top of page
  • Black Instagram Icon

Pasal Kontroversial dan Salah Kaprah RUU KUHP

Updated: Oct 18, 2019

Tsaniya Insyira S

18/424771/SA/19143




Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) saat ini sedang ramai diperbincangkan. Hal tersebut berawal dari DPR yang berencana untuk mengesahkan RUU KUHP tersebut dan UU KPK yang baru (hasil revisi) pada rapat paripurna Selasa, 24 September 2019. Ternyata, setelah saya menjelajahi media sosial maupun melihat informasi di televisi, terdapat penolakan RUU KUHP yang datang dari berbagai kalangan. Pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP itu dinilai mengandung muatan kontroversial dan bersifat multitafsir. Satu hal yang menarik bagi saya adalah respon menggebu-gebu yang dilakukan oleh mahasiswa. Ribuan mahasiswa yang tersebar di Indonesia membuat tuntutan menolak RUU KUHP dan revisi KPK. Mereka mengadakan aksi demo atau aksi bergerak dan menyampaikan protes mereka pada DPR di sejumlah wilayah. Akhirnya, Presiden Joko Widodo memberikan usulan pada DPR agar pengesahan dua RUU tersebut ditunda. DPR kemudian menyetujui usulan dari presiden dan ketua DPR RI Bambang Soesatyo menegaskan bahwa pengesahan RUU KUHP bukan dibatalkan, melainkan ditunda.


Lantas, apa saja isi pasal-pasal kontroversial dalam RUU KUHP yang dapat memantik mahasiswa untuk melakukan aksi demo di berbagai wilayah? Dalam penjelasan mengenai hal ini, saya juga akan memberikan pandangan dan pendapat saya terhadap pasal-pasal tersebut, serta pandangan dari kebanyakan orang diluar sana. Bagaimana kemudian pasal-pasal tersebut banyak menimbulkan pro kontra dikalangan masyarakat. Dan apakah RUU yang dikeluarkan tersebut tidak sepenuhnya salah? Berikut saya paparkan mengenai pasal-pasal kontroversial RUU KUHP yang sedang panas saat ini.


1. Pasal 604 RUU KUHP tentang Korupsi

Dalam pasal ini, dapat disebutkan bahwa koruptor terancam pidana minimal 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun serta denda paling sedikit kategori II, paling banyak kategori IV. Dinyatakan pula bahwa sejumlah pasal di RUU KUHP ini memuat hukuman bagi pelaku korupsi yang lebih rendah daripada UU Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Apabila dibandingkan dengan pasal 2 UU Tipikor yang mengatur hukuman bagi pelaku korupsi dengan tindak pidana seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun, bisa disimpulkan bahwa RUU KUHP ini terkesan “memanjakan para koruptor”. Saat membaca pasal inilah, kebanyakan orang-orang (termasuk saya) berpikir bahwa hukuman yang dicantukan dalam RUU KUHP itu tidak adil bagi seorang koruptor. Lebih jauh dari itu, terdapat UU No 31/1999 (telah diperbarui dengan UU No. 20/2001) mengatur hukuman mati yang dapat dijatuhkan antara lain pada pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Menurut saya sendiri, korupsi adalah tindak kejahatan yang sungguh luar biasa dan sulit diberantas. Koruptor harus diberikan hukuman seadil-adilnya sesuai perbuatannya.


2. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi

Dalam pasal 414 RUU KUHP disebutkan bahwa “setiap orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan [kontrasepsi] kepada anak dipidana denda maksimal Rp1 juta (kategori I)”. Ketika membaca pasal ini, kebanyakan orang berpikir bahwa “jika kita memperlihatkan kondom pada anak, akan didenda 1 juta”. Saya sendiri juga berpikir demikian. Intinya, pasal tersebut menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi, serta bertentangan dengan program KB dari pemerintah. Jika ditinjau, pasal ini menjadi rancu karena bersifat multitafsir. Memang, dalam pasal tersebut dituliskan bahwa “perbuatan yang dimaksud dalam pasal 414 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan KB, pencegahan penyakit menular seksual, atau kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan”. Dituliskan pula bahwa petugas yang berwenang itu termasuk relawan yang ditugaskan oleh pejabat yang berwenang. Pasal tersebut tidak jelas karena tidak disebutkan bahwa keluarga dapat memberikan sex education (hanya petugas berwenang yang ditugaskan oleh pejabat). Itu berarti orangtua yang menunjukkan alat kontrasepsi pada anaknya dapat ditindak pidana. Kemudian, petugas dan pejabat yang berwenang tersebut masih tidak jelas deskripsinya seperti apa. Kemudian, diberitahukan pula bahwa tujuan pasal ini adalah untuk menekan angka seks bebas pada anak. Padahal menurut saya, menekan angka seks bebas tidak mesti dilakukan dengan pelanggaran “promosi alat kontrasepsi”. Pelanggaran promosi alat kontrasepsi ini justru malah membuat pendidikan seks tidak optimal, akibatnya? Bisa saja hamil diluar nikah, dsb.


