serangan balik, melalui berbagai cara cyber, psikologis, yang akan mempengaruhi/mengganggu pihak musuh dalam aspek infrastruktur dan pengambilan keputusan.” (Iswandi, 2017).
                    Masih banyak dampak negatif dari adanya media sosial, salah satunya adalah sebuah gerakan individu atau kelompok tertentu dengan memanfaatkan keadaan yang sedang berlangsung dengan maksud untuk menjatuhkan salah satu pihak tertentu. Terkadang, karena melihat potensi yang luar biasa dari sebuah pergerakan yang dilakukan di media sosial, pihak-pihak ini memanfaatkan momen untuk menyampaikan tujuan mereka dengan seolah menjadikan data yang mereka miliki menjadi salah satu muatan dalam pergerakan tersebut.
                    Setelah kita pahami tentang berbagai seluk-beluk apa saja yang melingkupi kekuatan sebuah tagar di dalam media sosial sebagai sarana atau perangkat baru dalam pergerakan sosial, #GejayanMemanggil merupakan contoh konkrit dari terjadinya segala rentetan proses sosial ini. Dengan memahaminya secara lebih mendalam, sebagai seorang pelaku dalam gejala sosial ini kita patut untuk  bersikap bijak dan dapat mempertanggungjawabkan seluruh risiko dari tindakan yang kita lakukan di media sosial, karena pada umumnya persebaran informasi di media soaial bersifat umum serta dapat menjadi jangkauan banyak pihak.

Sumber:

1Gejayan Memanggil, 2019, “RILIS PASCA AKSI DAMAI” dikutip 02/10/2019 via: https://www.instagram.com/p/B2wzyhZlx5i/.

33 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page