top of page
Search

Problematika Menikah: Menyelesaikan atau Menambah Masalah?

Nama : Hanum Ari Prastiwi (18/424761/SA/19133)

  Widya Milliyani (18/424772/SA/19144)



Pernikahan atau perkawinan adalah salah satu siklus dalam kehidupan manusia. dalam siklus ini manusia mengalami suatu peralihan atau life cycle dari tingkat remaja ke tingkat berkeluarga. Dari sudut pandang kebudayaan, perkawinan berperan untuk mengatur tingkah laku manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksualnya. Perkawinan juga memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, perlindungan, dan memelihara hubungan baik antara kelompok-kelompok kerabat tertentu. Dari pengertian tersebut, perkawinan bersifat fungsionalistik, yaitu perkawinan secara sengaja dilakukan oleh manusia agar manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga mampu menempatkan diri pada fungsi dan perannya masing-masing di dalam suatu perkawinan (Koentjaraningrat, 1992:93).

Dalam Bab I Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pengertian perkawinan adalah “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Di Indonesia perkawinan yang sah memiliki dua unsur, yaitu perkawinan harus dilaksanakan sesuai dengan syarat dan prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang atau hukum negara dan hukum agama. Artinya jika perkawinan hanya dilangsungkan menurut ketentuan Undang-Undang Negara tanpa memperhatian ketentuan-ketentuan agama, perkawinan  tersebut dianggap tidak sah, begitu pun sebaliknya. Keikutsertaan pemerintah dalam kegiatan perkawinan adalah dalam hal menyangkut proses administratif, dimana perkawinan harus dicatatkan sebagaimana dimuat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

 “The institution of marriage is found in all societies. In the United States, marriage means stabilized patterns of norms and roles associated with the mutual relationship between husband and wife. It joins together a man (or men) and a woman (or women) in a special kind of social and legal arrangement that serves several purposes for a society. While this definition fits what is meant by marriage in the United States and other Western nations, it is not broad enough to encompass the essential features of marriage across all cultures. However, because marriage as an institution may differ in structure, function, dynamics, and meaning from one culture to another, no all-encompassing definition of marriage is possible (Kottak 1991). In almost all societies, it entails a legal contract (written or verbal), and this contract varies in the degree to which it can be broken.” (Ponzetti, 2003: 1094)

Dalam sosiologi pernikahan atau perkawinan adalah suatu peristiwa terikatnya seorang perempuan dan laki-laki dalam janji suci untuk membentuk sebuah keluarga yang memenuhi persyaratan sesuai  undang-undang yang telah ditetapkan oleh negara. Sebuah pernikahan atau perkawinan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan sosial. Melalui sebuah penikahan atau perkawinan sepasang manusia mampu menyatukan dua keluarga yang berbeda, membentuk sebuah keluarga, dan menghasilkan keturunan yang akhirnya menjadi bagian dari organisasi sosial yang disebut sebagai nuclear family. ”In most societies, marriages are formed to produce children. From the perspective of evolutionary biology and sociobiology, all individual human beings, as with other species, are driven to reproduce and invest in their offspring to ensure that their genes are passed on to future generations. For at least two million years and perhaps longer, marriage or some arrangement like it has been the social relationship that has proven most effective for this purpose. It is also in the interest of all social groups to maintain and reproduce themselves so that the group will continue. Through the marital union, a stable living unit is established (a family). In this unit, children are socialized into the society’s norms and values. In some societies, the connection between marriage and reproduction is so strong that if conception does not occur a divorce is permissible, and often is automatic. In others, a marriage does not take place until after pregnancy occurs and fertility is proven (Miller 1987). For a society, the institution of marriage ensures the regulation of sexual activity for adults and the socialization and protection of children born as a result of that sexual activity.” (Ponzetti, 2003: 1904)

Menurut G.P. Murdock, salah satu tokoh sosiologi yang memandang keluarga dari perspektif fungsionalis, mengatakan bahwa keluarga melakukan empat fungsi dasar di masyarakat, yaitu fungsi seksual, reproduksi, ekonomi, dan pendidikan. Murdock juga mengatakan bahwa fungsi dalam keluarga tidak dapat dipisahkan dari anggota keluarga itu sendiri. Jika salah satu fungsi tersebut mengalami disfungsional maka sebuah keluarga tidak akan berjalan semestinya. Lalu bagaimana dengan mereka yang memutuskan untuk menikah dini atau menikah muda? Apakah mereka sudah siap untuk menjalankan fungsi-fungsi dari sebuah pernikahan dan keluarga?

