top of page
Search

Dua Perspektif Memahami HAM

Oleh Bias Baihaki Muhammad dan Muhammad Hilmi Reyhan

Sumber: WEKU


Manusia sebagai sebuah entitas memiliki nilai yang tak bisa lepas dari keadaannya. Hak serta kewajiban adalah satu dari sekian nilai-nilai yang melekat di tubuh manusia tersebut, hak asasi manusia pun tak terkecuali. Diskursus terkait hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) telah ada sejak zaman dahulu.


Namun, pembahasannya semakin masif dilakukan pasca usainya Perang Dunia ke-2, dan sebagai puncaknya pada tahun 1948 beberapa negara membuat suatu konsensus yang kemudian dinamai Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal atas Hak Asasi Manusia. Melalui deklarasi tersebut, poin-poin yang dianggap sebagai hak asasi dasar manusia disebarluaskan, hingga kemudian negara-negara lain turut menyetujui dan meratifikasinya.


Di Indonesia sendiri, legitimasi akan adanya HAM telah diakui melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. UU tersebut menjadi payung hukum sekaligus mendefinisikan seperti apa yang dimaksud dengan HAM. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa


"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."


Gagasan terkait HAM tertuang dalam segala aspek kehidupan. Perlu diingat jika HAM secara melekat ada dalam tiap pribadi manusia, dan oleh karenanya ia menjadi bersinggungan dengan semua hal yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Eksistensi HAM pun dapat dipahami secara eksplisit/material maupun implisit/nonmaterial. Aspek eksplisit maksudnya ada atau tidaknya HAM yang terpenuhi dapat dilihat dengan mata secara langsung, misalnya adanya hak manusia untuk memperoleh penghidupan yang layak.


Di sisi lain, kebebasan seakan-akan menjadi implisit saat kebebasan tersebut tidak secara konkret terlihat dan diperjuangkan; seolah-olah kebebasan adalah suatu hal yang semu. Kondisi demikian sangat mungkin terjadi saat hegemoni terjadi. Terlebih, orang yang berada di kelas bawah dan terhegemoni justru tidak bisa berbuat banyak, lebih ekstrim lagi saat ia bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada di bawah kuasa hegemoni.


Secara umum, HAM dimaknai sebagai seperangkat ide yang posisinya melekat di dalam setiap perseorangan. Dalam konteks HAM modern, beban untuk pemenuhannya jatuh di tangan negara. Negara sebagai pemegang kekuasaan dan orotitas tertinggi tentu memiliki daya yang cukup kuat juga sumber daya yang memadai untuk memenuhi hak-hak dasar manusia.


Walau demikian, tidak jarang pula penyelewengan HAM dilakukan oleh sosok negara itu sendiri. Untuk bisa membahas sejauh itu, pertama perlu diketahui sejarah HAM dan arus kebangkitannya. Dalam tulisan ini akan dibahas secara khusus melalui perspektif ilmu antropologi dan ilmu

hubungan internasional.


Ombak Kemunculan

Perang Dunia telah usai. Namun, bukannya ketenangan dan kedamaian yang ada di mana-mana, alih-alih masalah pasca perang muncul. Kekurangan bahan makanan di sana-sini, bangunan-bangunan yang sudah rusak, juga bermacam kerugian perang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Kondisi demikian mendesak untuk membentuk suatu suatu perserikatan di bawah payung tujuan yang sama, yaitu tercapainya perdamaian dunia. Lahirlah Liga Bangsa-Bangsa atau League of Nations. Organisasi tersebut menjadi cikal bakal berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa yang disebut juga United Nations di kemudian hari.


Melalui masa waktu 1920-an ini pula, sebuah disiplin ilmu bernama Hubungan Internasional mulai diperhitungkan keberadaannya sebagai sebuah fokus baru dari disiplin ilmu sosiologi. Hubungan Internasional secara spesifik menelaah terkait interkoneksi, interaksi, dan diplomasi serta dinamika lain yang terjadi antarnegara. Posisi disiplin ilmu Hubungan Internasional pun semakin mantap pasca Perang Dunia ke-2 selesai pada tahun 1945. Spesifiknya, melalui Universal Declaration of Human Rights, diskursus mengenai HAM dan relasi antarnegara menjadi lebih lazim.


