top of page
Search

Pertunjukkan Teater: Wujud Kebudayaan sebagai Medium Atas Isu Sosial atau Pelestarian Budaya?

Updated: Jan 1, 2020

(Oleh: Adinda Dwi Safira dan Tunggul Bawono Mukti Wahyutomo)


*bertolt-brecht-three-penny-opera


Indonesia adalah negara yang penuh dengan kompleksitas. Dengan wilayah luas yang terdiri dari kepulauan-kepulauan terpisah, membuat negara kita memiliki beragam kelompok etnis masyarakat, yang akhirnya juga merujuk pada keberagaman identitas sekaligus bentuk dari tingkah lakunya. Dengan begitu beragamnya kelompok etnis, semakin beragam pula kebudayaan-kebudayaan yang kita miliki. Hal inilah yang membuat kebudayaan dapat dibilang sebagai salah satu aset yang dibangga-banggakan oleh Indonesia. Melalui pariwisata yang dewasa ini semakin berkembang pesat, kebudayaan-kebudayaan lokal diusung dan “dijual” untuk memancing para wisatawan—terutama wisatawan asing—agar menjadikan Indonesia sebagai pilihan utama untuk plesiran. Maka dari itu, pelestarian kebudayaan adalah solusi utama untuk memenuhi tujuan tersebut.


Kesenian sebagai salah satu dari unsur dan wujud kebudayaan yang banyak dijadikan “ikon” adalah salah satu hal yang menjadi sasaran pelestarian kebudayaan. Banyak kesenian-kesenian tradisional Indonesia yang dijadikan fokus betul-betul oleh pemangku-pemangku pelestarian budaya dan pemerintah baik nasional maupun daerah. Kesenian tersebut dapat berupa tarian, pertunjukkan musik, kerajinan kriya, dan lain sebagainya. Salah satu bentuk kesenian lainnya adalah pertunjukkan lakon atau drama—yang memang menjadi fokus utama pada tulisan ini. Untuk menanggapi bagaimana pemerintah dan pemangku pelestarian budaya lain telah melakukan hal sedemikian rupa untuk mempertahankan kesenian lokal Indonesia, di sini kami akan menunjukkan mengenai gambaran bagaimana pengaruh dan peranan pelaku seni teater atau drama pada generasi masa kini terhadap kesenian-kesenian lokal. Alih-alih ambil andil terhadap pelestarian kesenian-kesenian lokal tersebut, sebagian dari mereka justru memanfaatkan privilege mereka—as an artist—untuk menjadikan sebuah pertunjukkan sebagai medium untuk menyampaikan keresahan atau kegelisahan terhadap isu-isu sosial yang terjadi di Indonesia.


The Culture Itself


Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam bahasan ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah “keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. Di samping bahwa istilah “keseluruhan” dalam kalimat tersebut mengandung ambiguitas (Ahimsa Putra, 2018), dapat dikatakan bahwa frasa “kehidupan masyarakat” merupakan kunci dari kebudayaan itu sendiri. Dari sana lah bagaimana ‘kebudayaan’ ada dan terciptakan. Di dalam kehidupan masyarakat, setiap orang memiliki kepribadian tertentu. Koentjaraningrat sendiri mendefinisikan orang yang berkepribadian sebagai “orang yang mempunyai beberapa ciri watak yang diperlihatkannya secara lahir, konsisten, dan konsekuen dalam tingkah lakunya sehingga tampak bahwa individu tersebut memiliki identitas khusus yang berbeda dari individu-individu lain”. Kepribadian tersebut dibentuk dari pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri atas masing-masing individu (Koentjaraningrat, 1989). Karena dalam suatu kehidupan bermasyarakat ada bermacam-macam individu, maka dapat dipastikan pula bahwa ada bermacam-macam perilaku atau tingkah laku dan atau interaksi antar manusia, sehingga bermacam-macam juga kebudayaan yang pada akhirnya diciptakan dan juga terbentuk.


Namun, tidak seperti pada penjabaran yang disebutkan di awal, latar belakang etnis dan ras bukanlah penyebab atas adanya keragaman tingkah laku masyarakat (Koentjaraningrat, 1989). Secara otomatis, etnisitas dan rasial juga bukan penyebab (utama) atas terciptanya (keragaman) kebudayaan. Alih-alih karena persoalan ras dan kesukubangsaan, keragaman tingkah laku masyarakat terjadi karena “kolektif-kolektif di mana manusia itu melakukan proses bergaul dan berinteraksi. Koentjaraningrat memberikan contohnya dalam bentuk konteks sebuah negara nasional dan lapisan sosial tertentu. Secara ras dan etnis sendiri, Indonesia juga memiliki kompleksitas terhadap identifikasinya, sehingga istilah kedua istilah tersebut terdengar lebih tepat dan jelas.