Keberagaman makna pernikahan sendiri sebenarnya hanyalah percabangan dari pemaknaan tunggal yang ditenggelamkan karena dianggap mencoreng kesucian. Di sini kita tidak berbicara tentang seks. Tidak, jauh lebih fundamental lagi, pernikahan adalah sebuah keinginan untuk meng-ada (will to exist). Aku menikah, maka aku ada.Kita akan lihat mengapa makna tunggal ini adalah inti dari semuanya. Masyarakat, bersenjatakan budaya dan agama, bahkan beberapa dengan pengalaman pribadinya, meniadakan segala bentuk hubungan lawan jenis yang tidak memiliki ikatan yang bisa dianggap nyata. Kemudian, dari peniadaan ini, muncul berbagai tudingan tidak menyenangkan kepada siapa saja yang diketahui memilikinya. Bagi kaum laki-laki, tudingan yang sangat kentara adalah bahwa siapapun yang mengaku memiliki hubungan pra-nikah, maka ia adalah pengecut. Dan bahwa laki-laki sejati haruslah menikahi pasangannya. Sedang bagi perempuan, hubungan pra-nikah adalah sebuah degradasi atas harga diri.

Berbagai tudingan yang dilontarkan pada pasangan pra-nikah akhirnya berujung pada penyerangan terhadap eksistensi hubungan itu sendiri, yang kemudian menjadi titik berangkat dari berbagai penyerangan yang mengatasnamakan janur kuning. Selama janur kuning belum melengkung, aku masih berhak atas kekasihmu dan aku sama berhaknya denganmu. Kalimat ini merupakan pengejawantahan paling lugas atas nullifikasi kepemilikan (nullification of possession) bagi pasangan pra-nikah. Dan karena hal ini berlaku umum, maka terciptalah sebuah ketakutan yang masif dan terorganisir, yang kemudian menjadi sebab dari peperangan abadi antara masyarakat melawan pasangan pra nikah. Peperangan ini, meski terihat begitu kompleks dan tak berujung pangkal, sebenarnya memiliki akar yang sederhana. Masyarakat berusaha meniadakan pasangan pra-nikah, sedang pasangan itu sendiri berusaha mempertahankan eksistensinya.

Masyarakat, sejauh ini, menganut pada sebuah kepercayaan bahwa cinta berada di bawah segalanya. Hal ini tampak dalam pernyataan yang lazim diucapkan, “Cinta tidak bisa dimakan”.Tidak ada cinta di hati masyarakat, cinta hanya mitos. Hal ini tentulah bukan merupakan sesuatu yang aneh jika mengingat bahwa kelompok masyarakat yang melontarkan pernyataan ini merupakan golongan masyarakat praktis. Masyarakat dari golongan praktis menganggap hidup sebagai sebuah pertarungan tanpa henti untuk mempertahankan kehidupan itu sendiri. Slogan mereka sederhana, aku hidup maka aku tidak boleh mati. Bagi mereka, pernikahan dimaknai dengan kebersamaan yang lapar, dimana yang terpenting adalah bahwa mereka bisa makan. Bagi mereka, pernikahan adalah soal pemenuhan kebutuhan dan cinta telah berubah menjadi sebuah eksistensi teoritis.

Idealisme mengenai pernikahan sebagai perpaduan pasangan dalam pencarian kebutuhan primer ternyata telah berhasil memupuskan segala harapan. Kalangan pasutri praktis menemukan hal ini terjadi pada mereka dalam sebuah penyesalan yang mengerikan. Istri akan berkata, “Wahai suamiku, aku berjuang keras menjaga anakmu dan memasak untukmu.”Sementara suami akan berkata,“Wahai istriku, aku berjuang mencari uang untukmu, maka layani aku.” Dan tuntut menuntut ini akan terus berlanjut dalam diam hingga berujung pada ketakutan yang teramat sangat terhadap perselingkuhan. Ujung dari ketakutan ini adalah sebuah pembenaran atas kekurangan. Istri akan membenarkan kekurangannya secara fisik sebagai akibat memberikan pelayanan dan akibat kehamilan, sementara suami membenarkan sifatnya yang sewenang-wenang sebagai imbalan mencari uang.

