top of page
Search

Menyorot Alwan, Brilian Di Balik PALAWA

Updated: Dec 26, 2019

Oleh Haratua Zosran Abednego & Sarah Vabio

Perawakannya bagai pemuda Jawa unggul yang tinggi dan pundaknya bidang dan seimbang, seperti gambaran di poster-poster priyayi abad 20 awal. Imaji tersebut jelas untuk menyanjung kebugaran Alwan Brilian, kakak tingkat kami angkatan 2015. Teman kami, Tasi, pernah bilang bahwa berkuliah di antropologi pasti tidak akan pernah kehabisan stok panutan kakak tingkat: nyatanya benar, Alwan Brilian adalah orang yang kami segani selain karena pribadinya yang gokil dan lucu tapi juga karena relasi dan gaweannya yang tersebar dimana-mana.

Sore itu kami mendatangi Alwan, di Festival Film Dokumenter 2019. Dalam proyek ini ia menjadi programmer untuk program Feelings of Reality, pojok virtual reality dalam rangkaian festival tersebut. Sebelum memulai wawancara, kami sempat bingung ingin menyorot ia dari sisi mana? Seperti di awal kami sebutkan, Alwan banyak gawe. Karena ketika Festival Film Dokumenter akan dimulai pun dia masih sibuk loading out instalasinya di Biennale, sehari sebelumnya. Kami sempat berpikir bahwa Alwan dan brilian dua kata yang tidak dapat dipisahkan: nama, doa orang tua, yang menjadi nyata. Di bawah awan mendung di teras Gedung Societet, kami berbincang dengan Alwan. Bobot utama perbincangan kami adalah tentang PALAWA (Pesta Ala Mahasiswa). Selama 2 Tahun sejak berdirinya PALAWA sukses menciptakan ekosistem musik party dalam kampus. Dimana berbondong-bondong dj-dj rumahan berupaya untuk mengorbitkan dirinya ataupun diorbitkan. Dan kini kami berbicara dengan salah satu aktor penting di balik PALAWA. Siapakah Alwan? Dan apakah ia sadar bahwa ia telah menciptakan platform bagi para musisi-elektronik kampus? Sadarkah ia dengan antidote bagi pusingnya perkuliahan yang ia ciptakan bagi para jiwa penat oleh laprak dan review? Malam ini menjadi malam yang mencerahkan.

Alwan Brilian


Sejauh hubungan kami dengannya, Alwan kami kenal sekedar kakak tingkat Antropologi angkatan 2015 saja. Perjumpaan dengannya Selasa Malam, 3 Desember 2019, merupakan perjumpaan beruntung karena salah satu dari kami bekerja bersamanya di dalam kepanitiaan Festival Film Dokumenter 2019. Walau pada kesempatan lain, kami pernah membantu dalam terealisasi PALAWA terakhir, proses perencanaan yang begitu singkat.

Pukul setengah delapan malam, kami memulai perbincangan, malam itu Alwan tengah menggunakan baju berwarna biru, celana chinos cream dengan jam digital dan gelang teruntai dua kali putaran di tangan kiri. Dadanya berbidang, mukanya bersih dengan kulit berwarna sawo matang, rambut wajah tipis. Rambutnya tetap tegak dan tertata walaupun mempertimbangkan fakta bahwa ia telah bekerja dari pagi. Selama bercerita gerakan tangannya pelan dan menghipnotis untuk mengikuti alur cerita yang dijelaskannya, kontras dengan nada bicaranya yang selalu bersemangat dan ramah. Beberapa kali ia dipanggil oleh orang lain, ia menanggapi orang lain terlebih dahulu, entah dalam ranah pekerjaan atau sekadar menyapa saja, sesaat kemudian kembali melanjutkan perbincangan dengan kami. Kadang tangannya juga dinaikan, untuk membentuk lambang peace yang rapat, yaitu dengan menyatukan jari telunjuk dan tengahnya untuk menunjuk ke langit-langit, sembari menjelaskan sesuatu.

Hanya dalam sekejap saja, kami dapat memahami bagaimana Alwan berperilaku, dan kenyataan yang saya dapatkan adalah kenyataan di luar dugaan. Kini pembahasan kami akan membuahkan pelajaran. Untuk berinisiatif dan mengambil risiko; untuk beridealisme dan bersenang-senang.