Di dalam khazanah disiplin ilmu antropologi sendiri, Koentjaraningrat secara lugas mengatakan bahwa tugas seorang sarjana antropologi tidak lah hanya mengilhami ketujuh unsur kebudayaan, mempelajarinya secara detail dan mengidentifikasikan setiap kebudayaan yang ditemukan ke dalam masing-masing kelompok unsur kebudayaan tersebut, namun juga untuk memahami adanya keterkaitan antar masing-masing unsur kebudayaan dan melihat hubungan antara setiap unsur kebudayaan dengan keseluruhannya. Para ahli antropologi biasanya memakai istilah holistik untuk menggambarkan metode tinjauan yang mendekati suatu kebudayaan itu sebagai suatu kesatuan yang terintegrasi (Koentjaraningrat, 1989).


Dimas Eka Maulana, seorang mahasiswa semester ketiga Jurusan Teater di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, memiliki pengalaman berbeda soal kebudayaan selama satu tahun lebih menjalani perkuliahan. Pemuda berumur 19 tahun tersebut mengiyakan bahwa memang banyak sekali tokoh antropolog seperti Koentjaraningrat dan Edwar Burnett Tylor dalam penjabaran mengenai kebudayaan dalam mata kuliah pengantar kebudayaan. Definisi kebudayaan milik Koentjaraningrat adalah definisi yang sudah berada di luar kepalanya. Namun, selama perkuliahan, ia merasa bahwa ia hanya diperlihatkan potret bagaimana proses dan dinamika kebudayaan itu sendiri berkembang dan bertahan di Indonesia. Tidak ada tindakan lanjutan—seperti analisis mendalam dan sebagainya—yang harus ia lakukan sebagai seorang mahasiswa seni terhadap pemahaman dan pengetahuan kebudayaan yang telah ia terima selama perkuliahan.


*Dimas Eka Maulana dalam suatu pertunjukan teater



Lain halnya dengan Muhammad Faraz Yoga Fanani, seorang pemuda yang pernah menempuh kuliah di fakultas ekonomi Universitas Muhammadiyah Surakarta namun ia memutuskan untuk tidak melanjutkan proses kuliahnya tersebut. Cuyong, (nama panggilan yang melekat pada dirinya) ketika ditanya mengenai apa itu The Culture Itself, ia mempunyai jawaban yang rupa-rupanya bisa dibilang sebagai suatu bentuk ketidaktahuan, apalagi mengingat background kuliahnya (fakultas ekonomi, tepatnya studi jurusan Ilmu Ekonomi) dulu sama sekali tak membahas perihal permasalahan semacam ini. Bagaimana tidak, beliau justru menjawabnya dengan mengatakan bahwa ia tidak tahu menahu mengenai perihal apa itu kebudayaan terlebih dalam kacamata secara definisi. Beliau ketika ditanya mengenai apa itu definisi kebudayaan, jawaban yang dilontarkan olehnya mungkin terkesan seperti definisi kebudayaan pada umumnya yakni “sesuatu bentuk perilaku maupun tindakan yang notabene sudah menjadi kebiasaan yang mendarah daging dan sulit dihilangkan”.



*Muhammad Farraz Yoga Fanani dalam acara HUT di Universitas Muhammadiyah Surakarta




Berkaca dari hal tersebut, bahkan seorang pelaku kesenian pun yang dalam hal ini adalah mengenai seni pertunjukan yang kemudian dikerucutkan menjadi kesenian dalam bentuk Teater, belum tentu mampu memahami definisi kebudayaan secara teoritis seperti yang digadang-gadang dan diharapkan bagi kebanyakan orang. Perlu diketahui juga bahwa walaupun beliau (Cuyong) adalah orang yang berkecimpung dalam dunia seni pertunjukan yang dalam hal ini ialah kesenian Teater, pandangan yang ia wujudkan ketika menjawab pertanyaan mengenai apa itu definisi kebudayaan malah cenderung terkesan abstrak. Tentunya hal tersebut bukanlah sesuatu yang salah, melainkan dapat dijadikan sebagai bentuk keragaman perihal sudut pandang setiap orang ataupun para pelaku kesenian.


