top of page
Search

Raditya Baswara Anandito: Potret Perjuangan Membingkai “Indonesia” Lewat Film

Updated: Jan 1, 2020

(Oleh: Adinda Dwi Safira dan Tunggul Bawono Mukti Wahyutomo)





“Eh, kemarin pada nonton, kan?”


Kalimat itu adalah kalimat pertama yang dilontarkan olehnya kala sore itu, sejak baru beberapa detik yang lalu ia berjalan dari arah barat dan berdiri di depan bangku kami. Sembari melepas tas bahunya, ia mengambil tempat untuk duduk di sebelah kami. Ia meringis meminta maaf karena harus bertemu kami sambil mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Sebagai sesama mahasiswa, kami mengangguk dan memaklumi hal itu. Raditya Baswara Anandito, atau yang kerap kami sapa Radit, beberapa hari yang lalu mengatakan kepada kami bahwa project film dari komunitasnya akan ditayangkan di Jogja Netpac Asian Film Festival (JAFF), sebuah festival film yang terkenal di kalangan pegiat film, baik dari Yogyakarta sendiri maupun dari luar. Bersama 15 film pendek produksi komunitas lokal lainnya, “Bella, Perempuan di Kamar no. 2”, judul film project dari Selenophile Project yang disutradarai sekaligus diproduseri oleh Patrick Warmanda ini ditayangkan pada tanggal 19 November 2019 lalu di LPP Yogyakarta dalam sectionLayar Komunitas”.


Sepanjang kami mengenal Radit, tidak pernah terlintas di benak kami bahwa ia termasuk salah satu orang yang cukup berkecimpung di dunia perfilman independent sebelum ia mewartakan soal filmnya yang ditayangkan di JAFF. Sosoknya di mata kami adalah seorang yang senang berkesenian. Pementasan drama teater-nya bersama Teater Terjal, salah satu Badan Semi Otonom di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, beberapa telah kami tonton, pun tak ketinggalan beberapa pentas karawitan dan tari yang ia ikuti bersama Unit Kegiatan Mahasiswa, UKJGS (Unit Kesenian Jawa Gaya Surakarta). Saat Program Studi kami memiliki kegiatan rutinan bertajuk seni pun, ia selalu berada di baris terdepan untuk berpartisipasi. Pada semester pertama kami di Antropologi Budaya, ia dan beberapa teman yang lain mementaskan lakon “Rama dan Sinta” dan berperan menjadi karakter Rama itu sendiri dalam sebuah kegiatan rutinan mahasiswa baru, Syawalan. Kali ini pun ia sedang mempersiapkan Wayang Antro, pementasan dua tahun sekali yang akan diadakan pada bulan Maret mendatang.


Di balik semua kegiatan aktifnya dalam seni tersebut, kami masih cukup terkejut ketika beberapa hari sebelumnya dengan antusiasme yang tinggi ia mengatakan komunitas film yang ia ikuti di Jakarta, kampung halamannya, filmnya berhasil di tayangkan di JAFF. Sebagai salah satu crew Art Director, dia sangat bangga filmnya berhasil masuk ke dalam festival film kenamaan seperti JAFF. Film yang diproduksi pada tahun 2017—tepatnya ketika Radit masih duduk di bangku SMA—tersebut dikerjakan bersama komunitasnya bernama Selenophile Project dan disutradarai oleh temannya sendiri, Patrick Warmanda.




Potret Sebuah Komunitas Film


Selama di Jakarta, Radit dapat dikatakan sangat aktif di dunia perfilman, terutama komunitas-komunitas lokal independent di sana. Sejak duduk di bangku SMA, ia tergabung dengan komunitas Selenophile Project. Komunitas film ini berbasis produksi film. Film yang diproduksi pun selalu ditujukan pada festival-festival film, bukan layar sinema yang ditujukan untuk konteks film yang komersil. Dengan menggebu-gebu, ia mengatakan bahwa semua orang yang bergabung di sana tidak harus memiliki background film. Walaupun banyak juga anggota komunitas yang berasal dari Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta, tidak menutup kesempatan bagi orang-orang yang ingin belajar dari nol. Radit sendiri saat itu hanya sekadar pelajar SMA yang tidak tahu-menahu soal film. Temannya, Nanda, sang sutradara dari proyek film-nya yang ditayangkan di JAFF ini juga seorang mahasiswa psikologi, bukan mahasiswa film. “Siapa aja boleh banget buat gabung sama kita, belajar bareng, diskusi bareng,” ungkapnya sembari membenahi letak kacamatanya.


Radit sendiri sangat senang dengan dinamika dan proses yang terjadi di komunitas tersebut. Semuanya belajar secara otodidak. Semua orang yang ingin berpartisipasi langsung juga dapat mengajukan diri secara sukarela. Pada film Bella ini, ia juga mengajukan diri sebagai volunteer dalam divisi Art Director. Bersama tujuh orang lain, ia bekerja sama untuk membangun keselarasan setting lokasi dengan narasi yang hendak disampaikan. “Kurang lebih kerjanya hampir mirip kayak crew artistik di pementasan teater, sih. Kita yang ngatur properti yang dibutuhin apa, lighting yang pas buat tone film-nya, sama ngurusin kostum-make up buat aktor sama aktrisnya. Pokoknya, kita yang bertanggung jawab atas terbangunnya suasana di film Bella ini,” jelasnya.