Brigitta Kalina [1] memaparkan pada kami jika HAM, di satu sisi merupakan konstruksi negara pemenang Perang Dunia ke-2. Negara pemenanglah yang menentukan arah ke mana dan sebatas apa hak asasi bolehlah dimaksud pada saat itu. Dengan kata lain, HAM muncul dari hegemoni di mana negara pemenang Perang Dunia ke-2 lah yang berhak menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Mereka yang selama sebagian besar waktu memiliki kondisi yang cenderung mapan, memiliki kuasa untuk menentukan sebagaimana batas layak dan hak asasi itu sendiri berada.


Pemaknaan terkait HAM dalam ranah diskusi internasional menjadi hal yang kiranya agak dilematis. Sosok yang kerap dipanggil Kalin tersebut menjelaskan jika dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional sangatlah sulit untuk bisa terjun ke lapangan—terlebih lokasi yang sedang terjadi konflik. Oleh karenanya, dalam proses komunikasi untuk memperoleh data dan informasi dilakukan upaya diplomasi.


Proses tersebut biasanya diwakili oleh seorang diplomat yang menjelaskan kondisi dan situasi terakhir terkait lokasi yang dituju. Hal tersebut pun dapat menimbulkan masalah baru: tidak aktualnya informasi. Dengan demikian, dalam disiplin ilmu Hubungan Internasional diperlukan data sebanyak mungkin untuk memperjelas gambaran tentang suatu hal secara holistis dan komprehensif.


Di sisi lain, antropologi tidak secara gamblang meneliti terkait HAM dan relasinya dengan perjuangan manusia untuk memperoleh kehidupan yang layak. Studi antropologi yang menggunakan metode etnografi yang deskriptif, bagaimanapun juga, tetap berusaha menjelaskan fenomena tersebut melalui kacamata etnografi dan juga antropologi sosial-budaya. Pertanyaan besar pun dilemparkan Englund, seorang antropolog, dalam kaitannya dengan hak asasi manusia: apa kepekaan antropologi terhadap keragaman manusia dan kemungkinan kontingensi historis ketika tidak dianggap sebagai relativisme budaya dan moral? (Englund, 2016).


Disebutkan oleh Englund bahwa deklarasi AAA (American Anthropologist Association) pada tahun 1999 tentang Antropologi dan Hak Asasi Manusia dapat menjadi landasan dalam kerangka berpikir terkait HAM dan antropologi. Dalam deklarasi tersebut disampaikan bahwa kontribusi antropologi dalam pemahaman HAM termanifestasi dalam penjabaran bahwa HAM bukanlah sesuatu yang statis. Oleh karena itu, pemaknaan disiplin ilmu antropologi akan HAM akan terus berevolusi seiring berkembangnya pengetahuan atas kondisi manusia secara lebih baik.


Sejarah antropologi yang terus berevolusi menghasilkan pada konsepsi bahwa diperlukan keberlanjutan dalam pemahaman HAM. Adanya pengembangan fokus maupun gerakan-gerakan maupun tren baru mengarah kepada semakin jelasnya gambaran mengenai HAM dalam perspektif antropologi. Melalui penelitian-penelitian dengan pelbagai fokus dan konsentrasi, tiap-tiap fragmen tersebut dapat berkolaborasi dan memberikan pem


Perbedaan paling mencolok antara antropologi dan hubungan internasional terletak pada metode penelitian yang dilakukan oleh masing-masing disiplin ilmu. Jika dalam hubungan internasional acapkali tidak memungkinkan dilakukan studi lapangan, sebaliknya di dalam antropologi (khususnya riset etnografi) sosok peneliti dituntut untuk terjun ke suatu masyarakat agar mengetahui keadaan secara aktual.


Walau demikian, riset lapangan yang dilakukan dalam antropologi terbatas pada wilayah tertentu dan waktu tertentu. Kondisi tersebut berimplikasi pada hasil akhir riset antropologi yang hanya bisa mencakup wilayah dalam skala mikro. Di sisi lain, ilmu hubungan internasional dapat mengelaborasikan gejala-gejala tertentu secara komparatif dan dalam skala yang lebih besar.


