top of page
Search

Pak Pieter Lennon, Seni Adalah Jasa

oleh Aisyah Alifah & Aulia Devi Qiara


Dari kejauhan di atas motor yang saya naiki, sekilas tampak seorang tua mengasoh santai di atas bale bambu pada suatu serambi rumah. Kala saya mendekat, mulai tampak jelas kenampakannya. Rambut bob yang mulai putih disana-sini, kacamata bulat, dan kaos putih mengesankan suatu romantisme masa lalu, era 70-an tepatnya. Zaman dimana grup musik The Beatles merajai telinga para penikmat musik. Begitulah keadaan pak Pieter Budi saat kami temui di kediamannya pada kamis 5 Desember lalu. Kami berangkat sekitar jam 3 sore setelah terlebih dahulu membuat janji dengan beliau via Whatsapp. Sebelum kami sampai di rumah beliau, kami sempat tersasar lumayan jauh lantaran hasil pencarian Google maps yang kacau namun akhirnya kami sampai disana bertepatan dengan kumandang azan asar yang menunjukan masuknya waktu sore hari. Sebetulnya kami membuat janji dengan Pak Pieter untuk mewawancarainya pada keesokan hari yaitu tanggal 6 Desember, namun tiba-tiba beliau minta untuk di percepat, jadi kami mau tidak mau mengiyakan sebab siapa yang butuh dia yang harus mendekat.


Siapa pak pieter

“bohong bila anak UGM tidak tau Pieter Budi”

Begitu kata Pak Pieter Budi di tengah-tengah wawancara yang kami lakukan. Ada benarnya pula sebab beliau ialah seorang pengamen kondang yang menjadikan Jalan Kaliurang “Bawah” sebagai panggung bermusiknya. Seperti yang kita tahu bahwa Jalan Kaliurang “Bawah” ialah wilayah dimana mahasiswa UGM banyak berkeliaran dan beraktivitas. Beliau sendiri terkenal dengan keunikannya yang selalu menyanyikan lagu-lagu dari The Beatles dan berdandan layaknya salah satu vokalis grup band legend tersebut yaitu John Lennon hingga tak jarang orang menjulukinya dengan Pieter “Lennon”. Selain memiliki unsur The Beatles dalam tiap penampilannya, beliau juga selalu membawa gitar dan harmonika yang mempunyai tiang kecil sehingga dapat menempel pada kepala beliau. Jadi sembari jemarinya memetik gitar, bibirnya pun turut merapal lirik-lirik liris The Beatles dilaraskan dengan sesekali tiupan harmonika. Aih, betapa resonannya musik yang dibawakan oleh beliau ini. Gayanya yang khas namun tetap sopan membuat Pak Pieter banyak dikenal dan tak lupa dicintai oleh kalangan mahasiswa dan tak jarang pula beliau diundang sebagai bintang tamu sebuah acara. Sebetulnya banyak sekali ciri khas yang membuat nama musisi jalanan yang lahir pada 22 September 1955 ini kian hari kian dikenal banyak warga Yogyakarta terutama mahasiswa UGM. Salah satunya adalah fakta bahwa beliau tidak pernah mau menerima uang sebelum lagu yang dinyanyikannya sampai pada nada-nada penghabisan. Bahkan kadang setelah bernyanyi beliau lupa untuk meminta uang. Seolah lupa bahwa beliau bernyanyi untuk menyambung hidup bukan sekedar menghibur diri.

Melihat Pieter Lennon dari sofa kediamannya

Sesi wawancara berlangsung selama kurang lebih 3 jam dan berjalan dengan sangat santai di ruang tamu Pak Pieter yang terbilang megah untuk seorang yang menyandarkan penghidupannya pada jalanan. Namun bukan Pieter Lennon namanya bila tak berpenampilan apa adanya. Kala itu ia hanya memakai kaus oblong dan celana pendek yang bisa dikatakan kumal. Lalu apa yang membuat Pak Pieter berkecukupan dengan hanya mengamen yang itupun kadang lupa meminta uang dari para audiens? Inilah yang akan menjungkirkan pandangan remeh saya terhadap pekerjaan jalanan yang beliau tekuni. Beliau merupakan pria tua yang bisa di bilang berpendidikan, sangat berpendidikan malah. Hal ini didasari pada kenyataan bahwa Pak Pieter tercatat sebagai alumni mahasiswa S1 ilmu ekonomi di universitas pembagunan negri veteran Yogyakarta (UPNVY). Pak Pieter yang sudah mulai menekuni dunia permusikan sejak duduk di bangku SMP itu mengaku sempat bekerja di sebuah perusahaan segera setelah lulus dari UPNVJ. Namun beliau juga bilang bahwa beliau paling tidak suka jika hidupnya dikekang oleh aturan dan kultur yang memaksanya harus bersikap A atau B.

“saya hidup untuk diri saya sendiri, saya cari uang untuk saya bukan untuk orang lain”, tandasnya.