Pesta


Potret Titto, Alwan, Aan, Radit, dan Anu diakhir PALAWA (Instagram.com//Alwanbrillian
“Ayo lah bikin party”

Kalimat pertama yang dilontarkan Alwan saat bercerita mengenai rencananya untuk membentuk ruang berpesta yang benar-benar pure pesta; bukan pesta sebagai bagian dari acara, tetapi sepenuhnya pesta. Pesta yang penuh dengan permainan musik elektronik, dengan sound system eksepsional, dipandu disc jockey dari awal hingga akhir. Pertimbangannya adalah: paruh akhir tahun 2017, musik-musik yang dimainkan di scene ‘dugem’ telah beranjak ke musik-musik karaoke (sing-along). Alwan melihat fenomena-fenomena ini dari timbulnya beberapa musisi elektronik yang membawa musik karaoke, seperti Suara Disko (Diskoria Selekta) dan Diskopantera; selain itu juga menyebut Barakatak yang diundang di Indonesia Netaudio Festival. Berasal dari observasinya tersebut, Alwan memiliki stigma lain bahwa party sesungguhnya hal dekat dengan kita semua. Selama PALAWA Musik yang dimainkan merupakan musik-musik nostalgia yang kebanyakan telah kita dengar dari acara seperti Inbox dan Dahsyat, atau bahkan masa kita mengunduh musik masih di stafaband. Bayangan musik-musik yang dibawakan di PALAWA,adalah musik-musik karaoke yang sangat dekat dengan masa kecil kita.

Walaupun telah ada di benak pikiran Alwan, wacana tersebut sempat pudar dan terhenti sementara. Hingga akhirnya, pada awal 2018, Alwan diperkenalkan dengan Raditya dari Fakultas Hukum. Radit saat itu tengah mempelopori Kolektif Keadilan, kelompok penggiat musik di Fakultas Hukum. Setiap ada acara, pasti diakhir dengan Radit akan memainkan playlist yang sudah disusunnya dengan apik menggunakan turntable. Playlist berkomposisi lagu-lagu dari Chrisye, Utha Likumahuwa, Whitney Houston, dan lain-lain. Melihat potensinya, Alwan pun mengajak Radit untuk merealisasikan grand design-nya. Didasari dari upaya melengkapi kecakapan masing-masing yang kurang dibentuklah tim pertama PALAWA, berisikan Alwan, Radit, Aan, Anu, Ican, dan Titto. Kini setelah tim telah berbentuk, saatnya mencari tempat berlangsungnya acara.

Demi praktikalitas party, tim dibagi dengan jobdesc masing-masing. Alwan dan Aan berperan mengurus izin tempat dan memfasilitasi tempat. Radit, Anu, Ican, dan Titto sebagai otak dibalik playlist yang mengatur mood dan energy massa. Karena konsepnya ‘pesta ala mahasiswa’ yang tidak megah dan meriah layaknya party pada umumnya. Mereka sepakat tempat yang tepat adalah Fakultas Ilmu Budaya. Rundown PALAWA pertama kali pun dibuat se-simple mungkin dengan penampilan lagu-lagu dari mussi yang dekat dengan mereka sehari-hari, turntable dimainkan oleh beberapa dj, yang juga mahasiswa ugm, dan set akan diakhiri oleh Radit dan Anu.

Setelah proses party pertamanya, Alwan mulai menyadari bahwa apa yang dibentuknya ini, merupakan opsi bagi teman-teman kampus yang enjoy party, tapi tidak cukup nyaman untuk datang ke diskotik. dengan menghadirkan suasana pesta ke dalam kampus. Batasan waktu selama menggunakan fasilitas di kampus pun semakin memberi corak ‘ala mahasiswa’. Menurut Alwan batasan ini bukan menjadi threat untuk PALAWA justru menjadi pembeda antara skena party yang berusaha diusung PALAWA dengan party pada umumnya. Alwan mengatakan bahwa, party di kampus kita jadi tidak perlu tidak perlu jaim, karena orang-orang yang datang pun juga teman-teman kita sendiri. Alwan juga menerima banyak respon baik untuk mengadakan pesta kembali, bahkan dari teman-temannya yang bukan “anak party banget.” PALAWA menabrakkan fenomena yang seakan-akan jauh dari lingkungan kampus, untuk menjadi terbuka bagi mahasiswa-mahasiswa yang bahkan tidak sering berpesta.