Dalam konsep disiplin ilmu hubungan internasional, ada empat hak dasar yang harus dimiliki atau juga empat hak dasar ini harus dipenuhi oleh negara atau pihak lain yang menjadi naungan seseorang. Empat hak tersebut antara lain: survival, identity, well-being, dan freedom. Masing-masing hak tersebut sama kedudukannya, dan tidak ada yang menjadi prioritas di antara satu dengan yang lainnya. Keempat hak tersebut haruslah dimiliki setiap orang karena menjadi hak dasar agar seorang manusia dapat hidup secara layak.


Implementasi terhadap isu kemanusiaan: kasus HAM di Papua

Berbicara mengenai HAM, maka berbicara pula tentang keadilan. Keadilan sendiri menurut Lucas (1972), merupakan suatu hal yang menjadi dasar perilaku dalam berpolitik. Dasar perilaku tersebut dijalankan untuk menciptakan kondisi politis yang kondusif dengan merumuskan dan memainkan sebuah keputusan yang berdasar pada kepentingan orang banyak.


Akan tetapi, kami berpikir bukankah sesuatu yang melibatkan banyak orang berpotensi menimbulkan munculnya kompleksitas kepentingan? Kemudian, siapa yang dapat menjamin hadirnya sebuah keadilan? Toh, di Indonesia pun, bunyi Pancasila sila kelima masih menjadi sebuah retorika yang penuh akan tanda tanya. Hingga kami pun percaya bahwa keadilan bukanlah sesuatu yang didapatkan ketika kita berdiam diri, melainkan harus ada esensi yang diperjuangkan di dalamnya


Namun, seiring dengan perkembangan modernitas politik yang melanggengkan legalitas, pengertian keadilan kemudian dapat didefinisikan sebagai bentuk kritik terhadap suatu hukum. Banyaknya kelompok-kelompok yang menuntut keadilan atas politik kepentingan seolah-olah menjadi medium kritik terhadap konsep keadilan sebagai perilaku dasar politik. Hal tersebut terjadi bukan tanpa alasan. Egoisme dalam menentukan arah kebijakan berujung pada rancunya konsep keadilan.


Selain itu, sentrisnya persepsi keadilan sebagai perilaku politik seakan-akan menjadi lupa terhadap aspek sosial budaya. Hal tersebut tentunya menjadi penghambat proses mencapai sebuah keadilan yang berdiri atas nama kepentingan bersama. Resiprositas tidak berada di dalamnya. Sebagaimana keterkaitannya dengan HAM, problematika mengenai keadilan menjadi momok bagi mereka-mereka yang terpinggirkan dari sentralnya peran perumus dan penentu kebijakan. Diskriminasi, etnosentrisme, dan penindasan merupakan implikasi yang ditimbulkan dari gejolak kepentingan.


Di Indonesia, kasus pelanggaran HAM yang paling problematis terarah pada Papua. Tanahnya, kekayaannya, hingga manusianya kerap kali dijadikan sebagai objek perdebatan antar berbagai kepentingan. Apabila ditilik ke belakang, persoalan di Papua selalu melibatkan politik kepentingan (Widjojo, 2006). Perebutan tanah Papua pasca kemerdekaan adalah inisiator terjadinya gejolak politik kepentingan di Papua. Kemudian, di era orde baru, kebijakan dwifungsi ABRI membangkitkan isu kemerdekaan yang dilancarkan oleh gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM).


Diberlakukannya kebijakan tersebut menanamkan persepsi mengenai peran militer terhadap pembangunan nasional. Permasalahan kondisi tersebut terletak pada kebijakan-kebijakan yang tidak pernah mempertimbangkan aspek kehidupan masyarakat Papua. Pengecaman terhadap pembuat kebijakan tidak ditanggapi sebagai sebuah persoalan hak asasi. Dalam hal ini, masyarakat Papua tidak pernah mendefinisikan diri mereka sebagai rakyat yang merdeka.


Di era reformasi, komitmen atas demiliterisasi dan tanggung jawab akan perlindungan HAM menjadi payung utama dalam perbaikan sistem pemerintahan. Penekanan terhadap dua aspek tersebut menjadi sangat ditekankan mengingat problematika yang terjadi di era orde baru. Namun, komitmen tersebut tidak dapat diimplementasikan secara konkret dan penuh pada era reformasi.


