top of page
Search

Menyelami Wacana Postcard dalam Generalisasi Wilayah

oleh Ilman Nafi'a (18/424726/SA/19134) dan Siti Nurhidayah (18/428343/SA/19290)


Berbicara mengenai seniman memang selalu menyuguhkan hal-hal yang mengundang rasa keingintahuan yang mendalam. Biennale Jogja Equator #5 telah menjadi mediator untuk mengobati rasa keingintahuan kami mengenai karya seni dari para seniman. Berkunjung setidaknya empat kali pada lokasi Biennale di Jogja National Museum (JNM) meninggalkan kesan yang mendalam pada tiap-tiap karya seni yang dipamerkan. Karya-karya yang luar biasa tersebut tidak lepas dari tangan-tangan seniman yang tidak diragukan lagi keterampilannya. Melihat dari sisi kedetailan karya, kami berasumsi bahwa para seniman telah memikirkan konsep yang matang dalam menciptakan karyanya.


Memang tidak semua seniman dan karyanya kami ingat, karena banyak sekali karya yang ditampilkan---cukup membuat pusing kepala. Namun ada karya seni yang benar-benar membekas dari ingatan kami, karena sangat berbeda dengan karya seni lainnya dan cenderung unik. Terbuat dari kartu-kartu pos yang dikumpulkan dan dilukis kembali dengan menampilkan tempat-tempat di Indonesia dan beberapa peta bagian wilayah Indonesia. Karya dari seniman bernama Meliantha Muliawan dengan judul karya “Kartu Pos, Benda yang Diabaikan” benar-benar menarik perhatian kami untuk mengetahui siapa Meliantha dan karyanya. 


Berawal dari Cuitan Instagram Biennale

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kami tertarik dengan salah satu seniman yang ikut serta meramaikan Biennale Jogja Equator #5 yaitu Meliantha Muliawan dengan karya “Kartu pos, benda yang diabaikan”. Untuk dapat mengetahui seperti apa sosok   Meliantha ini, kami berencana untuk berdiskusi dengannya. Beruntung kami masih mendapatkan kesempatan sebelum acara pameran Biennale Jogja Equator #5 selesai. Wicara seniman menjadi rangkaian acara terakhir sebelum penutupan pameran Biennale Jogja Equator #5. Info mengenai wicara seniman kami dapatkan dari sosial media instagram Biennale Jogja. Tentunya kesempatan ini tidak kami sia-siakan begitu saja, selepas kelas Etnografi Maluku, kami langsung bergegas ke Jogja National Museum. Acara wicara seniman tersebut dimulai pukul 16.00 WIB.


Sesampainya di lokasi, kami mengikuti sesi diskusi dengan seniman Meliantha Muliawan, Mas Blankon dan seorang kurator yang sudah tidak asing lagi untuk kami. Sangat disayangkan kami datang terlambat, sehingga tidak sempat mendengar diskusi dari awal. Namun meskipun terlambat, kami sempat mengikuti apa yang dijelaskan oleh Meliantha Muliawan tentang karyanya. Tak berselang lama, giliran Mas Blankon yang mengambil alih diskusi wicara seniman. Mas Blankon juga menjelaskan banyak hal mengenai hasil karyanya, dimulai dari latar belakang, proses produksi, pengalaman selama berkarya, sudut pandang dan masih banyak lainnya. Hingga pada akhirnya diskusi pun dicukupkan. 


Di akhir diskusi, kurator memberikan himbauan kepada audiens yang datang bahwa kami diberikan kesempatan jika masih ingin berdiskusi dengan para seniman. Tentunya ini menjadi momen yang sangat menguntungkan untuk kami. Bergegaslah kami menemui seniman Meliantha Muliawan untuk diajak berdiskusi mengenai karyanya. Besar harapan kami dapat menggali informasi sekaligus mendapatkan ilmu dan pengetahuan baru dari sosok seniman muda yang hebat seperti Meliantha Muliawan ini.


Mengenal sosok Meliantha Muliawan dan Karya Seninya

Meliantha Muliawan atau kerap disapa Meli, lahir pada tahun 1992 di Pontianak namun dibesarkan di Jakarta. Perempuan yang memiliki perawakan tinggi semampai, kulit putih dan mata yang sipit---kebanyakan orang menggolongkannya ke dalam Etnis Tionghoa, telah menyelesaikan studinya di fakultas Seni Rupa dan Desain Institut teknologi Bandung (FSRD ITB) pada tahun 2014 silam. Meliantha Muliawan memulai petualangannya dengan bekerja di wilayah manajemen seni. Dari pekerjaan itulah yang membuat ia mengenal segala detail tentang seni yang digelutinya saat ini. Dari situ, titik tolak karir keseniannya dimulai.


