Provokasi Semu dalam Gerakan Mahasiswa
- Bias Baihaki Muhammad
- Oct 4, 2019
- 4 min read
Updated: Oct 4, 2019

photo by Ayu Mumpuni/Alinea.id
Mencoba tidak menjadi skeptis dan apatis. Itulah yang saya lakukan ketika menanggapi aksi demonstrasi mahasiswa terhadap kebijakan yang otoriter. Pada kali ini, rasanya saya sedang tidak tertarik membahas polemik negeri tentang penolakan, pengesahan, penghapusan, dan topik-topik populis lainnya yang disuarakan oleh mahasiswa. Menguak aksi demonstrasi dalam perspektif lain dan tanggapan tentang realita anti mainstream yang tidak tampak di permukaan publik menurut saya merupakan sisi lain pergerakan yang juga patut untuk dikupas secara objektif maupun subjektif.
Implementasi gerakan Gejayan Memanggil
Senin, 23 September 2019 adalah hari dimana saya dan ribuan mahasiswa Yogyakarta turun ke jalan dalam aksi demonstrasi di Gejayan, Yogyakarta. Tajuk ‘Gejayan Memanggil’ diproklamirkan ke berbagai penjuru guna bersama-sama berkumpul pada satu titik, yakni di pertigaan Jalan Colombo yang terhubung dengan Jalan Gejayan. Seruan lagu-lagu pergerakan didengungkan aliansi mahasiswa sebagai medium penyampaian aspirasi. Berbagai ungkapan protes diteriakkan oleh setiap mahasiswa yang resah terhadap situasi politik negara.
Gerakan serupa juga digencarkan di berbagai daerah di Indonesia. Bengawan Melawan, Semarang Bergerak, Surabaya Menggugat, hingga Mosi Tidak Percaya dijadikan bahasa pergerakan mahasiswa. Tuntutan mereka sama, yakni menuntut otoritas mengkaji ulang rancangan kebijakan yang kontradiktif dan mengesahkan peraturan yang berpihak kepada rakyat. Namun, saya melihat perbedaan tentang metode dan strategi gerakan yang berimplikasi pada buntut penyelesaian demonstrasi. Ada yang memilih aksi damai, ada pula yang berakhir dengan kekerasan.
Pemandangan menarik saya dapatkan ketika turun ke Gejayan. Ekspetasi terhadap suasana demonstrasi yang mencekam seolah-olah buyar ketika tajuk ‘aksi damai’ benar-benar berakhir dengan damai. Meskipun teriakan-teriakan nasionalis tiada henti dikumandangkan, nyaris tidak terdengar suara provokatif yang direspon oleh telinga saya. Barisan mahasiswa benar-benar tersusun rapi dengan patuh mengikuti komando tiap-tiap koordinator barisan. Gerakan aksi damai tersebut mendapat respon positif dari masyarakat sekitar.
Respon positif masyarakat sekitar dibuktikan dengan partisipasi warga sekitar yang memberikan bantuan berupa air mineral, makanan ringan, dan lain sebagainya. Bahkan, terdapat momen yang memorable bagi saya, yakni ketika beberapa pemilik kios buah di pinggir Jalan Colombo mencoba reaktif terhadap massa yang menghibahkan barang dagangannya berupa jeruk dan salak kepada massa aksi dengan melemparkannya dari lantai dua kios mereka. Sorak sorai gembira dan ungkapan terima kasih pun dilayangkan guna memberikan kesan suportif diantara dua elemen masyarakat tersebut.
Gerakan mahasiswa berakhir dengan kericuhan di berbagai daerah
Lenyapnya ekspektasi yang saya bayangkan terhadap aksi demonstrasi membuat mata saya tertuju pada aksi di daerah lain. Aksi damai yang saya alami di Yogyakarta, pada kenyataannya kontras dengan apa yang teman-teman mahasiswa rasakan di daerah lain. Jakarta adalah contoh perbandingan yang paling jelas. Selasa, 24 Oktober 2019 adalah puncaknya. Aliansi mahasiswa seluruh Indonesia bersama-sama memadati Gedung DPR di Senayan. Keberagaman warna jaket almamater seolah-olah melambangkan kebangkitan romantisme lama di tahun 1998.