Perselingkuhan tidak akan memiliki tempat, jika dan hanya jika pernikahan memang sungguh-sungguh bermakna. Nyatanya, perselingkuhan masih terjadi dan ini menandakan bahwa pernikahan, dengan sendirinya, tidaklah nyata berarti. Pernikahan tidak menambahkan makna apa-apa pada sebuah hubungan, kecuali bahwa hubungan tersebut kini sudah dinyatakan “ada” oleh masyarakat. Nihilnya makna pernikahan itu sendiri sebenarnya merupakan sesuatu yang diakui oleh semua orang. Dari sini, maka wajarlah bila kita berangkat menuju perceraian. Pernikahan adalah absurd dan karenanya akan cenderung mengakhiri dirinya sendiri. Hal inilah yang diungkapkan oleh Albert Camus terkait dengan absurditas kehidupan, yakni bahwa apapun yang manusia kerjakan, sebenarnya hanyalah agar ia tidak bunuh diri. Agar tidak bunuh diri maka seorang manusia perlu bersikeras. Tentunya adalah legal untuk mengaitkan ini dengan pernikahan. Agar tidak bercerai, maka pasangan harus bersikeras.

Selama kehendak manusia untuk ada masih bersemayam di hati seorang pasutri, maka mereka tidak perlu terlalu bersikeras. Mereka tidak perlu berjibaku terlalu dalam dengan proses dan perjalanan pernikahan. Mereka hanya perlu duduk dan menikmati keberadaan mereka yang diakui oleh masyarakat. Namun, manusia tidak pernah dan tidak akan pernah cukup akan pemenuhan satu hasrat. Rasa haus akan hasrat berikutnya setelah satu hasrat dipenuhi adalah sesuatu yang bersifat aksiomatik. Akhirnya, akan tiba saat dimana pengakuan masyarakan tidak lagi nyata penting. Di sinilah letak pentingnya esensi dari pernikahan. Sehingga apabila pernikahan tidak lagi bertujuan untuk membangun keberadaan, setidaknya masih ada sebuah hakikat yang menjadi tiang pegangan.

Seperti kata Jean Paul Sartre, eksistensi mendahului esensi. Artinya, untuk dapat bermakna, sesuatu haruslah terlebih dahulu ada. Meski hal ini menurut Sartre tidak bisa dipertukarkan, namun bukan berarti arahnya tidak bisa berkebalikan. Jika eksistensi hadir sebelum esensi, maka hilangnya esensi pastilah mendahului hilangnya eksistensi. Artinya, apabila sesuatu sudah tidak bermakna, maka sesuatu itu haruslah menjadi tiada. Esensi pernikahan yang diraih dengan susah payah melalui pemaknaan, pada suatu waktu, akan menemukan titik ujungnya, yakni keinginan untuk bercerai. Perceraian adalah penolakan terhadap eksistensi pernikahan yang berawal dari hilangnya esensi. Dan patut disayangkan, terkikisnya esensi pernikahan seringkali didukung dengan pemaknaan terhadap eksistensi diri yang arahnya berlawanan. Aku bercerai, maka aku ada.

Jika absurditas pernikahan diam-diam sudah bisa diterima, bahwa tidak ada ikatan sama sekali di dalamnya dan bahwa siapa saja bisa berpisah, maka apa yang menyebabkan pernikahan dibuat seakan-akan bermakna? Siapa yang repot-repot merangkainya? Di sinilah letak kehendak manusia, baik pria maupun wanita, untuk berkuasa (Will to Power). Konsep yang diperkenalkan oleh Friedrich Nietzsche inilah yang membawa pernikahan berada pada ambang absurditasnya, yaitu ketika seseorang tidak mampu lagi memaknai pernikahannya, maka ia cenderung beralih ke makna pernikahan sebagai kesempatan untuk berkuasa. Aku menikah, maka aku berkuasa.

Kekuasaan laki-laki berada pada kepemilikannya atas istri (mungkin inilah penyebab banyak suami yang ingin punya banyak istri, dalam hal ini aku tidak tahu). Sedangkan kekuasaan istri berada pada utuh tidaknya perhatian suami (mungkin ini pula penyebab banyak istri yang tidak suka suaminya menikah lagi, aku juga tidak tahu). Kehendak untuk berkuasa dalam prakteknya, adalah pencegahan terhadap perceraian yang paling ampuh. Tidak ada seorang pun yang ingin kehilangan benda miliknya (yakni istri bagi suami), seperti tidak seorang pun yang ingin kehilangan perhatian darinya (yakni suami bagi istri). Dalam hal ini, pernikahan, menjadi sebuah hasrat atau kehendak untuk memiliki. Berawal dari kehendak untuk berkuasa, maka munculah kehendak untuk memiliki (will to possess).