Meliantha, sebagai seniman kerap kali mengambil objek yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Ia sebagai si subjek atas karya, sangat sadar bahwa setiap benda memiliki tempat masing-masing di dalam ruang imajinasi manusia. dalam karya yang dipamerkan di Biennale Jogja National Museum itu misalnya, pengunjung diajak untuk membebaskan ekspresi sesuai sudut pandang mereka. Karya-karyanya juga membentuk pemikiran bagaimana ia memperkenalkan tempat wisata di Indonesia yang berangkat dari kartu pos yang sering diabaikan keberadaannya oleh orang-orang. Kami mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai seniman yang dua tahun terakhir ini menetap di Yogyakarta. Ia menjelaskan bagaimana proses kreatif yang dilaluinya sebagai seorang seniman. 


Senyuman manis dari Mbak Mel (nama panggilan dari kami untuk Meliantha Muliawan) dan perkenalan dari kami yang berusaha sok kenal sok dekat dengannya, mengawali diskusi pada sore menjelang petang itu. Kami mencoba untuk santai dan tidak tegang dalam memulai pembicaraan. Melihat respon Mbk Mel yang baik dengan selalu menyematkan senyuman-senyuman kecil setiap kami melontarkan pertanyaan-pertanyaan kepadanya membuat setidaknya kami merasa lebih nyaman mengikuti alur diskusinya.


Seperti diajak flashback ke masa lalu, Mbak Mel menceritakan awal mula ketertarikannya terjun ke dunia seni. Sejak kecil sudah mengikuti les dan hobi menggambar. Namun sekedar ketertarikan teknis, baru secara kontekstual dari tingkat dua kuliah sekitar tahun 2011. Ketertarikan pada dunia seni sejak dari kecil juga menjadi alasan mengapa ia mengambil kuliah di seni rupa ITB. Mbak Mel baru benar-benar masuk ke dunia seni dan art scene setelah lulus kuliah. Saat ia bekerja di bagian manajemen, Mbak Mel kenal banyak kolektor-kolektor, kurator dan para pelaku seni selain seniman. Dari situ Mbak Mel mulai belajar mengenal sudut pandang sebagai orang yang tidak memproduksi seni namun sebagai penikmat seni. Menurutnya seni menjadi sesuatu yang tidak melulu mengenai teknis dan pengetahuan, melainkan juga menikmati, memahami, dan sharing.


Selain menggeluti dunia seni, hal lain yang dilakukannya adalah travelling. Menurutnya berkunjung ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi merupakan hal yang menyenangkan. Travelling juga menjadi ajang untuk menemukan ide-ide baru untuk karyanya. Dari kecintaannya terhadap travelling Mbak Mel mulai terpikirkan pada kartu pos yang sangat jarang ditemukan pada saat ini. “Mungkin hanya seorang kolektor yang benar-benar memilikinya” pertegas Mbak Mel. Mbak Mel melihat postcard sebagai pelukisan tempat-tempat di Indonesia, namun sayang bahwa tempat-tempat yang ditunjukkan dalam kartu pos adalah tempat yang terpusat dengan kata lain sangat jarang menemukan  postcard dengan objek tempat wilayah pinggiran. kemudian karena terdapat kecocokan antara ide yang terpikirkan mengenai postcard dengan tema pameran Biennale pada akhirnya Mbak Mel memutuskan menggunakan kartu pos sebagai karya seni yang dipamerkannya. 


Dalam proses pengerjaan pembuatan postcard yang ditampilkan di pameran, Mbak Mel terlebih dahulu membeli postcard yang akan dilukis ulang olehnya sesuai dengan objek yang diinginkan. Postcard itu dicampur dengan resin agar hasil yang didapat lebih mengkilap. Postcard yang dipamerkan di Biennale membutuhkan waktu pengerjaan kurang lebih dua bulan. Dalam proses pengerjaan itu, Mbak Mel dibantu oleh rekannya atau kadang menggunakan jasa dari mahasiswa ISI Yogyakarta. Membuat karya tentang postcard menjadi tantangan tersendiri untuk seorang Meliantha, karena dibutuhkan kedetailan gambar dari foto, kesabaran dalam melukis agar hasilnya dapat membuat karakter postcard itu menjadi kuat. Dari karakter postcard yang kuat itu, diharapkan pengunjung menjadi lebih sensitif terhadap apa yang ingin Mbak Mel sampaikan dalam karyanya, yaitu lebih aware dengan sesuatu di sekitar mereka.


