top of page
Search

RKUHP dan Potensi Pelanggaran Privasi

Updated: Nov 22, 2019

Belakangan ini rakyat Indonesia dihebohkan dengan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pasalnya, beberapa poin dalam RKUHP dinilai bermasalah. Beberapa pasal dinilai multi-tafsir sehingga berpotensi menimbulkan masalah dikemudian hari. Salah satu pasal yang berpotensi menimbulkan masalah salah satunya adalah pasal 417 dan pasal 419 tentang Perzinaan.


Pasal-Pasal yang Bias

Pasal 417 dan pasal 419 ini tercantum dalam Bab XV tentang Tindak Pidana Kesusilaan. Pasal 417 ayat (1) tentang Perzinaan, berbunyi: “setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda kategori II”, sedangkan pasal 419 ayat (1) tentang kohabitasi, berbunyi: “setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II”. Kedua pasal tersebut melegitimasi kuasa negara atas ruang privat warga negaranya. 📷


CC:Jurnas.com

Pasal 417 dan pasal 419 dalam RKUHP mengintervensi urusan warga negara dalam ruang privat. Hal ini dikarenakan pasal-pasal tersebut menggunakan standar moralitas suatu kelompok tertentu. Perlu diingat bahwa sebuah undang-undang harusnya tidak memiliki bias atas kelompok manapun. Pasal ini dinilai berpotensi dapat menjadi pembenaran bagi para “polisi moral”. Padahal tanpa adanya pasal-pasal itu para “polisi moral” sudah tumbuh subur di Indonesia dan merasa berhak menghakimi hidup orang lain. Padahal, tidak semua orang memiliki standar moral yang sama.


Pasal-pasal dalam RKUHP berpotensi bias kelas. Sebagai contoh, warga negara yang tinggal di perumahan padat penduduk lebih perpotensi untuk dilanggar ranah privatnya oleh masyarakat. Situasi berbeda akan dialami oleh orang dari kelas menengah atas. Misalnya laki-laki dan perempuan yang tinggal di apartment pribadi ibu kota mungkin akan lebih aman dari intervensi negara dan para polisi moral. Hukum harusnya tidak bias kelas dan status sosial. Adanya pasal-pasal terkait kesusilaan ini kemungkinan tidak akan berlaku bagi orang-orang dengan ekonomi menengah ke atas. Padahal, orang-orang yang tidak memiliki dokumen pernikahan yang disahkan oleh negara kebanyakan adalah warga negara kelas menengah ke bawah atau kaum minoritas.


Batas Rancu Urusan Publik dan Privat

Pembagian yang jelas terkait batas ruang privat dan ruang publik sangat penting. Kejelasan ini harus nampak mulai dari aturan-aturan yang mengatur ruang privat dan ruang publik di suatu negara. Aturan-aturan tersebut tidak dibenarkan apabila mengatur urusan warga negara dalam urusan yang terlalu privat. Perbedaan moral dan nilai-nilai yang dianut dan dipraktekkan setiap orang yang beragam menjadi alasannya.


Urusan-urusan pada ranah publik memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang bertemu. Orang-orang dari berbagai latar belakang berkumpul dalam suatu lingkungan yang disebut ruang publik. Ruang publik contohnya sekolah, halte bus, hingga mal. Dikarenakan ruang publik menjadi tempat bertemunya orang-orang dari berbagai latar belakang, diperlukan aturan yang bersifat universal yang bisa mengatur ketertiban orang-orang ini. Aturan-aturan ini berfungsi untuk menjaga keamanan, kenyaman, dan ketertiban orang-orang yang berkumpul dalam ruang publik ini.


Diperlukan perlakuan berbeda bagi urusan dalam ranah privat. Suatu aturan tidak bisa begitu saja mengatur seluruh individu dalam ranah privatnya. Hal ini dikarenakan setiap orang menganut nilai-nilai yang berbeda. Berbagai nilai yang melekat pada individu ini bersumber dari lingkungan dimana individu berada. Satu nilai bisa menjadi valid di satu tempat, tetapi bisa menjadi tidak valid di tempat lain.