Maka dari itu beliau memutuskan untuk keluar dari perusahaan setelah beberapa bulan bekerja. Beliau sah menjadi pengangguran selepas itu. Namun beliau bukan hanya modal nekat dan semangat anti-kemapanan ketika memutuskan berhenti meniti karier kantorannya. Beliau sadar bahwa musik, hal yang padanyalah ia jatuh cinta, adalah takdirnya. Dan ia menerima takdir tersebut lalu menjalaninya dengan penuh rasa percaya diri.

Alih-alih mencari lowongan casting atau mengikuti audisi bernyanyi, Pak Pieter malah memilih untuk langsung terjun ke jalanan dan melanglang buana berpindah-pindah tempat bahkan sampai keluar kota hanya untuk mengamen. Kesungguhan ini seakan menyiratkan bahwa ia mengamen bukan hanya sebagai ekspresi putus harapan melainkan sebagai refleksi jiwa bebas yang bergelora meniti karir permusikan dengan cara yang sama sekali tak biasa. ?

“saya dulu sampe jakarta mbak (ngamennya). Seminggu pergi bawa baju, gitar, harmonika, seminggu lagi ngamen deket rumah.”, ungkap beliau sambil mengisap rokoknya yang sudah tandas entah berapa batang sejak awal perbincangan. Saat kami tanya seputar alasan mengapa tidak mengikuti casting atau audisi bernyanyi, beliau dengan lugas menjawab bahwa ketika sudah masuk dunia rekaman maka ada instruksi yang mesti dipatuhi. Dan beliau kurang cocok dengan gaya kerja semacam itu

“Saya gak suka mengikuti kata orang”, ungkapnya. Kemudian menantu beliau datang membawakan kami masing-masing secangkir teh manis panas yang membuat obrolan semakin rileks dan cair.

Beliau hingga kini mengamen di sekitar Jalan Kaliurang KM 4-6 mulai dari jam 1 siang hingga jam 3 siang saja. Biasanya beliau dari rumah naik motor tidak membawa apa-apa sebab gitar dan harmonika yang akan beliau gunakan sudah di tempatkan di sebuah bangunan dekat kafe After 9 Jakal sekaligus menjadikannya sebagai “backstage” di tiap penampilan musiknya di sepanjang Jalan Kaliurang Bawah. Jarang orang menyadari bahwa Pak Pieter ini selalu mengamen dengan berpakaian necis seperti ingin pergi ke kantor dengan kemeja rapih dan celana hitam bahan. Saya pun baru sadar setelah beliau bilang membuat suatu pengakuan yang tentunya membuat saya hanya bisa berdecak kagum

“Saya ngamen itu gak asal ngamen mbak. Saya ini kan ga bodoh-bodoh amat ya. Saya juga tau perasaan orang lagi makan siang, sedang istirahat lalu didatangi pengamen yang sudah jelek suaranya, pakaian kumal, dan kadang sampai maksa minta uangnya. Makanya saya rapih kalo ngamen, bersih, kadang wangi soale saya pake parfum”, ungkapnya sembari melepas tawa yang diiringi oleh asap rokok keluar dari mulutnya.

Menyangkut kebiasaannya untuk urung menerima uang sebelum rampung satu lagu, ada misi tersendiri dalam tindakan tersebut. Beliau berkeinginan untuk meruntuhkan stigma bahwa pengamen adalah pengemis yang bergitar atau sekedar kecrek-kecrek. Maka ketika mengamen, tuntaskanlah lagunya. Bukan ketika sudah diberi sepeser uang lantas cabut entah kemana. Pak Pieter juga ingin menunjukkan bahwa pengamen merupakan seniman jalanan yang diutus Tuhan untuk menghibur khalayak jalanan.

“Kalau di beri uang, Puji Tuhan. Kalau tidak ya sudah, terserah dia toh mungkin aja dia keganggu kan gak semua orang suka lagi makan di ganggu.”, ujarnya dengan rendah hati.

Sebagai seniman jalanan, Pak Pieter tidak mau asal ngamen saja. Bernyanyi sekadarnya, bergitar dan kecrak-kecrek sekenanya, diberi receh, lalu lekas pergi.

“saya ini ngamen modal mbak, gitar saya ini bisa 8 juta harganya, harmonika saya tiap 3 hari sekali ganti. Dan ngamen buat saya itu harus ada nilai jualnya mbak, saya mesti punya ciri khas. jangan kira saya ngamen tuh ga pake modal, Mbak.”, paparnya dengan antusias seraya melempar tawa.

Setelahnya percakapan kamipun di tutup dengan kalimat beliau yang terngiang di dalam pikiran kami hingga saat ini, “bagi saya menyanyi itu adalah seni yang berupa jasa. Saya tidak jualan, saya tidak sedang menawarkan barang. Saya bernyanyi dan kalian bahagia itu sudah merupakan bayaran besar untuk saya” katanya sambil tersenyum lebar. Benar-benar penutupan yang sangat sempurna.


20 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page