Ala



Suasana PALAWA di awal tahun 2019 (Instagram.com/leonardojuancp)

“Yowis nek kampus mung bisanya sampai jam sepuluh, dinikmati aja.”

Dengan istimewanya, Alwan dan tim berhasil menciptakan PALAWA untuk menjadi ranah party yang accessible bagi mahasiswa. Dengan uniknya pula, PALAWA dapat menciptakan peleburan bagi dua hal yang beroposisi: stigma party yang sampai pagi versus acara kampus yang hanya bisa sampai jam sepuluh malam. Berangkat dari upaya untuk mendorong kapasitas mahasiswa supaya mencintai kampus sepenuhnya, agenda PALAWA secara personal bagi Alwan: yaitu untuk menikmati waktu di kampus bahkan dengan batasan-batasan yang ada. Paradoks ini juga belum dapat kami pecahkan, bagaimana kedua kutub tersebut bisa bertemu dan melebur bagi kenikmatan mahasiswa yang maksimal juga menurut kami sangat tidak memungkinkan. Pemaknaaan party bagi kami mengalami perpindahan, stigma mengenai party yang biasanya tertutup, dan segmented direkonstruksi menjadi: party merupakan kegiatan yang terbuka dan lumrah untuk dibicarakan. Kami sendiri bukanlah party-enthusiast, namun PALAWA telah memperkenalkan kami kepada kanal-kanal format party yang beragam dan tidak selamanya penuh dengan stigma high class.

Hampir eksperimental, PALAWA menjadi ajang pembuktian bahwa pesta dengan atmosfer yang ramah dan familiar sangatlah memungkinkan. PALAWA menghasilkan genre-nya sendiri sebagai sebuah acara yang bertemakan kampus dan mahasiswa, bahkan acaranya juga diadakan seturut dengan waktu-waktu penting tahun ajaran, seperti: awal semester dan akhir semester; menyambut mahasiswa baru ataupun menyemangati ujian akhir semester. PALAWA memiliki nilai jual yang berbeda karena situasi yang memaksa PALAWA menjadi pesta yang berbeda dari pesta lainnya. Ke-kampus-an PALAWA, sesungguhnya melawan stigma namun juga sekaligus menaati norma yang berlaku, yang apabila kita (Alwan menyebut para partisipan pesta-nya) mengadakan acara di kampus, ya tetap harus mengikuti aturan yang berlaku di kampus.

Kedua elemen ini, dikatakan oleh Alwan, sesungguhnya mendukung idealismenya untuk menciptakan pesta yang ramah dan aman. Dengan peraturan yang berlaku di kampus, perbuatan-perbuatan tidak senonoh atau pun dianggap norak oleh Alwan, dapat diminimalisir. Dengan mengadakan acara di kampus, fungsi pengawasan sosial semakin diserahkan kepada para partisipan pesta. Partisipan pesta yang menikmati jalannya pesta, juga menjadi orang yang menciptakan keadaan pesta yang aman itu sendiri. Apalagi dengan partisipan pesta yang merupakan teman-teman kampus sendiri, sanksi dari perbuatan senonoh juga dapat diteruskan secara lebih dekat dan tepat.

Alwan secara blak-blakan menyatakan bahwa PALAWA merupakan pesta non-profit suka-suka yang tidak pernah menamakan harga masuk, ataupun harga tenant. “Serugi-ruginya,” kata Alwan ketika mendekripsikan acaranya yang walaupun tidak pernah meraup untung, tetapi tetap dapat berjalan.


Mahasiswa



“Ekosistemnya sudah jadi, FISIPOL sudah punya Dansa Paripurna, Hukum punya Kolektif Keadilan, Psikologi punya Suddenly Kaget, untuk apa lagi?”

