top of page
Search

Polemik Penolakan RUU PKS: Sebuah Pelurusan


Iqbal Firdaus/kumparan


Dalam aksi mahasiswa yang dilaksanakan 23 sampai 30 September 2019 lalu, Pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi salah satu dari sembilan tuntutan—ditambahkannya Penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber yang dikeluarkan oleh para anggota DPR pada tanggal 26 September 2019—yang digiatkan para mahasiswa dan partisipan aksi lainnya. Poster-poster berisi protes mengenai ‘pemerkosaan’ dan ‘aborsi’—yang memang merupakan salah dua dari isi rancangan tersebut—digaungkan oleh para mahasiswa dan mahasiswi memenuhi aksi-aksi di berbagai daerah. Pesannya jelas, mereka ingin ketakutan mereka terhadap kekerasan seksual yang sudah, sedang, atau nantinya terjadi pada mereka dihilangkan dengan mengesahkan RUU PKS sesegera mungkin.


Namun, tentu saja, di balik semua dukungan dan dorongan terhadap pengesahan rancangan tersebut, ada sebagian orang yang tidak mengambil sikap atau bahkan menolak terhadap pengesahannya. Sejak dirancangnya RUU PKS, tanggapan kontra sudah dikeluarkan oleh beberapa orang, terutama dari kelompok konservatif. Mereka menyebut RUU PKS adalah RUU yang pro-zina. Banyak juga yang menganggap bahwa RUU PKS ini adalah produk feminisme. Di sini, feminisme dianggap sebagai hal yang bertentangan agama. Padahal, yang hendak difokuskan di dalam RUU PKS ini bukanlah pada sisi moralitas, namun pada korban kekerasan seksual dan konsep “persetujuan” dalam perilaku seksualitas. Melalui tulisan ini, saya hendak memberikan pelurusan atas klaim-klaim yang berasal dari kelompok kontra RUU PKS dengan terlebih dahulu melihat bentuk-bentuk penolakannya.


Penolakan-penolakan terhadap pengesahan RUU PKS diwujudkan dalam berbagai hal. Salah satunya adalah petisi daring. Sebuah petisi dari laman change.org berjudul “Petisi Penolakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS)” yang dibuat oleh Sahabat Muda AILA (Aliansi Cinta Keluarga) Indonesia sampai saat ini sudah mencapai 44.586 dari target 50.000 (2018). Petisi ini dibuat—seperti tertera jelas pada judulnya—untuk menolak semua pasal-pasal yang ada di dalam rancangan tersebut. Mereka—dalam pesan petisi tersebut—mengatakan tentang adanya potensi pelegalan perzinahan, penyuburan perilaku LGBT, pelegalan prostitusi dan aborsi, dan pemaknaan pemerkosaan atau pemaksaan hubungan seksual yang liberalis dan multitafsir. Di sini, klaim bahwa RUU PKS adalah produk feminisme juga tertera dalam deskripsi petisinya.


Petisi lain juga dikeluarkan oleh Maimon Herawati, dosen pada Program Studi Jurnalistik Universitas Padjajaran. Ia menekankan pada satu pasal yang mengatur tentang pekerja seksual. Menurutnya, pasal tersebut merupakan sebuah perilaku seksual yang melanggar norma susila dan agama. Hal itu baginya melanggar pasal 29 UUD 1945 yang berbunyi, “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Perempuan itu berpikiran bahwa selain menghukum pelaku perkosaan, pelacuran sukarela juga harus dijatuhi undang-undang.


Yang dapat saya tangkap di sini, kedua petisi tersebut menunjukkan—seperti yang sudah sempat saya singgung di atas—adanya ketidakpahaman dari mereka terhadap hal yang difokuskan pada RUU PKS ini sendiri. Pemahaman—baik dari AILA maupun Maimon Herawati—tersebut bertentangan dengan pernyataan Marianna Amiruddin, Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Seperti yang dilampir oleh Tirto, fokus dari RUU PKS ini adalah korban. Dalam rancangan aturan tersebut, jelas terdapat definisi kekerasan seksual, yakni: bila ada pemaksaan, intimidasi, dan kekerasan (Amiruddin dalam Primastika, 2019). Hal itu berlainan dengan apa yang difokuskan oleh kelompok konservatif ini. Mereka menganggap segala bentuk pengaturan yang bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual ini sebagai tindakan yang tidak sesuai dengan agama islam. Salah satu klaim mereka mengenai ketidaksesuaian ini adalah perihal pasal yang mengatur tentang korban kekerasan seksual dari kelompok prostitusi. Mereka menganggap bahwa aturan tersebut menghalalkan hubungan seksual di luar nikah dan pelacuran, alih-alih pada kemungkinan kekerasan seksual yang dialami perempuan-perempuan tersebut saat sedang bekerja.


Penolakan juga terlihat dalam aksi yang terjadi September lalu. Salah satunya adalah sikap untuk tidak turun yang dilakukan oleh Ketua BEM UGM pada aksi Gejayan Memanggil pada tanggal 23 September 2019. Menurut kabar, yang bersangkutan memutuskan tidak ikut turun karena adanya desakan untuk mengesahkan RUU PKS dalam 7 tuntutan mahasiswa. Tidak ada pernyataan resmi memang. Tapi hal ini diketahui memang dilakukan oleh yang bersangkutan karena dia adalah satu kader dari KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).