Apabila Gejayan diselimuti kedamaian, maka Senayan dikutuk dengan kekisruhan. Aksi demonstrasi di Senayan pecah karena adanya gesekan antara para demonstran dan aparat keamanan. Lambannya respon perwakilan DPR dan kesewenang-wenangan aparat pun memperparah situasi yang awalnya berjalan kondusif. Semburan air dari water cannon dan gas air mata pun mewarnai langit Senayan pada hari itu.
Bukan hanya di Jakarta, kekisruhan juga melanda gerakan-gerakan lain di berbagai daerah. Bandung, Surakarta, Semarang, dan Medan merupakan beberapa contoh bahwa situasi demonstrasi di sana tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Jakarta. Perusakan fasilitas umum, bentrok dengan aparat keamanan, dan insiden berdarah tidak dapat dihindarkan. Bayangan saya tentang demonstrasi yang sesungguhnya ternyata tidak terjadi di Yogyakarta, melainkan di kota-kota lain dan dialami langsung oleh beberapa kawan saya yang turut turun ke jalan.
Tindakan provokasi dalam lingkaran gerakan mahasiswa
Saya berasumsi bahwa aksi demonstrasi mahasiswa yang berakhir damai maupun ricuh dipengaruhi oleh seberapa siap massa menghadapi provokator-provokator yang berseliweran di tengah-tengah kerumunan massa. Selain itu, adanya oknum-oknum mahasiswa yang tidak satu visi juga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pemicu kerusuhan, mengingat kompleksitas tuntutan yang disuarakan. Kesiapan dalam perencanaan suatu gerakan juga patut untuk dipertimbangkan. Adanya konsolidasi mengenai teknis lapangan perlu untuk dilakukan guna mengantisipasi kemungkinan terburuk yang akan terjadi, seperti apa yang dilakukan oleh aliansi mahasiswa di Yogyakarta.
Sulit bagi saya untuk langsung menuduh siapa dalang kerusuhan dibalik aksi demonstrasi mahasiswa baru-baru ini. Media yang merupakan akses vital sebagai sumber diskursus hanya menampilkan kejadian fisik di lapangan tanpa memberikan kontekstual yang lebih terhadap sisi lain demonstrasi. Paling mudah, mungkin kita akan menyalahkan aparat keamanan yang bertindak agresif terhadap massa. Atau bahkan semangat berapi-api yang ditunjukkan melewati batas ketertiban, sehingga provokasi-provokasi yang dilancarkan ditanggapi secara emosional oleh massa yang lain.
Namun, apabila saya melihat pada konteks yang diperjuangkan, tidak layak apabila kita menyalahkan pihak-pihak yang turun ke lapangan. Dalam hal ini ialah mahasiswa dan aparat keamanan. Jika ditilik lebih dalam, permasalahan fundamental yang terjadi ialah persoalan pemerintah dan rakyat. Apakah aparat keamanan dapat diidentifikasi sebagai pemerintah? Dan apakah kita benar-benar yakin bahwa suara mahasiswa mewakilkan suara rakyat?
Saya berpikir bahwa gerakan yang dilakukan mahasiswa dan tindakan yang dilancarkan oleh aparat keamanan ialah didasarkan pada tekanan yang mereka dapatkan. Mahasiswa tertekan karena adanya kebijakan represif yang dirancang pemerintah, sementara aparat keamanan tertekan karena tugas negara yang diberikan oleh pemerintah. Jika dipikir-pikir, bukankah ini semacam adu domba yang dilakukan oleh pemerintah? Korban berjatuhan, baik dari aparat maupun rakyat sipil. Lalu, pemerintah dan anggota dewan seolah-olah tidak memusingkan keadaan di luar ruangan mereka.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah dituduh provokasi, mereka juga yang menjadi korban. Mungkin kalimat tersebut cocok untuk menggambarkan kondisi mahasiswa maupun aparat keamanan. Politik yang semacam inilah yang sebenarnya mencoba membenturkan kepentingan rakyat dan negara. Siapa yang menggerakkan? Ya, sang pemilik wewenang yang dalam artian ini ialah pemerintah.
Peran semu pemerintah dalam aksi demonstrasi mahasiswa ini kemudian berimplikasi pada multitafsir tindakan yang tertuju pada mahasiswa maupun aparat keamanan. Keduanya dituding sebagai provokator atas kericuhan aksi demonstrasi. Padahal, saya berani mengatakan secara gamblang bahwa provokator sejati dalam aksi demonstrasi ini adalah otoritas yang memiliki kekuasaan tak terbatas.
Comments