top of page
  • Black Instagram Icon

Gempa Ambon: Harus Apa?

Updated: Oct 15, 2019

Muhammad Hilmi Reyhan-18/424765/SA/19137

‟Kita di sini seperti merasakan mabuk kapal setiap hari. Anak-anak saya muntah-muntah dan saya sendiri mual terus,” kata Abu Tamange.

Potret salah seorang korban gempa (ANTARA/Nurman Hadipratama)

Di kala orang-orang dewasa tengah bekerja, atau anak-anak yang lain sedang dalam kegiatan belajar mengajar, tiba-tiba saja gempa bumi mengguncang wilayah Ambon pada Kamis pagi (26/9) yang lalu. Gempa pertama terjadi sebesar 6,5 SR dan berdampak paling besar di kawasan Seram Bagian Barat dan Haruku. Mengingat gempa kali ini tergolong dangkal, guncangan pun dirasakan sangat nyata oleh masyarakat baik yang berada di pesisir maupun di kota.


Pasca gempa pertama, orang-orang di kota mengungsi di lapangan-lapangan terbuka atau bahkan di Kompleks perumahan gubernur sebagai antisipasi gempa susulan. Di sisi lain, orang-orang pesisir mau tidak mau mengungsi ke hutan dan wilayah perbukitan. Reaksi tersebut merupakan refleks masyarakat dalam menyikapi gempa. Orang-orang tak memiliki banyak pilihan untuk menyelamatkan diri dan keluarganya sendiri.


Dilansir ANTARA, jumlah korban jiwa per 2 Oktober 2019 mencapai 36 orang, dan ratusan ribu orang lainnya masih mengungsi di berbagai tempat. Warga masih takut akan seringnya terjadi gempa susulan dan adanya isu tsunami. Justru kebanyakan para pengungsi merupakan orang-orang yang mengalami trauma dan takut akan adanya gempa susulan, bahkan tsunami—meskipun BMKG telah menginfokan bahwa tidak akan terjadi tsunami. ‟Kita di sini seperti merasakan mabuk kapal setiap hari. Anak-anak saya muntah-muntah dan saya sendiri mual terus,” kata Abu Tamange dalam artikel Kompas.


Bencana alam dan segala peristiwa traumatiknya cukup riskan membuat para korban mengalami gangguan stres pasca-trauma. Untuk menyikapi dan meringankannya pun tidak semudah membalikkan telapak tangan. Diperlukan perhatian dan pemahaman secara telaten dan berkelanjutan karena stres yang dialami penyintas bencana tidak bisa hilang dalam waktu sekejap. Hal inilah yang menurut saya kurang dalam penanggulangan oleh pemerintah, yaitu keikutsertaan ilmuwan sosial dalam memberikan sumbangsih terkait mitigasi bencana.


Respon pertama pemerintah terhadap gempa tersebut kiranya sudah sesuai dengan prosedur operasi standar saat bencana. Walau demikian, salah satu statemen milik Menko Polhukam Wiranto cukup memercik keresahan. Ia mengatakan bahwa para pengungsi gempa diharap segera kembali ke rumah masing-masing. Wiranto menilai jumlah pengungsi terlalu membludak sehingga menjadi beban bagi pemerintah pusat dan daerah. Tak lama kemudian pernyataannya pun diralat. Yang jelas dapat kita lihat bahwa tindakan pemerintah belum meninjau perspektif korban bencana sendiri dalam penanganan bencana alam.


Dalam upaya penanganan gempa Ambon, kita perlu memosisikan diri sebagai para korban yang hingga kini masih mempunyai trauma. Memang benar bahwa pada suatu titik, mengungsi hanya akan memperparah keadaan dengan munculnya penyakit yang sebagian besar disebabkan sanitasi yang rendah. Walau demikian, perlu ditekankan juga bagaimana keadaan (baik fisik maupun psikis) para korban. Alih-alih mendesak para warga untuk kembali ke rumah dan beraktivitas sedia kala, sebaiknya yang menjadi fokus adalah bagaimana memulihkan psikologis para korban yang mengalami trauma.