Pernikahan sebagai kehendak untuk memiliki, yang dianut dengan sangat penuh kepercayaan oleh kaum praktis, bertahan cukup lama sejak zaman kerajaan hingga awal abad ke-21. Dalam perjalanannya, paham pernikahan oleh kaum praktis selalu, secara kontinu, mendapatkan perlawanan dari kaum metafisk. Mereka adalah kaum yang secara diam-diam tidak mengakui segala kesengsaraan yang bersifat hakiki dalam pernikahan. Mereka adalah masyarakat yang sudah lelah dengan segala paradoks yang diciptakan oleh kaum praktis, yaitu dimana pernikahan harus disegerakan, sementara kesengsaraannya juga harus dipertimbangkan. Artinya, setiap orang harus segera menyambut kesengsaraan. Pernyataan yang bersifat paradoks ini adalah sebuah penghubungan paksa antara nurani dan akal sehat manusia. Oleh karena itu, ia mendapat perlawan dari kaum metafisik sebagai kaum yang mengutamakan pemurnian nurani semata. Pengejawantahan yang paling jelas dari kaum metafisik adalah tragedi kawin lari yang banyak terjadi. Namun, pada dekade kedua abad ke-21, kaum metafisik menjadi begitu berjaya dan mendapatkan dukungan dari berbagai pihak yang melindungi setiap aksi pemberontakannya.  

Lima tahun terakhir, menikah muda sedang menjadi trending di kalangan masyarakat Indonesia. Bahkan di tahun 2019 masyarakat Indonesia menjadikan pernikahan di usia muda sebagai gaya hidup atau life style yang diikuti oleh kalangan muda. Sosiologi memandang fenomena menikah muda sebagai suatu hal yang wajar terjadi masyarakat menimbang kebudayaan manusia yang selalu bergerak dinamis. Namun, tak sedikit orang yang tak memahami arti dari menikah muda sehingga menyebabkan terjadinya pernikahan atau perkawinan dini. Dalam Pasal 6 s.d. 11 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,  pasal 6 menjelaskan mengenai usia kedua calon mempelai, yaitu “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat ijin kedua orang tuanya/salah satu orang tuanya, apabila salah satunya telah meninggal dunia/walinya apabila kedua orang tuanya telah meninggal dunia”. Kemudian pada pasal 8 menyebutkan bahwa “Perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita mencapai umur 16 tahun. Kalau ada penyimpangan harus ada ijin dari pengadilan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun wanita.” Bunyi kedua pasal tersebut secara tidak langsung mengatakan bahwa laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah 21 tahun masih dianggap dini untuk menikah meskipun secara agama  sudah akil baligh.

Pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan pada usia dibawah 18 tahun (UNICEF, 2000). Ada beberapa faktor yang melatar belakangi  terjadinya pernikahan dini, di antaranya adalah pengaruh lingkungan, tingkat pendidikan yang rendah, kebutuhan ekonomi yang tidak mencukupi, dan kondisi keluarga yang kurang harmonis. Tingkat ekonomi yang rendah menyebabkan individu mendapatkan pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah menimbulkan individu tidak memperoleh pengetahuan yang cukup untuk bekal hidup, seperti soft skill, pengetahuan mengenai seks, dan narkoba. Oleh karena itu, banyak pernikahan dini dilakukan karena perilaku seks yang menyimpang. Orang tua menikahkan dua individu tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menimpa keluarganya dan untuk menghindari atau mengurangi sanksi sosial. Sayangnya, cara tersebut bukanlah cara yang tepat untuk dilakukan karena akan menimbulkan masalah baru.

“In the United States, the most often stated reason for marrying is for love—that is, a man and a woman perceive a mutual emotional and/or physical attraction that is satisfying enough to both that they decide to contract a lifelong relationship. Marriage is a socially sanctioned relationship from which children are born; thus, many people marry to have children. Some persons are premaritally pregnant, and they choose marriage to provide two parents for their child or to escape the negative sanctions or stigma they feel they may experience as an unwed parent. Other persons report that their motivation for entering into a marriage is for economic security, to escape the living situation they are in, or because the relationship has lasted so long that marriage is viewed simply as the “next logical step” (Knox and Schacht 1991).”  (Ponzetti,2003:1095)

In the United States, marriage is a legal contract, with the state regulating the economic and sexual exchanges between two heterosexual adults (McIntyre 1994). The fifty states vary somewhat in the regulations or criteria that must be satisfied before a couple can contract to marry. Most states specify that people must get a license to marry; must be a specific age before they can marry; must marry only people of the opposite sex; must not be married to someone else; cannot marry persons with whom they hold certain kin relationships (e.g., mother, father, sibling, in-laws [in some states]); and must be married by a legally empowered representative of the state with two witnesses present. In some states, the couple must have blood tests made to ensure that neither partner has a sexually transmittable disease in the communicable stage. Some states demand a waiting period between the time of purchasing a marriage license and the marriage ceremony (Knox and Schacht 1991). The nature of the legal contract is such that the couple cannot dissolve their marriage on their own; the state must sanction the dissolution of marriage, just as it sanctions the contracting of it. (Ponzetti,2003:1905)