Hal tersebut ditengarai oleh tumbuhnya narasi kepentingan politik yang lebih meluas selepas runtuhnya oligarki. Konflik HAM yang pada masa orde baru melibatkan aparatur negara dengan masyarakat atas HAM, pada masa reformasi mengarah pada wacana konflik komunal yang melibatkan kepentingan identitas masyarakat. Isu kemerdekaan Papua pun kembali naik seiring dengan narasi keadilan yang dirasa belum dipenuhi oleh pemerintah.


Pada era sekarang, konflik Papua belum pula padam. Keadilan belum dapat didirikan dengan tegak dan HAM pun masih urung berjalan di Tanah Cendrawasih. Bukan hanya eksploitasi kepentingan atas tanah, diskriminasi menjadi belati menusuk harga diri orang-orang Papua. Di kala Tanah Papua sedang mendidih akan konflik etnis, isu diskriminasi yang melibatkan orang Papua terjadi di luar Papua.


Peristiwa tersebut tentunya semakin memperkeruh suasana yang melibatkan Papua. Tuduhan atas krisis nasionalisme terhadap mahasiswa Papua di Jawa memancing gejolak isu hak asasi manusia. “Papua meminta untuk merdeka, namun pemerintah Indonesia menolak dengan dalih resistensi persatuan dan kesatuan.” Itulah sekiranya yang kami ilhami dalam memahami konflik di Papua.


Persoalan HAM bagi kami merupakan sebuah realita yang sukar untuk ditemukan titik tengahnya. Kemampuan dalam menganalisis sebuah permasalahan dapat menjadi batu sandungan dalam memahami konflik Papua secara menyeluruh. Narasi politis yang mengatasnamakan kepentingan bersama harus dirasionalisasikan pada realita yang terjadi di lapangan. Kalin, sebagai mahasiswa Hubungan Internasional, berbaik hati untuk berbagi tanggapan dan mendiskusikan persoalan ini bersama kami.


Seperti apa yang telah disebutkan di awal tulisan, bahwa disiplin ilmu hubungan internasional memercayai empat aspek yang harus didukung untuk menumpaskan konflik HAM. Survival, identity, well-being, dan freedom merupakan empat aspek yang ditekankan dalam orientasi penyelesaian kasus HAM. Survival merupakan hak seseorang untuk hidup di dunia. Identity, menunjukkan harga diri seseorang mendefinisikan dirinya sebagai apa dan siapa. Well-being,merupakan narasi yang dibangun dalam peningkatan taraf hidup manusia menuju kesejahteraan. Dan freedom merupakan bentuk kebebasan dari apapun yang mengikat pada setiap manusia untuk menentukan arah hidup, termasuk kebebasan untuk bagaimana cara bertahan hidup, menentukan identitas, dan merencanakan kehidupan untuk mencapai kesejahteraan.


Melalui keempat aspek tersebut, kami merasa bahwa hal tersebut belum dirasakan oleh rakyat Papua. Dalam sudut pandang antropologi, amat wajar bagi kami apabila tuntutan kemerdekaan rakyat Papua kerap kali dikumandangkan sebagai bentuk keinginan untuk berkebebasan dalam hidup. Narasi-narasi kepedulian pemerintah Indonesia memang kerap kali dilancarkan guna memberikan keyakinan terhadap rakyat Papua terhadap janji-janji politik akan kesejahteraan.


Melalui kebijakan pembangunan, pemerintah Indonesia juga mengharapkan peningkatan kesejahteraan taraf hidup. Namun, krisis yang terjadi di Papua bukan hanya tentang well-being yang telah dipaparkan oleh Kalin, melainkan juga pada aspek freedom secara keseluruhan. Pandangan skeptis kami terhadap langkah pemerintah dalam menumpaskan kasus HAM di Papua menimbulkan adanya pemaksaan atas hak rakyat Papua akan konsep kehidupan yang serba kompleks ini.


Kalin menambahkan bahwa disiplin ilmu hubungan internasional memandang persoalan tentang konflik dan perdamaian melalui kacamata mediator. Kurangnya studi yang berkenaan dengan lapangan, membuat disiplin ilmu hubungan internasional berusaha untuk mengkaji sebuah permasalahan dari berbagai perspektif yang kemudian dituntut dalam memberikan pandangan solutif terhadap sebuah permasalahan.


