Papua: Rasialisme Tak Kunjung Padam
- mufadlilazahra
- Oct 4, 2019
- 4 min read
Updated: Oct 14, 2019
Mufadlila Dienul Zahra
18/424766/SA/19138

Photo by Ayu Mumpunl- alinea.id
Heterogenitas memberikan keistimewaan dan konflik dalam kehidupan bermasyarakat Indonesia. Dewasa ini, konflik rasialisme sedang dihadapi Indonesia yang berdampak pada kerusuhan besar. Kemudian apa itu rasialisme dan kerusuhan? Rasialisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakukan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sedangkan kerusuhan berarti pemberontakan atau kekacauan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Keprihatinan saya muncul atas kerusuhan dan konflik kompleks rasialisme pada masyarakat Papua. Konflik-konflik tersebut melihat segala hubungan terkait Papua sebagai hal yang “buruk”.
Konflik rasialisme masih memiliki pemahaman yang kurang di Indonesia. Konfik itu timbul karena ketidakpahaman. Bentuk rasialisme yang tidak jelas mempengaruhi kelanggengan rasialisme itu sendiri. Ketidakjelasan itu perlu diperbincangkan kembali di Indonesia. Stigma masa lalu dari masyarakat non-Papua terhadap masyarakat Papua membentuk rasialisme belum diubah oleh generasi milenial saat ini. Stigma dan pra sangka dan buruk menjadi point utama rasialisme di Indonesia. Menurut Munro rasialisme akan terus ada ketika kita masih berpikir bahwa budaya, etnis, warna kulit mempengaruhi kemampuan, sikap, motivasi, bahkan cara berpikir dan gaya hidup (Munro, 2019).
Jika dilihat dari konflik rasialisme Asrama Mahasiwa Papua di Surabaya yang termuat dalam detik news, terjadi pada tanggal 16 Agustus 2019 dengan penyerangan dan pengepungan asrama tersebut. Mahasiswa asrama itu diduga melecehkan lambang negara bendera merah putih dibuang dalam selokan tetapi kebenarannya masih belum jelas. Tindakan rasialisme dalam konflik itu muncul setelah berkedok membela Indonesia memberi bumbu-bumbu provokasi kemudian melontarkan ujaran dan tindakan rasialisme dengan anarkis. Banyak hal janggal terkait penyebab penyerangan dan tindakan penegak hukum dan aparat pemerintahan.
Di Surabaya, rasialisme terjadi karena cara masyarakat non-Papua dan aparat pemerintah salah dalam memberikan teguran atas dugaan pelecehan bendera Indonesia itu. Ditambah pula masyarakat Papua diperlakukan sebagai anak tiri oleh pemerintah dalam posisinya di Indonesia. Pendapat dan pandangan dari masyarakat Papua tidak diperhatikan. Stigma pemerintah bahwa Papua ingin “menghancurkan” Indonesia menjadi pedoman utama. Pandangan itu berdampak pada masyarakat Papua yang tersudutkan jika mereka dinyatakan bersalah tanpa bukti yang sebenarnya.
Melihat kejanggalan itu timbul aksi solidaritas masyarakat Papua di beberapa daerah Indonesia. Salah satunya yang termuat dalam BBC News Indonesia, terjadi kerusuhan Wamena tanggal 23 Sepetember 2019. Aksi pembelaan atas rasialisme di Papua menuntut keadilan dan penangkapan pelaku rasialisme. Aksi tersebut berakhir ricuh dengan meninggalnya banyak korban dan pembakaran kantor pemerintah, rumah dan ruko di Wamena. Hal baru yang perlu digaris bawahi dalam kerusuhan itu adalah masyarakat asli Papua tidak mau bermusuhan dengan bangsa Indonesia (Ijie, 2019). Mereka hanya meminta keadilan dengan damai. Namun provokasi oknum tertentu memyebabkan aksi itu menjadi kerusuhan.
Aksi solidaritas masyarakat Papua berujung dengan kerusuhan. Rasa sakit hati masyarakat Papua menicu bara api tindakan anarkis setelah kesabaran mereka habis karena perlakuan kasar dan rasialisme di dalam negara mereka sendiri. Dalam aksi solidaritas tersebut masyarakat Papua meminta kedamaian untuk kehidupan mereka di tanah non-Papua. Mereka hanya menuntut: 1) Pemerintah meminta maaf atas rasialisme yang terjadi, 2) Pemerintah menindak tegas dan menghukum pelaku rasialisme, 3) Masyarakat Papua ingin berdialog dengan pemerintah secara langsung (Kresna, 2019). Pemerintah Indonesia tidak melihat kebutuhan dari sisi masyarakat Papua namun justru berpikir pemerintah lebih pandai mengatur Papua dengan cara pemerintah sendiri seperti mematikan jaringan Internet. Menurut saya justru memperkeruh suasana yang membuat mereka semakin dikucilkan.
