top of page
Search

Masa Depan Sinema Asia Tenggara

Oleh Bias Baihaki Muhammad dan Muhammad Hilmi Reyhan

Sumber: Institute of International Affairs

IFI-LIP Yogyakarta yang terletak di Jalan Sagan kami sambangi guna menengok acara pemutaran beberapa film pendek. Acara yang bertajuk SEA Movie 2019 ini diinisiasi oleh PSSAT UGM—Pusat Studi Sosial Asia Tenggara Universitas Gadjah Mada. Pemutaran film yang diselenggarakan tahunan ini menarik perhatian kami film-film yang akan diputar menyinggung nilai-nilai sosial. SEA Movie sejatinya merupakan pemutaran film-film pendek yang fokus pada wacana sosial di Asia Tenggara. Melalui pemutaran dan diskusi film, SEA Movie mencoba untuk mengajak para audiens untuk melihat, mengerti, dan menyadari tentang kondisi sosial negara-negara di Asia Tenggara. Kolaborasi dengan sudut pandang akademis juga menjadi ciri khas SEA Movie dalam menciptakan sebuah diskusi.


Pada tahun ini, SEA Movie 2019 mengusung tema The Future of Humanity. Tema tersebut

terinspirasi dari berbagai pemikiran, refleksi, dan pertanyaan yang diajukan oleh banyak orang. Selain itu tema tersebut juga dipengaruhi oleh penekanan kuat beberapa pemikir kontemporer mengenai makna The Future Humanity. Dalam hal ini The Future Humanity dapat dikatakan sebagai interpretasi, prediksi, dan konstruksi dari setiap manusia yang kompleks akan perbedaan latar belakang.


Adanya kolaborasi dengan beberapa acara, seperti Biennale Jogja XV Equator #5 dan Minikino Film Week - Bali International Short Film Festival, melanggengkan perhelatan SEA Movie 2019. Keterkaitan tema yang diusung oleh ketiga acara ini memperlihatkan keselarasan orientasi yang hendak dipertontonkan. Biennale Jogja XV Equator #5 dengan konsep pinggiran di Asia Tenggara serta Minikino Film Week – Bali International Short Film Festival dengan koneksi program film se-Asia Tenggara memperkokoh gagasan Asia Tenggara sebagai wilayah yang kaya akan kompleksitas permasalahan kemanusiaan.


Mengenai tema yang diusung, kami berpikir bahwa interpretasi terhadap masa depan seringkali diasosiasikan dengan perkembangan teknologi. Semakin berkembang teknologi, maka semakin terang pula kehidupan masa depan. Begitulah kiranya asumsi yang ditekankan. Namun, kerap kali yang luput dari pemikiran banyak orang ialah pandangan terhadap manusia sebagai subjek perubahan. Sentuhan kemanusiaan dalam ekosistem dunia sudah seyogianya dipahami sebagai faktor pembentuk kehidupan di masa depan.


Dengan kondisi dunia yang mulai skeptis terhadap kehidupan akan masa depan, kami merasa bahwa bingkai Asia Tenggara amat pantas ditegakkan tepat di hadapan mata kita dalam bungkusan The Future of Humanity. Perbedaan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kultural dari setiap negara di Asia Tenggara dapat diasumsikan sebagai wilayah yang dinamis dalam memahami The Future Humanity. Kemudian, jika dipikir-pikir, pengaruh globalisasi terhadap negara-negara Asia Tenggara secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap perubahan orientasi kehidupan di masa depan.


Niat dan tujuan SEA Movie 2019 dalam menghadirkan narasi masa depan dalam pandangan populis diimplementasikan dalam porsi pemilihan film yang dipertontonkan. Melalui Baskara ke Wukir (2018), Pasengghiki (2019), Sambatan (2019), dan Sekeping Tanggung Jawab (2018), kami benar-benar disuguhkan realita kehidupan yang erat dan dekat dengan kehidupan sekitar, terlebih lagi film-film yang diputar di sesi pertama ini berlatarkan persoalan-persoalan sosial di Indonesia. Pemutaran film-film di SEA Movie memang memunculkan perspektif baru terhadap realita sekitar. Namun, diskusi mengenai film-film yang ditayangkan adalah sesuatu yang paling kami tunggu. Di sesi ini, nilai yang telah disampaikan film dibenturkan oleh perspektif berbeda antara pemantik diskusi dengan para audiens. Benturan ini kemudian menimbulkan sebuah interpretasi baru mengenai narasi yang dibangun oleh sebuah film.


Memperkenalkan Budi Irawanto sebagai Presiden JAFF--Jogja-NETPAC Asian Film Festival--yang juga merupakan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, SEA Movie 2019 memperlihatkan pendiriannya tentang bagaimana ranah akademis dapat menginterpretasikan pandangannya tentang permasalahan sosial yang ditampilkan melalui layar lebar.


