top of page
Search

Menjelajah Pinggiran Melalui Karya Seniman

oleh Nugraha Mahendra Jaya dan Viky Setya Nusantara


BIENNALE JOGJA

Yogyakarta, wilayah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia bahkan mancanegara karena memiliki banyak daya tarik istimewa, salah satunya keberagaman seni. Populernya seni Yogyakarta tak lain karena terwadahinya kreativitas masyarakat. Terbukti banyak diselenggarakannya acara bertemakan seni tradisional maupun modern antara lain, yaitu Biennale Jogja.


Biennale Jogja, satu di antara banyak wadah yang menampung animo seniman yang bertajuk pameran. Tahun ini merupakan edisi kelima dari seri gagasan khatulistiwa yang dicanangkan sejak 2010, tetapi secara keseluruhan saat ini merupakan Biennale kelima belas yang di sini dituliskan dengan Biennale Jogja XV. Pameran ini digelar di empat lokasi yang berbeda, yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, Kampung Ketandan, dan di Gedung PKKH UGM. Tak hanya mengusung karya seni lokal, Biennale Jogja XV kali ini berkolaborasi dengan seniman Asia Tenggara yang mengusung gagasan Do We Live in the Same Playground?Dipaparkan dengan tulisan melalui media tembok, konsep pameran ini berfokus pada isu-isu kehidupan ‘pinggiran’.


Setelah mengunjungi dua lokasi Biennale Jogja, kami disuguhkan banyak karya yang membuat kami takjub diselingi kebingungan. Bagaimana tidak? Meski kami rasa tema yang diusung adalah sesuatu yang familiar dengan kehidupan sehari-hari, namun sedikit susah bagi kami untuk mengkorelasikan karya seniman dengan apa yang dimaksudkan oleh Biennale Jogja XV. Melalui tulisan ini, kami berupaya untuk menginterpretasikan dua karya seni (Usus 12 Jari dan Instalasi Audio) yang dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta dengan mengaitkan ‘pinggiran’ yang dituju oleh Biennale Jogja tahun ini.


‘PINGGIRAN’ OLEH BIENNALE

Secara istilah, kata ‘pinggiran’ jelas mereferensikan daerah yang terletak di luar kawasan pusat. Daerah ini biasanya merupakan wilayah dengan keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan dibanding wilayah lainnya. Kami berpendapat karena kondisi yang jauh tidak lebih baik dari wilayah lain menjadikannya kurang mendapatkan perhatian yang berujung pada rasa dipinggirkannya keberadaan masyarakat wilayah ini.


Biennale sendiri tetap memegang pengertian ‘pinggiran’ tersebut, namun lebih meluaskan lagi pengertiannya menjadi daerah ‘antagonis’ yang kerap kali terpinggirkan meskipun masih terletak di daerah yang sama dengan daerah pusat, entah terpinggirkan dari segi ekonomi, politik, atau lainnya. Lebih lanjut, Biennale kemudian menggambarkan ‘pinggiran’ yang ada di beberapa daerah di Asia Tenggara dengan menggunakan karya-karya seniman yang terlibat.


Biennale Jogja XV dalam temanya kali ini memaknai ‘pinggiran’ tidak hanya sebatas pada isu-isu yang melingkupinya, tetapi juga membicarakan bagaimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara berbagi permasalahan yang sama. Sederhananya, pinggiran menjadi jembatan penghubungnya. Biennale Jogja berupaya menghubungkan berbagai wilayah yang mempunyai kompleksitas persoalannya sendiri-sendiri: Jogja (dengan fenomena Kampung Kali Code), Aceh, Pontianak, Polman, Sabah, Pattani (perihal dilematik kaum Muslimin), Mindanao, Suluh, Ho Chi Minh, dan lainnya.


Tidak hanya berbicara perihal konsep ‘pinggiran’, di sini Biennale Jogja XV menyoroti beberapa persoalan umum. Pertama, bagaimana kawasan (Asia Tenggara) dan dunia global dalam bayangan subjek-subjek pinggiran. Kedua, melalui pinggiran ini bisa memahami kondisi nyata yang tengah kita hadapi saat ini terutama perihal masyarakat yang terbelah karena hegemoni kekuasaan tertentu. Terakhir, Biennale Jogja XV mengajak masyarakat untuk belajar dari perspektif pinggiran dalam memperjuangkan hidupnya, salah satunya perihal hak. Bagaimana masyarakat pinggiran berjuang keras untuk melangsungkan kehidupannya di tengah kondisi sosialnya yang tak seberuntung masyarakat lainnya.