Kami menyadari bahwa jawaban tersebut dapat muncul dikarenakan perbedaan dalam hal posisi sebagai pihak pelaku, pengamat ataupun orang yang hanya mempelajari secara teks saja, sebut saja kalangan akademisi. Dalam hal ini, Cuyong yang notabene berposisi sebagai pelaku kesenian yang tentu saja pemahaman sekaligus tindakan mengenai praktek lebih penting dan diutamakan ketimbang pemahaman secara definisi, atau lebih mudahnya pemahaman secara teori saja. Perlu diketahui juga bahwa dalam berkesenian menurutnya, yang lebih penting adalah bertindak dan menghasilkan karya ketimbang mereka-mereka yang hanya sibuk memperdebatkan perihal definisi kebudayaan secara teks dan teoritis.


Dalam beberapa momen, Cuyong juga melontarkan suatu respon jawaban lain atas pertanyaan yang kami lontarkan kepadanya. Beliau pun mengatakan dengan gamblang bahwa ia memilih bersifat apatis terhadap apa yang disebut dengan Culture, baik itu secara definisi teks maupun dalam kesehariannya. Mendengar jawaban tersebut tentu saja membuat kami tercengang, apalagi jawaban tersebut berasal dari orang yang notabene adalah pelaku seni. Secara lebih lanjut, beliau menerangkan terkait alasannya memilih jawaban semacam itu bahwasannya menurut ia kebudayaan menurut kebanyakan orang merupakan sesuatu hal yang tak jauh dari apa yang disebut dengan pelestarian yang pada akhirnya berujung dalam suatu bentuk aktivitas komersialisme. Tambahnya, lagi-lagi beliau menerangkan juga bahwa kebudayaan bukanlah suatu hal yang perlu diperdebatkan, sebab baginya kebudayaan merupakan sesuatu yang kadangkala datang dan pergi. Menurutnya dalam beberapa kondisi suatu bentuk kebudayaan kadangkala perlu untuk pergi, apalagi jika suatu bentuk kebudayaan yang pergi tadi dirasa sudah kurang sesuai dengan kondisi suatu zaman maupun keadaan. Begitu pula sebaliknya, kebudayaan dalam beberapa kondisi juga perlu untuk Datang jika dibutuhkan. Misalkan dalam kondisi krisis moral ataupun krisis sosial, kebudayaan dalam konsep sebagai sesuatu yang Datang perlu untuk kemudian dihadirkan dalam keadaan semacam itu, katakanlah semisal seperti kebudayaan tata krama ataupun sopan santun.


“Mendefinisikan” Kesenian


Sebagai seseorang yang baru setahun lebih menempuh pendidikan di insititusi seni, Dimas merasa kesulitan mengartikan seni itu sendiri. Sampai hari ini, ia masih menangkap hal tersebut sebagai sesuatu yang asbtrak. Ia mengakui memang bahwa sebelum resmi terdaftar menjadi mahasiswa ISI, ia pasti mengaitkan seni dengan hal-hal yang lokal, tradisional, dan etnik. Namun, semenjak itu, ia tidak dapat langsung mengatakan dengan jelas ketika ditanyai soal seni. Ia berpikir bahwa hal ini mungkin dipengaruhi oleh dinamika perkuliahan yang ia alami selama di ISI. Dengan diberikan beragam perspektif—dosen, teman sekelas, komunitas, organisasi, dan pengalaman lainnya—ia merasa bahwa ada semacam perpindahan orientasi atas definisi seni itu sendiri. Dalam beberapa mata kuliah yang menyinggung langsung soal ‘teater’, orientasinya sudah berubah ke origin teater itu sendiri, yaitu Barat. Hal-hal yang mengarah pada lokalitas dan etnisitas sudah seperti terkikis (atau justru dikikis?) dengan pengetahuan-pengetahuan dasar teater yang kebanyakan berasal Eropa dan wilayah Barat lainnya. Namun, tidak langsung bisa dikatakan hilang karena memang beberapa pengampu masih ada yang menyinggung soal seni-seni pertunjukkan lokal, seperti wayang, ketoprak, dan lain-lain.


Hal yang sama tersebut juga dialami oleh Cuyong yang notabene sudah bergelut dengan kesenian teater (baik sebagai pemeran maupun penyusun naskah dan Astrada) hampir 2 tahun lamanya. Baginya, kesenian sampai saat ini merupakan suatu hal yang begitu abstrak. Bahkan kebiasaan seperti menyiram tanaman dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengandung suatu unsur kesenian. Walaupun dalam jawabannya Cuyong mendeskripsikan kesenian sebagai sesuatu yang abstrak, baginya kesenian merupakan suatu bentuk ekspresi yang bersumber dari jiwa manusia itu sendiri, ia pun memaksudkan bahwa entitas seperti ide dan inspirasi sebagai suatu penjelmaan dari jiwa itu tadi.