Budi Irawanto menjadi pemantik diskusi film pendek sore itu. Sosok yang kerap dipanggil Mas Budi tersebut hadir dengan menggunakan pakaian kasual, celana jins, kaus kegiatan SEA MOVIE 2019, dilengkapi sebuah outer jas hitam. Beliau kemudian dipersilakan untuk duduk ke depan oleh pembawa acara seusai pemutaran film terakhir terjadi. Kiranya keberadaan beliau menjadi pemantik diskusi tepat, mengingat latar belakangnya di kajian film dan studi Asia Tenggara—fokus utama kegiatan kali ini.


Menjadi seorang pembicara di depan khalayak nampaknya sudah bukan menjadi kendala bagi Mas Budi. Profesinya sebagai seorang dosen jelas menuntutnya untuk memiliki kemampuan public speaking yang baik, namun berbagai pengalaman dan kemampuan yang dimilikinya pun turut menyokong keberadaannya untuk dapat menjadi seperti sekarang. Sebut saja posisinya sebagai Festival President dalam Jogja Asian-NETPAC Film Festival (JAFF), dosen tamu di Universitas Multimedia Malaysia dan Universitas James Cook Singapura, serta pengalamannya sebagai juri dalam banyak festival film di berbagai belahan dunia.


Beliau menyampaikan paparan materi dengan gaya sersan alias serius tapi santai. Badannya bersandar penuh pada bangku yang berada di depan para penonton, dan sesekali tangan kirinya memperagakan hal yang sedang ia ceritakan sembari tangan kanannya memegang microphone. Gaya penyampaiannya yang santai nan memikat membuat kami seolah-olah tersihir. Ingin terus mendengarkan tanpa henti uraian beliau sahaja rasanya.


Film pendek dan film panjang mempunyai tujuan yang sama: menyampaikan pesan. Setidaknya itu yang berusaha disampaikan oleh Mas Budi dalam penjelasannya terkait apa yang menjadi daya tarik dari film pendek jika dibandingkan dengan film panjang. Film pendek cenderung hadir sebuah eksperimen. Beliau menambahkan jika biasanya sineas film panjang pasti pernah membuat film pendek--sebut saja tokoh-tokoh seperti Garin Nugroho dan Riri Riza sudah menghasilkan film pendek dan/atau film dokumenter. “Film pendek secara khusus menjabarkan suatu ide secara padat, dan implikasinya berpengaruh pada ingatan visual para penontonnya,” tungkas Mas Budi.


Dalam diskusi pemutaran film pendek ini, Mas Budi menyampaikan bahwa sesungguhnya film merupakan The Politics of Visible. Menurutnya film merupakan salah satu medium untuk menyampaikan sebuah aspirasi yang berkenaan dengan aspek kehidupan. Melalui film yang dipertontonkan SEA Movie 2019, aspek politis dalam kehidupan benar-benar diimplementasikan dalam kemasan layar lebar. Apalagi, keempat film yang ditayangkan berlatarkan negeri bumi pertiwi yang mana esensi politis ditawarkan untuk menyadarkan para penikmat film tentang realita hidup di Indonesia.


Diajarkan melalui Baskara ke Wukir (2018), bahwa permainan politik negara dimulai dari politik elektoral. Kemudian, Pasengghiki (2019) mengangkat narasi perburuan liar di hutan rimba Sumatera yang mana merupakan tindakan ilegal untuk dilakukan. Problematika mengenai hak tanah pun tidak luput disinggung dalam Sambatan (2019). Lalu, melalui film terakhir, Sekeping Tanggung Jawab (2018), dikemas secara jenaka mengenai sindiran terhadap perilaku korupsi yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi identitas buruk bangsa Indonesia.


Dalam berkomentar mengenai narasi yang diangkat oleh film-film tersebut, Mas Budi menganalisis persoalan-persoalan tersebut terhadap sorotan kamera. Menurutnya, wacana yang dibawa oleh keempat film tersebut dipengaruhi oleh sudut pandang kamera. Beliau menjelaskan bahwa sudut pandang kamera dapat meluruskan interpretasi mengenai makna yang hendak disampaikan oleh sebuah film.


Mas Budi mengaitkan sudut pandang kamera ini dengan paradigma Roland Barthes mengenai studium dan punctum. Studium dalam konsep Barthes membawa wacana pada pengaplikasian fenomena terhadap sesuatu, merasakan sebuah suasana, dan menghadirkan narasi yang agak umum. Dan itu melibatkan penokohan, wajah, gestur, latar, dan akting yang dipertontonkan.


