top of page
Search

‘Pinggiran’ sebagai Konsepsi dalam Wilayah Berbeda

Absherina Olivia Agatha dan Yasmiin Aliffiana

Doc: koleksi pribadi


Biennale Jogja yang merupakan proyek seni dari Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). Dalam perhelatannya kali ini, Biennale Jogja membawa fokus gagasan “pinggiran” dengan membawakan isu-isu yang dihadirkan oleh para seniman yang berkolaborasi di dalam perhelatannya. Dengan tajuk ‘Do we live in the same PLAYGROUND?’, Biennale Jogja berupaya untuk membawa isu-isu dan kegelisahan di kawasan Asia Tenggara, melalui gambaran kawasan pinggiran yang di dalam dinamika kehidupan masyarakatnya lebih banyak didapati relasi kuasa antara kelompok penindas dan yang ditindas, serta perpecahan masyarakat akibat hegemoni kekuasaan tertentu.

Biennale Jogja sendiri memamerkan karya seni dari para seniman di beberapa titik. Di masing-masing tempat tersebut memamerkan karya yang menggambarkan negara-negara Asia Tenggara dengan berbagai polemik “pinggiran” yang tercermin dari setiap negara. Gambaran tersebut dituangkan oleh para kurator di venue yang disebut dengan julukan “bilik”.


Biennale Jogja XV Equator #5: Bilik PKKH

PKKH merupakan salah satu venue yang menghadirkan bilik-bilik tersebut, yang kemudian menjadi fokus tempat observasi dan ulasan kami mengenai Biennale. Walaupun merupakan salah satu ─atau mungkin satu-satunya─ venue yang paling sepi dar hiruk-pikuk pengunjung dan catutan tempat dalam postingan-postingan Biennale Jogja tahun ini yang banyak beredar di sosial media.

Sepi merupakan salah satu hal yang paling mencolok dari bilik yang dihadirkan Biennale Jogja di PKKH UGM, di mana hanya ada rombongan kami yang terdiri dari empat orang ditambah dengan seorang mas-mas penjaga saja yang menjadi manusia-manusia berkeliaran di dalam bilik yang disediakan di PKKH UGM, ─minus mas-mas penjaga karena dia memang hanya bertugas untuk berjaga di meja tamu dan terkadang beberapa kali terlihat mengecek keadaan di dalam ruangan dari bibir pintu.


Tidak hanya secara langsung, namun dalam hal catutan dan berbagai postingan mengenai Biennale Jogja XV Equator #5 ini, PKKH UGM agaknya memang jarang sekali terdapat di antara ribuan postingan bertemakan Biennale Jogja, sehingga membuat kami cukup kesulitan untuk membayangkan bagaimana gambaran pameran yang dihadirkan dalam Biennale Jogja di PKKH.


Mungkin karena kurangnya publikasi, atau bisa juga karena jam bukanya yang tidak sampai malam seperti di tempat-tempat lain ─terlebih tidak melayani pengunjung di hari minggu─ yang menjadi alasan utama mengapa venue PKKH UGM sepi dari pengunjung. Hingga mungkin saking sepinya, saat kami datang pun spanduk Biennale Jogja di depan pintu masuk PKKH UGM telah ditimpa dengan spanduk acara lain yang sama-sama berlokasi di PKKH UGM. Hal tersebut membuat kami sempat salah mengira bahwa pameran telah usai dan hampir saja melenggang pergi untuk pulang ─yang untungnya tidak jadi kami lakukan.


Dengan mengusung pameran yang dituangkan pada bilik dengan mewakilkan Hongkong dan Timor Leste, venue di PKKH UGM sendiri sebenarnya cukup menarik meskipun tidak sebesar dan seheboh venue lainnya. Lantaran memang tempatnya yang tidak terlalu besar, penempatan karya seni dari para seniman pun juga ditata dengan minimalis namun tetap syahdu, dengan rute jalan yang memang pendek dan hanya melingkar mengikuti bentuk bangunan ditambah dengan tangga yang merupakan akses menuju lantai dua yang berada di tengah-tengah bangunan.


Sama-sama disusun secara simple, karya dari para seniman di Bilik Hongkog dan Timor Leste yang ada di PKKH UGM sendiri memang kebanyakan merupakan hasil potret dan lukisan dalam bingkai. Beberapa video juga ditampilkan melalui proyektor dan layar-layar LCD kecil yang dilengkapi dengan earphone di Bilik Hongkong ─yang memang lebih luas dibanding Bilik Timor Leste ─serta beberapa karya kriya berupa keramik-keramik porcelain berbentuk tempat-tempat pembersih dengan berbagai gambar dan tulisan di dalamnya, menjadi bentuk karya yang terlihat dan dipamerkan dalam Biennale Jogja yang ada di venue PKKH UGM.


Dengan membawa Hongkong dan Timor Leste sebagai negara yang diusung pada dua bilik yang dihadirkan dalam venue yang berada di PKKH UGM, tema ‘pinggiran’ yang dihadirkan sendiri kami rasa cukup kontras dan bisa dibilang sangat berbeda jika dua bilik negara tersebut disandingkan atau dibandingkan. Dalam wacana sehari-hari pun, Hongkong memang sangat jarang disandingkan dengan Timor Leste, karena keduanya memang agaknya sangat jarang berkaitan atau menjalin suatu hubungan tertentu.