Saya pribadi turut bersimpati dengan apa yang dialami warga Ambon. Berat rasanya untuk dapat beraktivitas dalam bayang-bayang akan adanya gempa susulan. Gempa bumi di Yogyakarta 13 tahun silam yang saya alami dahulu sudah cukup membekas hingga kini. Melihat rumah-rumah runtuh, tenda-tenda yang dibangun ala kadarnya, dan korban berjatuhan, meninggalkan perasaan yang tidak mengenakan. Menanggapi hal tersebut, wajar jika setiap orang membutuhkan waktu yang lama untuk menjalani pemulihan trauma (trauma healing).


Cukup disayangkan bahwa minimnya pengetahuan warga setempat akan upaya mitigasi bencana menjadi salah satu faktor kemungkinan tumbangnya korban jiwa. Pengetahuan mitigasi misalnya berupa penanganan pertama yang perlu dilakukan saat bencana terjadi dan pengetahuan untuk tidak mudah mempercayai informasi yang simpang siur beredar. Hal-hal mendasar seperti itu akan sangat berguna di situasi-situasi yang mendesak.


Menurut saya, diperlukan kerja sama oleh pemerintah (dalam hal ini BPBD maupun BNPB) dengan masyarakat setempat dalam pengedukasian mitigasi bencana. Salah satu contohnya dapat berupa pembentukan kelompok tanggap bencana—dengan anggota penduduk setempat—di wilayah-wilayah yang rawan bencana. Pemberitahuan melalui media milik pemerintah kiranya juga dapat dijadikan imbauan resmi agar diperhatikan secara serius oleh masyarakat.


Kelompok tanggap bencana, kelompok mitigasi bencana, atau apapun itu namanya mempunyai peran sentral dalam mengedukasi masyarakat setempat. Mereka secara tidak langsung mempunyai peran ganda. Pertama menjadi penggerak tindakan preventif bencana melalui sosialisasi dan pengedukasian berbagai elemen masyarakat. Kedua, menjadi garda terdepan saat sedang terjadi bencana. Pemerintah tidak mungkin langsung terjun ke lapangan saat bencana terjadi, sehingga hanya masyarakat sendirilah yang dapat saling membantu satu sama lain.


Khalayak umum pun memiliki peran yang sentral dalam proses pemulihan pasca bencana. Sikap gegabah dalam menanggapi fenomena bencana gempa bumi di Ambon hanya akan memperparah keadaan dan hanya akan membuat kepanikan massal, yang kemudian termanifestasikan dalam bentuk hoaks dan/atau informasi yang rumpang. Kondisi demikian dapat berujung kepada trauma berkepanjangan atas sesuatu yang kemungkinan terjadinya kecil, dan bahkan tidak akan terjadi.


Saya dan teman-teman yang lain pun dapat berbagi informasi baik turun langsung ke lapangan (jika memungkinkan) maupun melalui audiensi di media sosial. Langkah konkret yang dapat dilakukan semua orang adalah memberikan donasi dalam bentuk uang, sandang, pangan, obat-obatan, serta barang-barang survival kit. Misalpun kesemuanya tidak dapat dilakukan pun dengan menyebarkan informasi yang valid sudah dapat membantu saudara kita.


Yang lebih penting, kesemuanya perlu dilakukan secara berkelanjutan agar jumlah korban dan kerugian yang ada pada bencana-bencana yang akan datang mampu ditekan seminimal mungkin. Tidak perlu terburu-buru untuk mengembalikan semuanya ke kondisi semula. Baiknya kita memanfaatkan waktu sebaik mungkin, menuntaskan trauma healing, sembari membangun kembali “rumah” yang rubuh terkena gempa.

 
 
 

Recent Posts

See All

Comments


HitamPutih.jpg

Thanks for submitting!

Department of Anthropology

Faculty of Cultural Sciences

Universitas Gadjah Mada

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Twitter Icon

2019 The Human Stories

bottom of page