“Sesuatu yang kebanyakan orang mencibir, misalkan sepert suasana yang dikait-kaitkan dengan hal-hal yang berbau Indie, ucap Cuyong dalam lain kesempatan ketika menanggapi perihal apa itu kesenian. Beliau mengatakan bahwa kebiasaan mencibir tersebut sebenarnya merupakan suatu bentuk dari kemunafikan yang dilakukan secara tak sadar. Munafik menurutnya ialah bahwa orang-orang yang mencibir mengenai suatu bentuk kesenian tadi sebenarnya dalam lubuk hati, mereka menyimpan rasa ketertarikan terhadap suatu bentuk kesenian bahkan kesenian yang bisa dibilang jelek sekalipun. Namun mereka-mereka itu malu untuk mengekspresikan rasa ketertarikannya di hadapan publik.


Lantas ketika dimintai pendapat soal seni sebagai kebutuhan, Cuyong yang pernah mendapatkan posisi sebagai Astrada di pentas teater yang berjudul “Subversif” tersebut menganggukkan kepala tanda setuju. Seni sebenarnya bagi setiap orang adalah suatu kebutuhan yang baiknya dipenuhi hasratnya. Pengakuan yang ungkapkan ini muncul bukannya tanpa alasan, sebab posisinya sebagai pemeran dan juga Astrada mempengaruhinya. Ia pun mengakui bahwa selepas ia merampungkan suatu pementasan teater, dalam dirinya merasakan suatu bentuk kepuasan tersendiri. Kepuasan yang ia maksudkan adalah sebagai individu pelaku seni ia berhasil melaksanakan tugasnya dengan tuntas dan berhasil, terlepas dari karya yang dihasilkan kurang memuaskan ataupun naifnya disebut jelek. Proses berkesenian menurutnya merupakan suatu bentuk aktivitas Detoksifikasi terkait unsur-unsur negatif yang ada pada diri yang bersangkutan. Hal itu menurutnya dapat terjadi dikarenakan dalam proses berkesenian khususnya seni peran seperti teater, masing-masing individu dituntut untuk mengeluarkan usaha sebaik mungkin termasuk menjiwai karakter suatu tokoh yang dimana selanjutnya menyebabkan individu tersebut menjadi terkuras pada bagian emosi hingga perasaannya sekalipun.


Pada akhirnya, kesenian sebenarnya merupakan suatu hal yang tak memiliki pakem tertentu dalam dinamika pelaksanaannya. Seperti yang dikatakan Cuyong, bahwa dalam berkesenian justru hal-hal seperti totalitas, dedikasi sekaligus sikap bodo amat merupakan suatu pakem yang harus dikembangkan, bodo amat disini adalah tak memperdulikan perkataan maupun cibiran orang-orang yang sekiranya dirasa tidak bersifat membangun malah bahkan cenderung merusak. Sekilas pernyataan tersebut terkesan kontras bila dibandingkan dengan ucapan sebelumnya, namun sebenarnya dalam pernyataan tadi terdapat suatu penekanan bahwa pakem harus tetap ada dalam berkesenian dalam artian pakem-pakem intrinsik seperti totalitas, dedikasi dan sikap bodo amat.


Kesenian Teater: Isu Sosial > Lakon Lokal?


Berlokasi di Yogyakarta kemudian tidak membuat ISI Yogya, terutama pada Jurusan Teater, masih kental dengan segala tradisionalitas yang memang sudah melekat dan menjadi identitas bagi kota tersebut. Perubahan orientasi tersebut diakui menjadi pengaruh utama mengapa hal tersebut dapat terjadi. Aliran Barat seperti Romantisme atau Realisme yang dijadikan acuan oleh pengampu-pengampu mata kuliah di Jurusan Teater ISI yang pada kenyatannya memang mengangkat langsung terkait mengenai isu-isu sosial yang terjadi di Eropa pada periode Pertengahan dan Pencerahan, seperti peperangan, konflik politik, perusakan alam yang merupakan ulah akibat yang ditimbulkan dari adanya revolusi industri, dan lain sebagainya. Hal ini kemudian mempengaruhi para pelaku teater di ISI untuk melakukan hal yang sama. Lakon-lakon yang dipilih untuk pementasan kebanyakan mengangkat isu-isu sosial yang sedang atau pernah dialami oleh Indonesia. Tak jarang pula, naskah-naskah ciptaan pelaku teater dari Barat diadaptasi dengan geografi dan situasi di Indonesia.