Hongkong dan Sea Breeze

Hongkong sendiri sebagai wilayah yang identik dengan padatnya penduduk dan ruwetnya kehidupan kotanya, yang selalu menarik minat dari mata-mata yang lapar dan haus akan pekerjaan untuk kemudian datang dan mengadu nasib, kemudian mengusung tajuk “Sea Breeze” sebagai penggambaran ‘pinggiran’ di Hongkong. Sea Breeze yang dijelaskan sebagai beragam angin dan ombak dari para migran yang menjadi asal-usul dari sebagian besar keluarga di Hongkong, kasarnya secara sadar atau tidak ingin menyampaikan bahwa Hongkong telah menjadi kota diaspora yang terbentuk oleh para migran, sehingga ‘masalah’ berbagai dinamika kehidupan ‘pinggiran’ Hongkong adalah migran.


Gambaran migran sebagai ‘pinggiran’ dari sudut pandang Hongkong, dapat dilihat dari berbagai karya seni oleh para seniman yang menggambarkan dan menampilkan kehidupan serta potret para migran ─khususnya pekerja kasar atau pekerja rumah tangga ─seperti potret wanita-wanita pekerja di Hongkong, gambar dan video yang menggambarkan pekerja seni dari bidang seni peran dan video yang bertajuk Always Working, serta beberapa kriya keramik porcelain berbentuk botol-botol sabun pembersih tersebar di beberapa area yang berisi dialog-dialog yang biasa dilontarkan majikan kepada pembantu rumah tangga.


Selain itu, yang cukup berbeda dan menarik, terdapat sebuah lukisan yang dilengkapi dialog dalam bentuk audio yang menggambarkan keadaan desa yang masih asri. Hal tersebut cukup menggambarkan bahwa Hongkong setidaknya punya atau pernah memiliki setitik tempat asri yang dirindukan, tidak hanya berkutat dengan ruwetnya aktifitas dalam kota diaspora yang memang identik dengan Hongkong.

Timor Leste dan Delapan Derajat Lintang Selatan

Timor Leste yang diusung sebagai wilayah bilik di lantai dua, mengusung gambaran ‘pinggiran’ yang kontras ─bahkan sangat berbeda dengan Hongkong, Timor Leste merepresentasikan ‘pinggiran’ sebagai kehidupan sosial yang diturunkan secara temurun dari berbagai kultur yang tercampur di Timor Leste di wilayah-wilayah tidak terjangkau, yang disalurkan melalui tajuk “Keyakinan dan Budaya Tradisi Manufahi Ki’ik”.


Kontras dengan Hongkong yang menampakkan ‘pinggiran’ dalam diaspora kotanya, Timor Leste lebih menggambarkan bahwa yang dianggap pinggiran di sana adalah wilayah-wilayah pedalaman atau tidak terjangkau tadi, dengan kehidupan sosial dan budayanya lebih tradisional, yang digambarkan lewat karya-karya bertajuk karya seni seperti guci-guci (dalam bentuk lukisan) dan kain tenun, serta beberapa potret prosesi upacara adat.


Gambaran 'pinggiran' yang dibawakan bilik Timor Leste tersebut, agaknya jika dibanding dengan Bilik Hongkong, sedikit melenceng dari wacana relasi kuasa antara kelompok tertindas dan penindas, yang ada dalam rangkaian penjelasan yang dibawakan oleh Biennale Jogja dalam mengabarkan wacana ‘pinggiran, yang secara kasat jadi terkesan bersinggungan dengan kesan metropolis lantaran membawa isu sosial berupa relasi kuasa tadi yang memang biasanya terbentuk dan terjadi di dalam komunitas masyarakat metropolitan.


'Pinggiran' sebagai Konsepssi Dua Wilayah Berbeda

Pada akhirnya, mungkin dapat ditarik kesimpulan bahwa ‘pinggiran’ dalam tiap wilayah tidak selalu sama dan tidak selalu menjadi ‘masalah’ –seperti dalam wacana tim Biennale Jogja yang beberapa kali menyebut tema yang diusungnya sebi]k,agai ‘masalah’ Asia Tenggara –di mana keindahan dan harmoni justru ditampilkan sebagai tajuk ‘pingiran’ yang dibawakan oleh Timor Leste lewat kehidupan sosial dan budaya yang masih tetap lestari dalam wilayah-wilayah tak terjangkau yang dianggap sebagai ‘pinggiran’ tadi di Timor Leste, berbeda dengan Hongkong yang membawa isu pinggiran daerah kota diaspora yang memang erat kaitannya dengan relasi kuasa dan migran.


‘Pinggiran’ tiap wilayah, agaknya masing-masing persepsinya terbentuk dari keadaan wilayah dan asal-usul komponen kehidupan wilayah tersebut, seperti Hongkong dengan isu migrannya yang memang sebagai asal-usul terbesar dari komuitas masyarakat perkotaan di Hongkong, atau Timor Leste dengan kultur tradisisonal di wilayah-wilayah tidak terjangkau atau terpencil, dengan Tfokus kepada asal budayanya yang berupa gabungan dari beberapa budaya luar yang tumbuh sebagai harmoni di Tmor Leste.

7 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page