USUS 12 JARI DAN INSTALASI AUDIO

Dua dari delapan karya di TBY


Laju kendaraan kami diikuti Sang Fajar yang perlahan menyembunyikan diri untuk siap berganti. Jingga yang kala itu menghiasi langit Jogja setidaknya menghibur perjalanan kami di tengah bisingnya kota sore itu. Ya, semua masyarakat Jogja sedang melawan lelahnya seharian bekerja dan segera ingin merebahkan raganya. Hingga akhirnya tak terasa kami sudah memasuki pagar Gedung Taman Budaya Yogyakarta. Segera kami menaruh kendaraan pada tempatnya dan bergegas mengeksplorasi karya para seniman. Mengingat langit Jogja sudah tidak lagi jingga yang perlahan menggelapkan dirinya.

Biennale Jogja 2019 di Taman Budaya Yogyakarta (Suara.com/Amertiya)


Awal memasuki gedung, kami dibuat ternganga oleh sebuah instalasi display yang disusun memanjang antar dua tembok dengan bentuk memanjang seperti lorong permainan pada playground anak-anak. Bedanya, pada bagian tengah instalasi ini bulatannya menonjol lebih besar dari bagian lainnya. Instalasi ini seolah menyambut kami selaku pengunjung dan sebagai penanda dimulainya eksplorasi karya seni bertajuk pinggiran ini. Karya instalasi ini milik seniman Wisnu Ajitama yang dinamainya sebagai Usus 12 Jari. Usus raksasa ini berbahan dasar triplek, yang menurut Wisnu sendiri sangat erat kaitannya dengan orang pinggiran sesuai dengan tema yang diusung Biennale tahun ini. Kami selaku orang awam beranggapan bahwa usus yang terbuat dari triplek merupakan gambaran yang sangat tepat untuk melambangkan orang-orang pinggiran atau kaum-kaum marginal. Mengapa? Karena orientasi hidup kaum pinggiran adalah usus atau perutnya. Mereka berpikir asalkan bisa makan, pasti bisa hidup. Kemudian terkait dengan triplek, jelas itu menggambarkan tempat tinggal mereka yang biasanya dominan dari triplek. Jadi, karya ini menurut kami bukan sebatas karya yang mementingkan keindahan saja, namun juga ada makna khusus dibaliknya.


Melihat karya Wisnu ini, menurut kami sangat sesuai dengan tema yang diusung Biennale edisi kelima ini. Wisnu mengajak pengunjung untuk turut memosisikan dirinya pada masyarakat pinggiran yang mana banyak memiliki keterbatasan dalam hidupnya, di antaranya makan. Bagaimana mereka harus mengesampingkan angan-angan yang sempat dimilikinya dan fokus berjuang untuk melayani ususnya. Tidak seperti masyarakat lainnya yang mayoritas dengan mudah mencari asupan gizi juga merealisasikan keinginannya di luar kebutuhan pokoknya. Patut untuk dimengerti karya Wisnu ini secara tidak langsung juga telah membawa pengunjung turut serta memahami kondisi nyata masyarakat pinggiran.


Memasuki gedung pameran, kami memiliki ketertarikan yang sama terhadap satu karya yang berada di dalam sebuah ruangan minim cahaya. Di dalamnya banyak kaleng bekas susu kental manis tanpa label, bergelantungan dengan ketinggian yang sama dan ditata rapi hampir memenuhi bagian atas ruangan. Ditambah lagi, telepon merah kuno di atas meja terletak di pusat ruangan itu. Kaleng bekas diubah menyerupai permainan zaman dulu yang dikenal sebagai telepon kaleng. Uniknya, kabel di sini tidak terkait satu sama lain melainkan tiap kaleng terikat dengan kerangka instalasi yang berkerlap-kerlip berwarna merah di langit-langit. Rangkaian karya ini merupakan hasil kolaborasi Studio Malya dengan Penyintas 65 yang kemudian mereka sebut Instalasi Audio.

Setidaknya dibutuhkan 64 kaleng bekas untuk menyusun instalasi sedemikan rupa. Dengan menempelkan lubang kaleng ke telinga kita, maka akan terdengar audio yang kurang lebih sama seperti saat kita mendengarkan radio. Audio tiap kaleng tersebut berbeda antara satu dengan lainnya. Studio Malya bersama mitranya menuliskan di ruangan tersebut bahwa audio yang terdengar dari dalam kaleng merupakan berbagai respons banyak pihak terhadap konflik tahun 1965. Sedangkan telepon kuno merah di tengah disajikan oleh mereka sebagai sarana bagi audiens (pengunjung) untuk menyalurkan respons mereka terkait konflik 1965. Sayangnya, ketika kami mengunjungi karya ini telepon merah tersebut sedang tidak berfungsi. Alhasil kami hanya bisa mendengarkan tanpa menyuarakan.