KAMMI pusat sudah menyatakan secara jelas bahwa mereka menolak terhadap pengesahan RUU PKS seperti yang tertera pada Release PP. Bahkan pada 26 Agustus 2019 silam, puluhan mahasiswa dari KAMMI melakukan aksi di depan gedung DPR RI untuk menolak pengesahan RUU PKS. Klaimnya, RUU PKS sarat dengan nilai liberalisme yang jauh dari moralitas bangsa Indonesia. Rancangan tersebut hanya seolah-olah saja seperti rancangan undang-undang yang menangani kekerasan seksual, namun justru bertentangan dengan nilai budaya dan sosial setelah dikaji oleh mereka. Mereka juga menolak istilah relasi kuasa yang seakan-akan menyalahkan laki-laki. Seperti yang tertera pada akun media sosial KAMMI, “RUU PKS mengabaikan bahwa laki-laki yang disodomi itu juga korban.” Well, nyatanya RUU PKS tidak mengabaikan hal itu. Jika disahkan, undang-undang tersebut juga melindungi laki-laki korban kekerasan seksual. Justru sebaliknya, mereka lah yang mengabaikan bahwa prostitut yang diperkosa itu juga korban. Seorang istri yang diperkosa suaminya juga korban. Seorang perempuan yang diperkosa pacarnya juga korban. Alih-alih dibela juga, mereka menganggap fenomena pemaksaan hubungan seksual dalam konteks prostitusi, hubungan suami-istri dan kekasih merupakan sebuah kewajaran. Dan dengan adanya perlindungan bagi prostitut dan korban dalam hubungan kekasih, “kajian” mereka menganggap bahwa hal ini tidak sesuai dengan nilai sosial dan budaya. Sebuah sikap yang membuat saya geli dan malu di saat yang bersamaan.


Menurut Kalis Mardiasih, seorang feminis muslimah, sikap penolakan KAMMI ini sebuah bentuk ketidakwajaran. Ia mengatakan bahwa penolakan ini dilakukan atas dasar ketidakinginan untuk membaca lebih lanjut—bahkan frasa “hasrat seksual” yang dianggap sebagai menyimpang sudah dihapus sejak April lalu tetap tertera dalam release PP-nya. Hal ini juga diperparah dengan adanya broadcast-broadcast dalam sosial media yang memelintir isi dari RUU itu sendiri dengan balutan agama. Dan juga dengan adanya kasus-kasus pemerkosaan dan tindakan kekerasan seksual yang terjadi, seharusnya RUU PKS harus jadi pertimbangan utama oleh pemerintah untuk menurunkan dan mencegah kejadian yang sama terulang lagi. Kriminalisasi yang selama ini diberikan kepada korban seharusnya diberikan kepada para pelaku.


Isu penyuburan LGBT juga menjadi hal utama yang disuarakan para kelompok konservatif ini. Dari sini, kita dapat mengetahui betapa jauh ketertinggalan kita mengenai toleransi terhadap orang-orang LGBT dibandingkan dengan negara-negara lain. Belanda sudah melegalkan pernikahan kaum LGBT 23 tahun yang lalu (1996) dan meresmikan secara hukum pada tahun 2001, dan yang paling baru Amerika Serikat melingkupi 13 negara bagiannya meresmikan hukum pernikahan sesama jenis pada tahun 2015.


Namun, disayangkan sekali mengenai respon yang diberikan oleh Sri Nurherwati selaku Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Menurutnya, isu penyuburan LGBT adalah salah-tangkap dari sebuah frasa “hasrat seksual” yang berada di dalam rancangan tersebut. “Hasrat seksual kemudian dipahami menjadi lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT. Padahal tidak seperti itu sama sekali,” katanya seperti yang dilansir oleh Kompas—frasa hasrat seksual pun sudah mengalami perubahan dalam revisinya pada April 2019. Yang disayangkan dari pernyataannya tersebut adalah penyangkalannya bahwa tidak ada isu LGBT dalam RUU PKS. Apa salahnya bila ia menyatakan bahwa frasa tersebut selain merujuk ke arti harfiahnya, juga merujuk pada perilaku LGBT?


Dari pihak legislatif sendiri, Partai Keadilan Sejahtera adalah satu-satunya partai yang menolak secara jelas terhadap pengesahan RUU PKS. Tiga partai lain: PPP, Hanura, dan Partai Demokrat masih belum ada sikap yang jelas. Sementara partai sisanya: PAN, Golkar, PKB, Gerindra, PDIP, dan Nasdem menyatakan mendukung RUU tersebut. Rieke Diah Pitaloka dari PDIP, Rahayu Saraswati dari Gerindra, Ace Hasan dari Golkar adalah salah tiga dari 28 anggota Panja yang secara jelas mendukung pengesahannya—dipantau dari RDPU, Dialog, dan keterangan di sosial media.


Sampai hari ini, RUU PKS masih jauh dari kemungkinan untuk disahkan. Alih-alih mengesahkan rancangan yang sudah lama dituntut untuk disahkan ini, para wakil rakyat kita justru mengebut membuat pasal-pasal ngawur dalam RUU KKS. Komnas Perempuan melampirkan permohonan maafnya atas gagalnya perjuangan mereka (lagi) untuk mengesahkan RUU PKS tersebut. Namun, perjuangan ini tidak akan berhenti sampai di sini.[]



Adinda Dwi Safira

Mahasiswi Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada.

18 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page