Selain bersama Selenophile Project, ia juga tergabung bersama Kinosaurus, salah satu komunitas yang diperuntukkan para penggemar dan pencinta film. Kinosaurus sendiri sedikit berbeda dengan Selenophile Project. Komunitas ini lebih berfokus pada kegiatan screening film-film yang biasanya dilanjut dengan forum diskusi bersama pelaku film yang bersangkutan dengan film-film yang ditayangkan, seperti beberapa waktu yang lalu saat screening film Sekala Niskala (2018), didatangkan juga sang sutradara, Kamila Andini, untuk mengadakan sesi diskusi dan tanya-jawab bersama penonton. Sistem ticketing-nya berupa donasi. Dengan membayar sebesar 20 ribuan, kita sudah bisa menonton film pilihan kita. Jika beruntung, kita dapat berkesempatan untuk mengobrol langsung bersama salah satu sineas di balik film tersebut.


Proses Kreatif


Dalam susasana wawancara yang santai, tak lupa kami juga menanyakan kepada Radit seputar proses kreatif yang dilakukan oleh ia dan juga rekan-rekannya dalam berdinamika ketika melakukan proses produksi suatu film.


Radit menerangkan bahwa proses kreatif yang berlangsung dalam circle komunitas perfilmannya hampir serupa dengan dinamika proses pembuatan film indie pada umumnya, yakni apa yang disebut dengan kendala. Lebih lanjut, kendala yang Radit maksudkan ialah seperti dalam kondisi rapat pra-produksi dimana tidak semua kru dan anggota tim bisa menghadiri rapat tersebut, dan Radit sendiri menyimpulkan faktor kesibukan diantara masing-masing kru-lah yang menyebabkan hal tersebut dapat terjadi.


Mengingat bahwa yang digarap oleh Radit adalah berupa film Indie, maka kebebasan berekspresi adalah sesuatu hal yang melekat pada identitas jenis film tersebut (indie). Walaupun begitu, dalam setiap pengambilan keputusan mengenai tema film yang akan diangkat harus dilakukan proses berupa analisis yang berkelanjutan, seperti misalnya memperkirakan anggapan dan tanggapan para penonton baik sebelum maupun setelah menonton film tersebut.


Perihal proses kreatif dalam perjalanan pembuatan film “Bella, Perempuan di Kamar no. 2”, kami menangkap adanya hal unik sekaligus bisa dikatakan sebagai usaha yang totalitas, yang dilakukan oleh salah satu rekan Radit berupa tindakan menginap di suatu kos-kos an yang kondisinya serupa dengan latar tempat dalam film “Bella, Perempuan di Kamar no. 2”. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang terbaik bagi film tersebut.


Isu “Keindonesiaan” dalam Film


Pada film “Bella, Perempuan di Kamar no. 2” , kami menangkap adanya usaha untuk memuat suatu isu “Keindonesiaan” di dalamnya. Hal tersebut justru diamini oleh Radit dan ditunjukkan dengan anggukan kepala beliau.


Secara instrinsik, film ini dalam beberapa adegannya menggambarkan fenomena yang dewasa ini ada dalam dinamika masyarakat kita, sebut saja soal tindak-tanduk salah satu ormas islam yakni Front Pembela Islam atau biasa dikenal sebagai FPI.


Secara tidak langsung film ini berupaya untuk melakukan suatu upaya kritik terhadap subjek yang bersangkutan, namun dengan tanda kutip dengan cara halus.


“Menonton” Penonton


Ketika disinggung soal bagaimana respon para penonton yang riuh dengan siulan dan tertawaan saat film Bella ditayangkan, Radit langsung tertawa. Memang sedikit menggelikan ketika mengingat bagaimana respon para penonton tersebut menanggapi salah satu adegan yang mempertontonkan dua aktor dan aktrisnya sedang berciuman. Bukan suatu yang mengagetkan memang ketika dalam film mempertontonkan adegan yang dianggap senonoh, respon-respon yang ditunjukkan oleh penonton selalu seperti itu. Namun, hal itu sangat berbeda apabila diperbandingkan dengan film-film yang ditayangkan di layar sinema. Dalam film The Science of Fictions (2019) karya Yosep Anggi Noen yang juga ditayangkan di JAFF bertempat di Empire XXI, ada sebuah adegan seks yang ditampilkan pada pertengahan film. Tetapi, tidak ada respon riuh yang ditunjukkan penonton.


Saat ditanya bahwa harus ada pertimbangan tersendiri terhadap audiens yang dituju dengan film-film yang hendak ditayangkan, Radit mengatakan, “fifty-fifty”. Untuk film Bella sendiri, mungkin saja lebih baik juga untuk menayangkannya di tempat dan penonton yang eksklusif, agar pesan-pesan yang pada film dapat tersampaikan kepada orang-orang yang lebih memahami konteks bahasan. Namun, ia juga merasakan perlu juga untuk menayangkan film-film dalam bahasan sensitif tertentu seperti film Bella ini. Maka dari itu, bersama yang lain, ia setuju bahwa film-nya ditayangkan dengan sistem seperti layar tancap di LPP kemarin—dan tentunya dengan penonton yang sedikit lebih berbeda dan bervariasi. Ia mengatakan, “Kita juga pengin mengubah mindset bahwa film indie adalah film mengenai ekslusivitas, dan biar masyarakat tuh punya preferensi film lain gitu.” Ia menambahkan, mungkin pada screening film Bella kemarin, akan lebih baik apabila ada semacam diskusi lanjutan yang dilakukan mereka selaku pelakunya untuk memberikan pemahaman lebih lanjut soal cerita yang disampaikan dan mencegah terjadinya keriuhan penonton malam itu.

38 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page