Pola-pola tersebut memang terlihat dalam pementasan-pementasan yang diselenggarakan oleh ISI, seperti dalam naskah-naskah yang digunakan pada sebuah festival rutin yang diadakan dua tahun sekali oleh Jurusan Teater ISI bernama Festival Teater Remaja Nusantara (FTRN): Ayahku Pulang karya Usmar Ismail dan Surat Pada Gubernur yang diadaptasi dari karya Theodore Apstein (FTRN 2013), Sayang Ada Orang Lain karya Utuy Tatang Sontani dan Barabah karya Motingge Busye (FTRN 2015), Bila Malam Bertambah Malam karya Putu Wijaya dan Orang Asing karya saduran Djajakusuma dari naskah berjudul Lithuania karya Rupert Brooke (FTRN 2017), serta naskah saduran dari Sitor Situmorang berjudul Hanya Satu Kali yang diadaptasi dari teks play terkenal di Amerika berjudul The Valiant (FTRN 2019).


Dimas juga menambahkan, walaupun beberapa kesenian pertunjukkan lokal dijelaskan dalam mata kuliah tertentu atau beberapa kesenian lokal dapat ditemukan di penjuru kampus atau Yogyakarta sendiri, hal tersebut tidak mempengaruhi pementasan-pementasan yang dilakukan. Bahkan adanya percampuran dengan kesenian lokal masih dapat dihitung dengan jari. Isu sosial dan current affairs masih menjadi bahasan favorit para pelaku teater di ISI. Tidak hanya dari perlakunya, penonton juga terbilang lebih menyukai pementasan yang—meminjam istilah Dimas—less local.


Sama seperti yang dikatakan oleh Dimas diatas, bahwa kecenderungan tema-tema yang dipentaskan dalam teater-teater (penulis mengambil sampel dari wilayah per-teater an Universitas Muhammadiyah Surakarta) di Surakarta juga didominasi oleh naskah bertemakan kondisi sosial. Kami mengambil contoh yakni mengenai teater Ngirit yang dipentaskan oleh Cuyong dan kawan-kawannya yang berjudul “Subversif”. Tema pentas ini berkaca pada fenomena pencemaran limbah buangan industri yang dilakukan oleh sebut saja namanya P.T. RUM. Dalam proses nya, seluruh elemen dalam pentas tersebut tidak mengharapkan terkait adanya efek sindiran terhadap objek yang bersangkutan tersebut. Mereka lebih memilih membiarkan pikiran dan sikap para penonton untuk berdemokrasi dalam menanggapi materi ataupun pesan-pesan yang dipentaskan tersebut.


Kecenderungan pemilihan tema-tema berbau isu sosial yang dilakukan oleh kelompok teater (ISI Yogya dan UMS) tentunya bukan tanpa alasan. Alasan yang setidaknya dapat dicermati ialah terkait dengan relevansi sosial, bahwa diharapkan dengan mengangkat tema semacam itu khalayak umum khususnya para penonton, dapat menjadikan hal tersebut sebagai usaha untuk mengingat-ingat sekaligus peka dan kritis terkait dengan keadaan sekitar.


Kesimpulan


Dengan segala kompleksitas yang dimiliki negara, kebudayaan dan kesenian lokal menjadi hal paling terakhir yang menjadi perhatian para generasi masa kini. Justru, isu-isu sosial yang menempati urutan pertama pada hal-hal yang diperhatikan oleh mereka. Melalui kegiatan pertunjukkan—pameran seni rupa, fotografi, musik, dan pada kasus ini pertunjukkan teater, anak-anak muda mulai menunjukkan andil atas kepedulian-kepedulian terhadap permasalahan-permasalahan sosial yang sedang dialami negara. Berkaca pada aliran Realisme di Eropa, isu-isu kemanusiaan menjadi highlight utama dalam lakon-lakon yang ditampilkan. Para pelaku teater pada masa kini menjadikan pementasan teater—hal yang menjadi bakat dan kegemaran—sebagai medium untuk menyampaikan ekspresi dan suara mereka terhadap isu kemanusiaan, keadilan dan lain-lain, alih-alih menampilkan lakon lokal. Hal ini menunjukkan bagaimana turunnya minat terhadap kesenian dan kebudayaan lokal yang berakibat pada penurunan pelestarian budaya pada generasi masa kini.


Daftar Pustaka


Prof. Dr. Koentjaraningrat. 1989. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Prof. Heddy Ahimsa Putra. 2018. Ceramah Kelas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Antropologi Program Studi Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada mengenai “Kebudayaan”. Yogyakarta.

17 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page