3. Pasal 251, 469, 470, 471, dan 472 UU KUHP mengenai Aborsi

Dalam pasal ini, disebutkan bahwa setiap perempuan yang sengaja menggugurkan kandungannya (termasuk bagi korban pemerkosaan) akan dipenjara maksimal 4 tahun, dan setiap orang yang menggugurkan kandungan seorang perempuan dengan persetujuannya dipidana maksimal 5 tahun. Menurut saya, isi pasal tersebut tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi dalam keadaan darurat atau kehamilan karena pemerkosaan. Selain itu, RUU ini hanya melindungi dokter, bidan, paramedis yang melakukan proses aborsi, tidak dengan seorang perempuan yang menjadi subjek dari aborsi yang diakibatkan oleh keadaan darurat medis maupun korban pemerkosaan.


4. Pasal 431 RUU KUHP mengenai Gelandangan

Dalam pasal ini, disebutkan bahwa orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum dan mengganggu ketertiban umum akan dipidana dengan denda paling banyak Rp. 1 Juta. Banyak orang yang berfikir seperti “untuk apa ada pasal seperti ini, gelandangan kan hanya miskin, mereka juga tidak sanggup untuk membayar denda”. Selain itu, pasal ini ternyata juga sempat rancu karena beredar pernyataan bahwa Wanita pekerja yang pulang malam dan terlunta-lunta hingga dianggap gelandangan akan di denda Rp. 1 Juta. Ternyata pernyataan tersebut tidak benar, yang dimaksud dalam pasal ini adalah gelandangan yang tidak mempunyai identitas dan mengganggu ketertiban umum atau berbuat onar yang akan ditindak.


5. Pasal 417 dan 419 RUU KUHP tentang Perzinaan.

Dalam pasal ini dipaparkan bahwa setiap orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan atau orang yang bukan suami atau istrinya akan dipidana penjara maksimal 1 tahun atau denda kategori II. Namun, tindak pidana tersebut tidak akan dituntut kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anaknya. Menurut saya pasal ini sangat rancu dan sedikit tidak jelas terlebih pada “pihak” yang dapat melaporkan kasus perzinaan. Selain itu, dari adanya pasal ini kita dapat menyimpulkan bahwa negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana pada hak konstitusional warga negara yang bersifat privat.


Berdasarkan beberapa pasal yang sudah saya sebutkan diatas, saya menyimpulkan bahwa pasal-pasal yang ada dalam RUU KUHP ini memang bersifat multitafsir atau istilahnya pasal karet. Kita dapat menemukan berbagai macam opini yang berbeda-beda dari tiap orang terkait dengan masalah ini, entah itu dari pandangan orang politik, hukum, dan sebagainya. Dapat disimpulkan pula, tidak semua rezim pemerintahan ini salah, ketika membuat dan menetapkan Undang-Undang, pasti butuh pertimbangan yang sangat matang dan tidak main-main, dan negara harus selalu punya cara untuk meyakinkan pertimbangan tersebut. Lalu, RUU KUHP ini memang harus “dilawan” ketika terdapat suatu hal yang benar-benar harus ditinjau ulang. Selanjutnya, sebagai orang yang bijak dalam mengambil tindakan, usahakan ketika ingin berkomentar atau mengkritik, kita harus membaca informasi secara keseluruhan dan teliti. Kemudian, banyak membaca Undang-Undang, khususnya bagian penjelasan, ketentuan peralihan, dan latar belakang. Kemudian berkaitan dengan aksi demo yang dilakukan oleh ribuan mahasiswa, sebagai mahasiswa kita juga harus memahami tentang apa yang terjadi, jangan hanya modal “ikut-ikutan” dan berkomentar seenaknya terkait masalah yang ada. Indonesia darurat membaca. Setidaknya pahami situasi yang ada, dan tegakkan pendapat yang menurut diri kita benar.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


HitamPutih.jpg

Thanks for submitting!

Department of Anthropology

Faculty of Cultural Sciences

Universitas Gadjah Mada

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Twitter Icon

2019 The Human Stories

bottom of page