top of page
Search
  • Writer's pictureInaka

Menjangkau Hotel Bambu di Bantaran Sungai: Dialog Seniman dan Masyarakat Jogoyudan

Menilik pinggiran dari hotel "mewah" yang di bangun dari kesederhanaan.


Oleh: Inaka Salsabilah Kartika dan Vika Indah Permatasari


Adalah cerita klasik jika menilik isu mengenai ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di era modern ini. Lewat salah satu lokasi instalasi Bienalle dengan tajuk tema Do We Live In The Same Playground, kami berusaha mengulik jeritan orang-orang pinggiran yang hidup di pusat. Dengan mengambil fokus lokasi di Jogoyudan, kami berusaha menelaah karya yang dibuat oleh seorang seniman yang fokus pada arsitektur, Yoshi Fajar.


Yogyakarta sedang terik-teriknya hari itu. Berbekal celana berbahan kain dan kaos yang tetap nyaman walau keringatan, kaki-kaki saya mengayun ke arah jalan landai, tepat berada di sebelah Rumah Makan Padang Andalas di bilangan Gondomanan. Vika sedang berhalangan hadir dalam kesempatan ini--ia masih mengurus toko klambi ramah lingkungannya--sehingga saya mencoba untuk menelusuri Kampung Jogoyudan sendirian.


Kata kampung sebelumnya tidak pernah menjadi suatu yang aneh di pemikiran saya, tapi ternyata bisa menjadi hal yang sangat istimewa oleh para pengamat di dunia. Guinness (1986) menyebutkan konsep kampung sebagai tempat tinggal para jelata di kota (peasants in cities). Walaupun di satu lanskap yang sama, kampung di kota seperti berada di spasial yang berbeda. Saat kita menyusuri jalan raya yang mulus beraspal itu, apa yang kita temukan? Rumah-rumah megah dengan pagar tinggi? Baliho yang memenuhi jarak pandang mata? Gedung-gedung pencakar langit yang kokoh dan angkuh?


Di balik kemegahan dan keserbamajuan fasilitas kota, terdapat rumah-rumah kecil yang berjejalan di suatu hektaran lahan. Jika kita melihat dari lubang-lubang spasial yang menganga, jejalan rumah tersebut dapat kita saksikan dengan mata kepala kosong. Orang-orang menyebut ruang ini sebagai perkampungan; di mana, mengutip perkataan Guinness, orang-orang “rendah” maupun “tidak berpendidikan” tinggal di lingkungan itu.


Perspektif tersebut nampaknya sudah kehilangan zaman. Saat saya bertandang, mereka semua merupakan orang-orang bertata krama baik juga berpendidikan tinggi. Para pemuda di sana kebanyakan sudah bekerja di kantor, sedangkan yang lainnya sedang mengenyam bangku SMA dan kuliah. Kampung yang kumuh, seperti digaungkan oleh orang-orang, tidak saya temukan di Jogoyudan. Rumah-rumah kecil itu bercat bersih dan cemerlang. Ada pergeseran konstruksi bangunan di Jogoyudan, sehingga tempat tersebut lebih tertata dan apik untuk dipandang. Bambu digantikan oleh semen, lantai tanah digantikan oleh keramik (Newberry 2018). Kampung ini adalah tempat tinggal nyaman yang sederhana.


Sayangnya, kesederhanaan kampung ini seperti diolok-olok oleh infrastruktur kota yang makin modern tiap harinya. Sistem kapitalis yang bergaung di kota seakan-akan menyudutkan ruang lingkup kampung, sehingga masyarakatnya termarjinalisasi dari aspek sosial, politik, dan ekonomi. Lewat hotel berkerangka bambu yang dibuat, Yoshi Fajar berusaha untuk bersuara atas marjinalitas masyarakat kampung yang dipojokkan oleh produk-produk kapitalisme di Yogyakarta.



Menjulurkan Lidah Ke Hotel-Hotel Beton


Hotel Purgatorio, sebutan lain dari sebuah instalasi seni berbentuk hotel dengan pondasi berupa tangga-tangga bambu yang saling dikaitkan. Memilih tempat di tengah-tengah pemukiman warga, yakni di sebuah kampung pinggiran Kota Yogyakarta, Kampung Jogoyudan, rupanya hotel ini dalam proses pembuatannya memiliki makna yang cukup mendalam: ”membunyikan wilayah pinggiran”. Memiliki nama asli “Hotel Jogoyudan”, instalasi ini dibangun berkenaan dengan penyelenggaraan Biennale XV quarter #5. Penyematan nama Purgatorio sendiri sebetulnya disebabkan oleh karena adanya kerja sama antarnegara-negara Asia Tenggara sehingga dianggap lebih relevan.—Sekiranya beberapa kalimat dalam paragraf ini merupakan inti dari sambutan Yoshi Fajar selaku seniman dan Arkham Rahman, salah satu kurator Biennale.


Dianggap menjadi sebuah contoh pasemon (istilah dalam bahasa Jawa) —yakni upaya sindiran—karya ini diharap dapat menjadi sebuah pacuan untuk merefleksikan segala fenomena sekitar sehingga dapat melakukan berbagai macam tindakan dengan penuh kepekaan. Demi kepentingan bersama dan sebagai upaya meningkatkan pemahaman tentang karya seni, hal itu lah yang menjadikan instalasi ini dalam segi bentuk maupun konsepnya sungguh berbeda jika dibandingkan dengan karya lain di dalam rangkaian acara Biennale 2019 ini. Dalam proses pembuatan, pada saat pelaksanaan acara, serta pascaacara, semua diperuntukkan untuk kepentingan masyarakat setempat, sekiranya itu lah yang dilontarkan beberapa penggiat acara ini dalam pembukaan yang dilakukan di balai RW kampung Jogoyudan bersama dengan perwakilan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kebudayaan, serta warga setempat.