Sementara punctum dijelaskan oleh Mas Budi sebagai sesuatu yang lebih mendetail. Dan punctum merupakan partikel terkecil yang sering terlewatkan atau bahkan dilupakan oleh penikmat film. Mas Budi menjelaskan dengan wajah serius bahwa punctum dalam narasi film meliputi keresahan sang kreator dan aktor dalam memainkan komposisi film. Kemudian, pemikiran yang hendak diletakkan di dalam isi film juga merupakan hal kecil yang jarang diladeni sebagai sebuah effort sang kreator. Pada intinya, bentuk apresiasi terhadap film bukan hanya terletak pada apa yang ditampilkan, melainkan juga pada akar pemikiran bagaimana sebuah film itu digarap.


Asia Tenggara dan film, keduanya dipandang sama-sama memiliki masa depan yang cukup cerah. Senada dengan tema dari kegiatan SEA Movie kali ini, The Future of Humanity, Mas Budi menyampaikan bahwa Asia Tenggara memiliki kekayaan khazanah budaya yang menjadi kelebihan utamanya. Dari segi bahasa, etnisitas, budaya, dan lain sebagainya, Asia Tenggara menjadi suatu entitas yang kompleks nan beragam. Walaupun demikian, kebanyakan negara Asia Tenggara memiliki akar sejarah yang sama yaitu sejarah akan kolonialisme. Selain itu, kesamaan dinamika sosial seperti isu lingkungan, kebangkitan nasional, dan isu-isu lain yang dimiliki masing-masing negara memiliki tendensi pola yang sama.


Sineas Asia Tenggara memiliki tantangan yang cukup besar dalam pengembangan film ke depannya. Dipaparkan oleh Mas Budi jika pembuatan film tidak pernah terjadi dalam suatu posisi kevakuman sosial; film selalu hadir entah menjadi respon terhadap isu sosial yang sedang berlangsung. Film dapat pula memberikan solusi atas proses sosial yang tengah terjadi. Dalam konteks Asia Tenggara, ada banyak sekali hal yang bisa digali lebih dalam untuk diekspresikan sebagai suatu karya sinematik. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, diversitas Asia Tenggara menjadi hasil pemikiran utama dalam pembuatan film oleh para sineas. Mas Budi secara optimis pun menambahkan jika para sineas tidak mungkin untuk tidak mengangkat isu aktual di Asia Tenggara, tanpa terpengaruh apapun genre film itu.


Belakangan ini, di Asia Tenggara para sineas muda mulai menunjukkan eksistensinya. Ada hal yang menarik dari posisi sineas tersebut. Disebutkan Mas Budi jika karya mereka biasanya menyelami tradisi sendiri, namun di sisi lain juga sangat terbuka dengan ide dan gagasan dari luar. Kesan kosmopolitan dimiliki oleh para sineas muda tersebut, dan dengan demikian muncul tantangan tentang bagaimana tradisi dapat diolah menjadi resource dalam mengolahnya menjadi ekspresi sinematik dan dalam waktu yan bersamaan menjadi sikap nasionalisme--tentang bagaimana seseorang mendefinisikan budayanya sendiri tanpa terkena jerat eksotifikasi.


Pada akhirnya, dapat ditemui corak yang khas pada film-film keluaran Asia Tenggara. Menurut pandangan Mas Budi, melalui film Asia Tenggara saat mereka sedang mencoba untuk menggali kelokalan mereka mampu berbicara sesuatu yang universal. Dengan kata lain, dalam unsur budaya setempat dapat pula menjelaskan fenomena global yang secara aktual dan masif terjadi di berbagai belahan dunia. Hal tersebut menjadi kelebihan sineas Asia Tenggara jika dibandingkan dengan sineas di kawasan-kawasan lainnya. Setidaknya muncul secercah harapan yang diberikan Mas Budi, di mana beliau menyampaikan jika masih sangat luas room for improvement yang dapat dioptimalkan untuk pengembangan film di Asia Tenggara ke arah yang lebih baik.


Melalui film, entah itu berdurasi panjang maupun pendek, ada pemikiran yang hendak disampaikan. Isu-isu sosial yang berputar-putar di ranah sosial Asia Tenggara pun coba dipaparkan oleh para sineas Asia Tenggara melalui karya film mereka. Pola khusus di mana mereka dapat menggali nilai-nilai lokal dan dapat menjelaskan fenomena yang secara lebih besar terjadi menjadi poin utama serta kelebihan dari para sineas tersebut. Ditambah dengan keterbukaan mereka terhadap ide-ide baru menambah kesan kosmopolitan, namun di satu sisi tidak menghilangkan nilai-nilai nasionalisme yang sedang dibangun. Budi Irawanto secara gamblang dan tidak bertele-tele telah menjelaskan pandangannya terhadap film Asia Tenggara ke depannya. Keoptimisannya akan masa depan yang cerah setidaknya menyebarkan energi positif, dan memunculkan angan akan kejayaan film Asia Tenggara di masa depan.

51 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page