Terkait dengan tema ‘pinggiran’ kami berpikir bahwa instalasi ini dirangkai dengan banyak makna di baliknya, meski tidak diutarakan langsung oleh perancang di deskripsinya. Kami berspekulasi makna yang dibawa sangat erat kaitannya dengan isu ‘pinggiran’. Kaleng bekas yang menyerupai telepon kaleng dipilih perancang karena permainan ini mayoritas dimainkan oleh masyarakat kalangan bawah. Mereka (masyarakat kalangan bawah) menciptakan permainan ini sebagai respons terhadap kondisi mereka yang tidak bisa memiliki alat komunikasi (telepon), tidak seperti kalangan atas yang kala itu sudah bisa memilikinya dengan mudah.


Sedangkan banyaknya kaleng yang digunakan dalam instalasi ini dalam pikiran kami diasosiasikan dengan tahun terjadinya konflik (1965), 64 kaleng ditambah 1 telepon kuno merah. Menurut kami, karya Studio Malya bersama mitranya ini sangat sesuai dengan tujuan yang dibawa Biennale Jogja XV, yaitu memahami kondisi nyata yang tengah kita hadapi saat ini juga untuk belajar dari perspektif pinggiran dalam memperjuangkan sesuatu. Kondisi nyata di kehidupan sehari-hari adalah banyak aspirasi masyarakat kalangan bawah tidak didengar apalagi ditindaklanjuti akibat adanya kepentingan pribadi kalangan atas. Dibuktikan dengan masih banyaknya aspirasi masyarakat di dalam kaleng yang sangat beragam. Melalui karya ini, Studio Malya bersama mitra kolaborasinya berupaya menggiring imajinasi publik melalui penciptaan new-museum yang memungkinkan untuk menghadirkan beragam sejarah kecil dan praktik pengelolaan konflik yang selama ini terpinggirkan oleh narasi/kepentingan dominan.


KESIMPULAN

Tanpa mengurangi rasa hormat kami terhadap semua karya di Taman Budaya Yogyakarta, kami hanya memilih dua karya ini karena menurut kami kedua karya tersebut tidak sulit untuk dipahami masyarakat. Kami merasa kedua karya ini merupakan karya yang tepat untuk menggambarkan maksud ‘pinggiran’ yang diusung oleh Biennale Jogja XV 2019 ini. Alasan lain karena kebetulan saat itu kami tidak hanya berdua melainkan bersama dua teman kami lainnya. Berangkat dari respons teman kami yang tidak bingung ketika melihat dua karya ini, maka kami memutuskan untuk mengulasnya.


Melalui kedua karya ini, kami bisa mengerti bahwa permasalahan yang ada di ‘pinggiran’ pada negara-negara Asia Tenggara relatif sama dan juga karya ini mengajak kami secara langsung untuk melihat serta merasakan kondisi nyata yang terjadi di pinggiran. Karya-karya ini membantu kami melihat realitanya secara langsung, bukan hanya melalui teori, kabar burung, atau ‘katanya’. Keduanya benar-benar karya yang menyedot simpati serta empati dari pengunjung yang datang. Tentu dari kedua karya ini sangat merepresentasikan ‘pinggiran’ yang diusung oleh tim Biennale Jogja XV 2019 yang tidak hanya membicarakan konsep, melainkan menggiring imajinasi pengunjung untuk melihat dan memposisikan dirinya di kehidupan ‘pinggiran’.


Meski demikian, belum tentu interpretasi kami terhadap dua karya ini benar adanya. Pasalnya setiap orang memiliki pandangannya masing-masing terhadap suatu karya. Oleh sebab itu, kami perlu untuk lebih lanjut mencari data baik tentang perspektif pengunjung maupun senimannya langsung. Dengan demikian nantinya akan menghasilkan data yang korelatif dari berbagai pihak.


 

Daftar Pustaka


2019, Biennale Jogja XV. 2019. Guide-Book Biennale Jogja XV/2019 Do We Live in the Same Playground? Jogja.

Yogyakarta, Yayasan Biennale. 2019. Biennale Jogja XV 2019. Diakses November 2019. https://biennalejogja.org/2019/.

31 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page