Pencampuradukan antara ranah publik dan privat ini berpotensi menimbulkan kekacauan. Kekacauan dapat timbul dari pergesekan nilai yang dianut antar individu. Pada dasarnya setiap orang memilki bagian dalam dirinya yang bisa diatur dalam ranah publik, tetapi juga memiliki bagian intim yang pengaturannya tidak bisa disamakan dengan orang lain. Topik privat yang sering dilanggar di Indonesia biasanya terkait seksualitas.


Pelanggaran atas seksualitas di Indonesia dapat dilihat dari seringnya dilakukan zina ke penginapan-penginapan. Saya tidak pernah bisa mengerti urgensi dilakukannya razia pasangan-pasangan di penginapan yang banyak tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai lulusan SMK pariwisata yang pernah magang di hotel, penjagaan privasi tamu adalah yang utama. Oleh karenanya, saya tidak habis pikir bagaimana sekelompok orang bisa masuk ke kamar yang sudah di sewa oleh seseorang


Bagi saya, sudah keterlaluan apabila negara sampai mengatur urusan ranjang dan seksual warga negaranya. Dua urusan itu terlalu privat untuk dibahas dan diatur dalam undang-undang. Terlebih di Indonesia yang warga negaranya memiliki latar belakang suku dan budaya yang berbeda. Berbagai perbedaan ini menuntut perangkat negara dan pemangku kebijakan berpikir matang sebelum menetapkan suatu undang-undang. Salah-salah, suatu undang-undang malah menimbulkan chaos di dalam negara.


Kekacauan dalam negara yang timbul karena ketidaktepatan kebijakan terkait urusan publik dan privat dapat dilihat dalam berbagai sektor. Kembali lagi pada pasal 417 dan 419, apabila kedua pasal tersebut disahkan, sektor pertama yang akan terkena imbasnya adalah sektor pariwisata. Pasal-pasal ini berpotensi mematikan wilayah-wilayah di Indonesia yang menggantungkan perekonomiannya pada pariwisata, contohnya pulau Bali.


CC: Kumparan.com

Pulau Bali merupakan salah satu destinasi wisata yang banyak dikunjungi di Indonesia. Pulau Bali seringkali menjadi pilihan karena warganya yang ramah dan tidak banyak ikut campur dengan urusan orang lain. Situasi dinilai menguntungkan bagi wisatawan karena kebanyakan dari mereka datang untuk “mengasingkan diri”dari bising kota besar. Beberapa dari mereka ingin bebas melakukan apa yang ingin mereka lakukan ketika mereka berlibur di Bali. Kebebasan ini salah satunya terkait dengan seksualitas.


Saya selalu miris melihat sekelompok orang yang menerobos ke dalam hotel atau penginapan atas nama “moral” dan “agama”. Mereka bersikap seolah paling suci, padahal mungkin hobi menyambangi lokalisasi. Saya tidak bisa menerima cara mereka yang mengukur moral orang lain dengan standar moral yang mereka anut. Saya membayangkan apabila hal ini terjadi di hotel-hotel di Bali. Hati ini rasanya risih dan malu karena hal ini pasti akan disorot oleh media internasional sehingga merusak citra Bali sebagai daerah tujuan wisata.


Akhirnya, menurut saya, akan lebih baik apabila aturan dalam RKUHP tidak berpotensi bias kelas, status sosial, dan nilai moral yang diatur kelompok warga negara tertentu. Sebaiknya pemerintah mulai membatasi diri dalam mengatur ranah privat warga negara dan tidak terpengaruh nilai yang dianut satu kelompok masyarakat tertentu. Apabila pemerintah bersikeras mengatur terkait seksualitas warganya dengan alasan kesehatan, sebaiknya sosialisasi seks, pembebasan seks dari stigma tabu, pengenalan atas alat kontrasepsi lebih digalakkan dan bukan dengan serta merta memenjarakan dan mendenda pelaku “zina”.


Referensi:

Briantika,adi. 2019. Pasal Zina di RKUHP Berpotensi Lahirkan ‘Polisi Moral’ dan Persekusi. https://tirto.id/pasal-zina-di-rkuhp-berpotensi-lahirkan-polisi-moral-persekusi-eiBn. (diakses 1 Oktober 2019)

12 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page