Pertama kali PALAWA diinisiatifkan, panggilan tunggal Alwan hanyalah untuk menciptakan pesta yang mahasiswa banget. Seiring perjalanannya, PALAWA telah sukses dalam menciptakan pesta ideal tersebut. Di satu sisi, mungkin karena PALAWA adalah satu-satunya “pesta ala mahasiswa” yang ada pada saat itu, di sisi lain, mungkin karena PALAWA juga yang sudah menjadi semakin terkenal dengan menggaet mahasiswa-mahasiswa dari fakultas lain. Dan akhirnya, idealisme tersebut menjadi kenyataan, bahkan membekas bagi para partisipan pestanya; hingga akhirnya fakultas-fakultas di Sosio-Humaniora memiliki kanal pestanya sendiri untuk memuaskan kerinduannya untuk menari bersama teman-teman kuliah. Namun, PALAWA sendirinya tidak bebas dari permasalahan. Karena PALAWA sering diadakan di FIB, PALAWA menjadi semakin diasosiasikan dengan FIB, bahkan dianggap sebagai artis independen dibanding sebuah acara semata. Di dalam kesempatan ini, kami mendapatkan klarifikasi dari Alwan, dan cita-cita yang telah ia rencanakan untuk PALAWA yang belum terealisasi sampai akhir.

Menurut Alwan, PALAWA awal-mulanya hendak dijadikan sebagai kanal pesta inklusif seluruh UGM. Ia menceritakan bahwa dulu PALAWA ingin mengadakan tur kampus ke setiap fakultas di UGM, mulai dari sosio-humaniora sampai saintek. Setiap klaster ingin ditemui PALAWA. Miskonsepsi mengenai artikulasi PALAWA milik FIB, bahkan merupakan keinginan Alwan paling pertama sebelum akhirnya PALAWA menjadi terealisasi dan nyatanya lebih inklusif dibanding bayangannya. Ia mengatakan bahwa “PALAWA” ingin ia jadikan sebagai acara milik FIB saja, namun nyatanya tidak ada yang memiliki pengalaman membuat pesta seperti yang ia bayangkan akan terjadi dengan Radit. Dan setelah kemudian PALAWA dapat dilaksanakan, diadakanlah di FIB.

Alwan sendiri sebagai pribadi, seakan-akan menggunakan PALAWA sebagai alter-nya, yang menjadi ranah untuk memberi pesta bagi mahasiswa UGM, bahkan di luar UGM. Namun, pada dialog kami, Alwan kadang juga mengganti PALAWA menjadi kami, yang ketika dihadapkan dengan permasalahan, ingin melibatkan seluruh tim untuk terlibat dalam menyelesaikannya. Seperti saat Fakultas Filsafat dipertimbangkan untuk menjadi venue, Alwan mengatakan bahwa permasalahan berpusar pada sentimen Humaniora Bersatu dengan beberapa anggota PALAWA: bahwa PALAWA adalah acaranya orang-orang yang “dibenci” oleh orang-orang dari Humaniora Bersatu. Padahal setelah diulik, sentimen tersebut berasal dari satu orang kepada orang lainnya, namun menjadikan label keanggotaan mereka seakan-akan menjadi oposisi yang terunifikasi, antara Kelompok A dengan Kelompok B, dibandingkan antara A dengan B. Solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut juga dengan negosiasi: PALAWA bermain di Gelanggang Expo, Humaniora Bersatu berjualan di saat PALAWA bermain. Walaupun Pesta Ala Mahasiswa, sengketa yang terjadi pun juga berpusar dan terlesaikan secara “mahasiswa.”

Pada akhir masa hidupnya, PALAWA mengalami transformasi selera musik. Karena berhasil menjadi inspirasi untuk kolektif musik lainnya di UGM, dan berhasil menggaet mereka untuk ikut mengisi set di PALAWA, akhirnya konten dramaturgi lagu yang dibawakan juga berubah dari idealisme awal. Mulai dari keinginan untuk membawa lagu yang sing-along, kini dengan banyaknya kolektif musik di UGM, genre musik PALAWA seakan-akan menjadi lebih fleksibel, bahkan ketika Radit (yang merupakan PALAWA) membawa musik, akhirnya berubah membawa lagu-lagu tekno yang lebih cenderung dengan musik Club Conquest, kolektif komersil milik Radit. Berubahnya genre ini pun, semakin memperkuat Alwan untuk menyudahi PALAWA. Idealismenya berhasil terealisasi, dan bahkan memperoleh gagasan yang belum pernah ia pikirkan sebelumnya: peninggalan PALAWA ternyata menjadi motivasi bagi kolektif musik lainnya untuk berani membuat acara pesta di kampus.