Dalam menanggapi kasus Papua, seringkali ilmu hubungan internasional menaruh posisi sebagai pengamat dan perumusan konsep pemenuhan HAM di Papua. Pada intinya, ilmu hubungan internasional memandang bahwa dalam menyelesaikan sebuah konflik yang melibatkan aspek sosial dan kultural, langkah yang harus diimplementasikan adalah menyelaraskan orientasi kehidupan.


Pandangan disiplin ilmu hubungan internasional terhadap pandangannya mengenai sebuah konflik ditanggapi lain oleh disiplin ilmu antropologi. Ilmu antropologi yang menekankan pada aspek humanis mencoba untuk menempatkan diri pada subjek yang terpinggirkan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena studi antropologi menerapkan terjun ke lapangan untuk melihat kondisi sosial budaya yang terjadi di sebuah tempat. Dibutuhkan penelitian yang berkelanjutan oleh antropolog guna melihat perkembangan permasalahan atau konflik di suatu tempat.


Dalam memandang konflik di Papua, antropologi cenderung melihat krisis kemanusiaan yang dirasakan oleh rakyat Papua. Hal tersebut dikarenakan banyak para antropolog yang menganggap bahwa rasa kepedulian yang dinarasikan pemerintah Indonesia hanyalah sebuah retorika yang diutarakan di bawah kepentingan kenegaraan. Maka, tidak jarang keluar pertanyaan dari seorang antropolog yang berbunyi “Mengapa sih Papua tidak dibiarkan merdeka saja?” Terkesan sentris terhadap aspek humanis memang, namun menurut kami, itu merupakan pemikiran rasional dalam menanggapi kasus HAM di Tanah Papua.


Kesimpulan

Dalam memandang persoalan HAM, kami melihat bahwa disiplin ilmu hubungan internasional cenderung mengarahkan diskursus kemanusiaan pada keterkaitan politis, analisis konflik, penyelesaian, dan kebijakan. Sementara itu, dalam menanggapi persolana HAM ini, ilmu antropologi cenderung berfokus pada wacana kehidupan manusia, identitas, serta eksistensi dan resistensi aspek sosial budaya. Kajian analisis yang dilakukan disiplin ilmu hubungan internasional menciptakan pandangan makro tentang sebuah konflik.


Berbeda dengan antropologi, studi lapangan dilakukan guna melihat partikel terkecil dari sebuah permasalahan. Dari pembahasan ini pun kami mendapatkan sebuah pemahaman baru bahwa ilmu hubungan internasional tidak hanya membicarakan tentang konstelasi diplomasi, melainkan juga memerhatikan isu-isu konflik dan perdamaian. Hal tersebut ditengarai tren konflik internasional yang saat ini lebih mengarah pada separatisme dibanting peperangan politik.


Dalam penyelesaian sebuah konflik, pandangan dua arah lebih banyak diperhatikan oleh disiplin ilmu hubungan internasional. Kedekatan aspek politik dan kemanusiaan kami rasa menjadi sebuah akar pemikiran disiplin ilmu ini dalam menanggapi sebuah persoalan HAM. Namun, kami merasa bahwa cara pandang yang semacam ini hanya mengarah pada konteks yang diperjuangkan dan tidak terimplementasikan secara langsung terhadap subjek yang diperjuangkan—dalam konteks HAM ialah manusia. Lain dengan disiplin ilmu antropologi, terjun langsung ke lapangan membuat antropolog dapat lebih paham mengenai permasalahan konkret yang dirasakan. Namun, lemahnya relasi kepada empunya kuasa menjadi sebuah hambatan dalam proses penyelesaian konflik HAM.


[1] Brigitta Kalina, Mahasiswa Hubungan Internasional 2018


Referensi


Englund, H. (2016). Human Rights. The Cambridge Encyclopedia of Anthropology.

Lucas, J. R. (1972). Justice. Philosophy, 47 (181), 229-248.

Pemerintah Indonesia. 1999. Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Lembaran Negara RI Tahun 1999, No.165. Jakarta: Sekretariat Negara.

Widjojo, M. S. (2006). Nationalist and Separatist Discourses in Cyclical Violence in Papua. Asian Journal of Social Science, 34 (3), 410-430.

68 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page