Conclusion Marriage represents a multi-level commitment, one that involves person-to-person, family-to-family, and couple-to-state commitments. In all societies, marriage is viewed as a relatively permanent bond, so much so that in some societies it is virtually irrevocable. The stability provided by a life-long promise of remaining together makes marriage the institution most suited to rearing and socializing the next generation of members, a necessary task if the society’s norms, values, and goals are to be maintained and if the society itself is to be perpetuated.

MARRIAGE PREPARATION

Marriage preparation programs are offered to adolescent, young adult, and remarrying partners to increase readiness for predictable tasks of married life and reduce their likelihood of distress and divorce. Under the broader rubric of relationship enhancement, training workshops, self-help materials, marital therapy, and/or support services are offered to individuals, dating couples, cohabitants, and married couples to improve knowledge of relational issues, interpersonal skills, personal insight, and behavior change. Marriage preparation programs typically target one or more of the following objectives: (1) Prevention of distress, including dating or domestic violence and conflict, and prevention of divorce by altering malleable risk factors (e.g., negative interpretations, conflict resolution skills); (2) competence-building, by enhancing self- and other-awareness (e.g., attitudes and behaviors that improve or erode marriage), knowledge of couple issues (e.g., finances, sexuality, parenting), interactive skills (e.g., communication, problem solving, stress management), and access to resources (e.g., self-help curricula, social services, mutual support networks); and (3) intervention, including individual or couple therapy as appropriate, to resolve conflict, promote healing, teach skills for growth, or to deter partners from entering a high-risk marriage.  (Ponzetti, 2003: 1102)

Liza Minelli once sang of a woman at the ripe old age of 31 who was not yet married. She traveled the world, determined to “haul me home a hus’ if it’s the last thing I do.” It’s a comic—perhaps downright unattractive—image. But then, magically, effortlessly, she meets a man along the way who happens to live in the apartment next door and, of course, he falls for her too. This is our understanding of modern love—it will happen when we stop looking, when we stop trying so hard. So when David Slagle or some other religious leader encourages 19-year-olds to be intentional about marriage, to actually make a list of the qualities they are looking for in a spouse, to figure out what are their “non-negotiables,” it doesn’t sound romantic. Perhaps for women, in particular, it sounds like they will turn into high-maintenance nags, the types men aren’t interested in anyway. (Ponzetti, 2003: 36)

Because many young people take so long to find a husband or wife and because even the ones who do care about faith are not particularly intentional about what they are looking for in a mate, they tend to simply drift into what will be the most serious relationship of their lives. In an article in the Wall Street Journal, a woman in her early 40s describes why she has not yet married and had children. She writes that she did not put her career first or feel that she was not ready. Rather, she writes, she “craved something less logical.” She confesses, “I believe in soul mates.”

Daftar pustaka

Schaefer Riley, Naomi. 2013. Til Faith Do Us Part: The Rise of Interfaith Marriage and The Future of American Religion, Family, and Society. New York. Oxford University Press dalam http://gen.lib.rus.ec diakses pada 16 Desember 2019 pukul 14.10

J. Ponzetti, James. 2003. Volume 3. International Encyclopedia of Marriage and Family. Macmillan References USA dalam http://gen.lib.rus.ec diakses pada 19 Desember 2019 pukul 15.45

Astuti, Dewi. 2018. Menjadi Istri dan Ibu di Usia Muda. Surabaya. Universitas Airlangga dalam repository.unair.ac.id diakses pada 15 Desember 2019 pukul 20.16

Tsany, Fitriana. 2017. Trend Pernikahan Dini di Kalangan Remaja. Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama dalam ejournal.uin-suka.ac.id diakses pada 15 Desember 2019 pukul 20.15

Pradhipti Oktarina, Lindha, Mahendra Wijaya, dan Argyo Demartoto. 2015. Pemaknaan Perkawinan: Studi Kasus pada Perempuan Lajang yang Bekerja di Kecamatan Bulukerto Kabupaten Wonogiri. Halaman 75-90 4(1). Jurnal Analisa Sosiologi dalam https://media.neliti.com diakses pada 15 Desember 2019 pukul 20.1

61 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page