Selain karena tidak meraup untung apa-apa juga, Alwan mengatakan bahwa, kepuasan terbesarnya adalah dari orang-orang ketika menghadiri PALAWA, dari antusiasme para partisipan pesta, dan makin meluasnya jaringan konsumen PALAWA. Pernyataannya yang terakhir ini nyatanya merupakan dilema pribadi bagi Alwan. Katanya, ia merasa bagaikan orang asing di acara yang ia pelopori sendiri. Orang yang datang tidak lah familiar lagi baginya, pakaiannya berubah, bahkan berdandan dari awalannya memakai pakaian santai habis kelas. PALAWA sudah menjadi pesta yang pertama kali ia upayakan untuk berubah. Bagaikan famous movie line dari Star Wars Episode III: Revenge of the Sith: “you have become the very thing you swore to destroy.” Bahkan yang awalnya hanya untuk mahasiswa UGM saja, hingga melebar ke universitas-universitas lain, seperti Atma Jaya dan Sanata Dharma.

Terakhir kali kami mengingat, saat PALAWA terakhir, Alwan mengatakan bahwa alasan PALAWA disudahi hanyalah karena anggota-anggota PALAWA sudah di penghujung masa kuliah, dan hendak menyelesaikan kuliah secepat mungkin tahun 2020. Nyatanya, setelah mengobrol dengan Alwan secara intim, alasan tersebut berpusat pada matinya praktek idealisme Alwan dari saat PALAWA pertama kali diciptakan. Perubahan orientasi PALAWA dari acara menjadi performer pun agaknya bertentangan dengan keinginan Alwan. Bahkan dengan banyaknya undangan PALAWA untuk mengisi acara, keanggotaan PALAWA pun menjadi semakin terpecah, sesuai untuk memenuhi panggilan acara tersebut. Perbedaan antara PALAWA sebagai acara dan miskonsepsinya sebagai performance sendiri menghasilkan gagasan bahwa: PALAWA sudah cukup untuk menjadi letusan tembakan pertama yang memacu adrenalin kolektif-kolektif lain untuk berani mencipta seperti PALAWA.


Walau dan Namun



potret suasana PALAWA terakhir

PALAWA, walaupun telah berubah format pagelarannya, kepuasan yang dapat diambil Alwan adalah kepuasan karena telah berhasil menciptakan ekosistem pesta yang PALAWA menjadi pemantik inisiatif berbagai kelompok mahasiswa, bahwa membuat acara pesta di kampus bukan suatu hal yang mistahil. Tidak hanya itu, Alwan secara personal belajar banyak selama mengurus PALAWA. Dari membentuk format acara, hingga menggunakan turntable dan mahami cara kerja disc jockey. Secara khusus PALAWA istimewa sebab kemampuannya memenuhi kebutuhan konsumen akan party, dengan tidak semena-mena menciptakan pesta yang pora, tetapi juga meleburkan peraturan agar dapat menghasilkan pesta yang ramah. Walaupun kedua hal di atas bertentangan, namun PALAWA juga dapat menyajikan kedua elemen tersebut agar dapat dikunyah, dan membekasi suatu nilai, yaitu agar mahasiswa menjadi familiar dengan norma yang ada: memberikan gagasan bahwa tidak ada tempat yang bebas aturan sepenuhnya, bahkan tidak di party. Pada akhir hayatnya, PALAWA memanglah, Pesta Ala Mahasiswa, yang dibuat dari, oleh, untuk mahasiswa dengan nilai kemahasiswaan dan peraturan yang tidak semata-mata membatasi, namun menyadarkan seberapa maksimal mahasiswa dapat berkarya dengan batasan-batasan yang ada. Sebagai penutup pembicaraan kita sore itu dan sebagai penutup dari eksistensi PALAWA, Alwan berkata:

”Sudahlah, cukup segini aja Palawa.”
255 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page