Mengapa Papua diperlakukan secara rasialisme? Saat terjun lebih dalam pada konflik rasialisme Papua akan terlihat fakta terselubung di balik konflik dan kerusuhan yang terjadi beberapa waktu terakhir. Pertama, peninggalan masa lalu berupa pra sangka atau stigma buruk yang melekat pada masyarakat Papua menyebabkan mereka diberi label sumber masalah, perusak negara dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kedua, sikap pemerintah yang menganaktirikan Papua dengan praktik rasisalisme akibat. Ketiga, Masyarakat Papua masih dilihat sebelah mata dalam segi kemampuan, pekerjaan, pemberian layanan kesehatan dan pendidikan. Keempat, provokasi pihak tertentu yang memanfaatkan kesensitifan rasialisme Papua untuk membuat kekacauan. Perbaruan keempat hal itu untuk memadamkan rasialisme harus dimulai dari generasi muda penerus bangsa, salah satunya mahasiwa Indonesia.
Saya mencoba memahami konflik rasialisme dengan netral dan pandang dari saya sebagai mahasiswa. Meskipun saya beragama Islam dan bersuku Jawa yang notabene mayoritas di Indonesia, saya tidak mendukung perlakuan masyarakat Jawa yang rasialisme terhadap sesama rakyat Indonesia. Saya tidak memandang Papua “buruk” seperti yang beredar saat ini. Saya melihat saat ini, masyarakat Papua terjebak dalam konflik rasialisme yang sebenarnya tidak pantas mereka terima, terutama dari pemerintah dan masyarakat Indonesia. Tindakan pemerintah dan aparat hukum kepada mereka yang dianggap sebagai anak tiri sangat tidak adil. Terkhusus kepada pelaku rasialisme. Hal itu seakan-akan menyuruh masyarakat Papua untuk diam dan menganggap rasialisme itu biasa.
Walaupun masyarakat Papua sudah berusaha berlaku baik di tanah non-Papua apakah rasialisme masih terus ada? Saya memperhatikan bahwa masyarakat non-Papua kurang welcome terhadap kehadiran masyarakat Papua. Di balik kegarangan fisik masyarakat Papua mereka mencoba berkomunikasi intens dengan ramah agar tidak mendapatkan rasialisme dan mudah di terima dalam masyarakat non-Papua. Di lingkungan sekitar saya khususnya di Yogyakarta yang sangat multikulturalisme, masih banyak tindakan rasialisme terhadap mahasiswa Papua yang belum diterima di semua tempat kos di Yogyakarta.
Membaca mengenai rasialisme di Jawa, hati saya tersentuh oleh perkataan Mama Yosepha Alomang. Baliau adalah tokoh perempuan Amungme di Mimika. Mama Alomang berkata “Kami jaga kalian yang non-Papua di tanah Papua, tapi juga jaga kami Papua di tanah non-Papua” (Kresna, 2019). Hal itu terbukti ketika kerusuhan Wamena masyarakat asli Papua memberikan perlindungan kepada masyarakat Jawa, Makassar, Padang. Masyarakat non-Papua dipersilahkan bersembunyi di rumah masyarakat asli Wamena Papua, kemudian dikawal dalam perjalanan masyarakat non-Papua menuju tempat aman di Gereja. Sebab sebenarnya hubungan antara masyarakat Papua dan masyarakat non-Papua sudah terjalin baik di tanah Papua. Era globalisasi telah merubah masyarakat Papua dengan berpendidikan lebih tinggi dan bertindak lebih rasional.
Masyarakat Papua merantau untuk mencari pendidikan serta pengalaman pekerjaan yang lebih baik demi membangun Papua. Akan tetapi kenyataan rasialisme masih mereka hadapi sehingga, kita semua harus membantu keluar dari rasialisme itu dengan perubahan keempat hal yang telah dibahas di atas. Perlu ditegaskan lagi bahwa Papua adalah bagian sah Indonesia dan rasialisme Papua harus padam di Indonesia. Demi menjaga persatuan Indonesia dengan masyarakat Papua harus ada perubahan stigma dan pra sangka dari masyarakat non-Papua dan pemerintah, melihat masyarakat Papua sebagai sesuatu yang baru karena mereka wajib mendapatkan kesetaraan dan keadilan sama seperti Masyarakat non-Papua.
Commentaires