Hal menarik lain dari ide Mbak Mel mengenai postcard nya yaitu saat kertas yang sudah dilukis tersebut dilipat pada bagian point of interest, hal ini dimaksudkan supaya audiens melakukan interaksi dengan karyanya untuk mengintip bagian yang dilipat itu. Interaksi tersebut akan terjalin, sebab saat benda itu disembunyikan dan tidak terlihat mungkin saat itu ada proses tebak-menebak. dari tebak-menebak tersebut akan menyadarkan seberapa pengetahuan audien tersebut serta seberapa empati audiens pada tiap-tiap tempat. 


Ditengah diskusi kami dengan Mbak Mel, kami menyadari akan karakternya sebagai sosok yang tegas, to the point dan sikap karakter yang kuat. Dari awal cerita mengenai prosesnya dalam berkarya, Mbak Mel seperti menegaskan bahwa dirinya sebagai seseorang yang memiliki kepekaan terhadap lingkungan di sekitarnya. Seperti karyanya yang terinspirasi dari benda-benda yang terabaikan keberadaannya. Namun kami menyadari belum dapat masuk lebih dalam ke karakter Mbak Mel, dikarenakan menurut kami Mbak Mel tidak termasuk tipe orang yang akan dengan sukarela menceritakan kehidupannya jika memang tidak ditanya. Kala itu kami juga berusaha untuk mengajak Mbak Mel lebih terbuka dengan kami namun sekali lagi kami menyadari bahwa karakter setiap orang berbeda-beda saat diwawancarai. Dari Mbak Mel kami belajar sikap tegas dan to the point nya serta rencana-rencana kedepan yang mesti dilakukan. 


Wacana Pinggiran dalam Sebuah Postcard

Menurut penjelasan dari Mbak Mel, dalam postcard yang beredar di pasaran mengandung wacana mengenai wilayah pusat. Mengapa demikian? karena dianggap bahwa postcard yang sering ditemui akan menampilkan wilayah-wilayah pusat saja sedangkan wilayah pinggiran sangat sulit menemukan postcard semacam itu.

Hal ini dicurigai bahwa Postcard sebenarnya sebagai wadah untuk “generalisasi” suatu wilayah. Kembali lagi bahwa pusat seperti Jakarta, bandung, dan wilayah perkotaan lainnya akan sering muncul dalam postcard-postcard yang ditemui di pasaran. Sedangkan postcard mengenai desa jarang sekali ditemui di pasaran. Penggambaran pusat sebagai wajah dari Indonesia menurut kami sendiri terlalu membosankan. Bandung, Surabaya, Medan atau bahkan Bali, pemahaman mereka hanya seputar tempat itu saja. 




Sumber : Doc. Pribadi


Maka kami sangat merespon dari apa yang Mbak Mel katakan mengenai wacana postcard tersebut. Postcard yang dipamerkan oleh Mbak Mel setidaknya telah menunjukkan bahwa pinggiran juga dapat muncul dalam wajah postcard. Generalisasi postcard yang diciptakan dalam wacana pusat mengenai wilayah perkotaan menyadarkan tentang apa yang dianggap layak sebagai wajah Indonesia dalam sebuah kartu. Postcard yang dipamerkan dengan judul “Kartu Pos, benda yang diabaikan” benar-benar mewakili tema pinggiran yang ditentukan oleh Biennale. Dari postcard sebagai benda yang diabaikan tidak hanya sekedar untuk flashback ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi, namun sebagai media untuk lebih sadar mengenai apa yang terjadi di sekitar kita. 


Pada akhirnya kami menyadari bahwa sosok figur seperti Meliantha Muliawan sangat menginspirasi untuk seniman-seniman muda yang sedang membangun karya di dunia seni rupa. Dari sikap, tutur-kata, ide-ide serta pemikirannya yang sangat luas membuat kekaguman kami semakin bertambah pada sosok seniman muda ini. Dan kami percaya bahwa benar memang jika ingin membahas mengenai figur atau person sangat disarankan untuk bertemu langsung dengan yang berkaitan, kami sangat setuju sebab dengan berkontak langsung tidak hanya akan mengenal sosoknya namun juga ikut masuk menjelajahi kehidupannya lewat cerita yang disampaikan. 


Ps: Foto Bersama dengan Meliantha Muliawan



13 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page