Yoshi Fajar membangun hotel bambu tersebut atas dasar Kampung Jogoyudan yang dihimpit oleh lima hotel sekaligus dari setiap sudutnya. Seperti rahasia umum, hotel-hotel tersebut melakukan pengambilan air tanah secara berlebihan dan sembarangan (Ivan 2017). Hotel bambu sederhana dengan tinggi kurang lebih empat meter itu seakan-akan menantang hotel-hotel beton berbintang yang meraup keuntungan besar dari sumber daya yang ada di daerah Kampung Jogoyudan.



“Kami juga ingin terlibat lebih dalam”


Untuk menelaah hotel ini lebih dalam, kami mencoba untuk bertandang ke malam pembukaan hotel tersebut. Kira-kira selepas isya’ acara pembukaan itu dimulai, sempat terbesit rasa canggung ketika hendak bergabung dengan tokoh-tokoh yang beberapa di antaranya sudah menempatkan diri di selasar balai itu, maklum saja kami hanyalah mahasiswi yang kebetulan sedang melakukan kunjungan biasa-biasa saja. Setelah melepas alas kaki dan berupaya menatanya serapi mungkin, masuk lah kami ke dalam dengan badan membungkuk tanda hormat kepada para hadirin yang sudah mulai mengisi seluruh ruangan kala itu.


Suasana kesederhanaan yang sangat jauh dari bayangan kesemarakan Biennale terpancar begitu kuatnya, dengan ubi, kacang, dan beberapa makanan tradisional lain tersaji di atas tikar berukuran sedang yang juga merupakan alas duduk kami dalam perjamuan tersebut. Di sebelah kiri sampai ujung seberang nampak jajaran penggiat acara serta para ketua RW dan RT duduk berdampingan, selagi kami mengobrol ringan dengan perwakilan warga yang turut hadir dan bertempat di sebelah kanan kami.


Semakin lama, bertambah banyak pula jumlah orang-orang yang hadir menunggu rampung-nya pembukaan di luar ruangan balai RW. Selain para pengurus lembaga masyarakat, hanya para pemuda yang membantu Mas Yoshi saja yang hadir. Tidak lama setelah suasana berubah menjadi sedikit lebih ramai, acara itu dimulai dengan pembacaan urutan acara dari pihak warga yang diwakili oleh seorang bapak paruh baya berkemeja biru. Waktu itu, kami tidak begitu memerhatikan namanya. Dengan tutur-katanya yang begitu njawani, beliau menuturkan satu per satu acara yang akan dilaksanakan. Acara dibuka oleh sambutan dari Pak Trimulyono selaku selaku perwakilan dari Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta dan disusul oleh Pak Aris Eko Nugrono selaku Kepala Dinas Kebudayaan.


Berikut, kami mendapatkan sambutan dari pihak tokoh masyarakat. Tak banyak yang disampaikan oleh ketua RW 010, hanya beberapa kekhawatirannya mengenai bahasa dan budaya yang semakin terkikis oleh perkembangan zaman, seletah itu acara pun ditutup. Saat sesi diskusi dan tanya jawab, kami cukup terkejut dengan penjelasan yang kami dapatkan. Terdapat beberapa informasi di antara kedua belah pihak--yakni warga dengan penyelenggara--kurang tersampaikan dengan baik.


Pada salah satu sesi, beberapa perwakilan warga setempat sempat menyampaikan keluh-kesahnya perihal permasalahan koordinasi serta keberlanjutan dari Hotel Purgatorio. Pak Gani, salah seorang warga setempat, menuturkan aspirasinya atas kurang dan terbatasnya koordinasi dari panitia dan masyarakat. Beliau menginginkan bahwa panitia seharusnya dapat mengoptimalkan masyarakat serta dapat berdinamika bersama dalam proses pembuatan instalasi. Di akhir, Pak Gani menyebut bahwa apa yang telah disampaikannya ini merupakan uneg-uneg selama proses yang telah berlangsung. Menanggapi apa yang telah disampaikan Pak Gani, pembawa acara turut serta memberikan pertanyaanya mengenai keberlangsungan dari Hotel Purgatorio--pertanyaan ini beliau sampaikan atas dasar banyakanya pertanyaan serupa yang disampaikan warga kepadanya.



Konklusi


Kampung Jogoyudan adalah ruang untuk orang-orang “pinggiran” yang hidup di kota. Meskipun begitu, kami tidak melihat mereka sebagai orang yang berbeda dari kami. Stigma “pinggiran” hanyalah omong kosong belaka yang diciptakan dari zaman penjajahan untuk membedakan kaum penjajah dan pribumi.


Yoshi Fajar sebagai seniman sudah berhasil untuk memproyeksi kerugian warga atas hadirnya hotel beton di sekitar Kampung Jogoyudan. Sayangnya, warga masih merasa mereka diasingkan dari instalasi seni itu sendiri. Padahal, mereka ingin terjun lebih dalam di pembuatan hotel bambu itu. Komunikasi adalah hal yang sangat penting, ternyata, untuk keberlangsungan suatu instalasi yang melibatkan aspirasi banyak pihak.




Referensi

Guinness, Peter. (1986). Harmony and Hierarchy in A Javanese Kampung. Oxford, New York, Toronto : Oxford University Press.


Ivan, Kevin. (2017). Perebutan Air antara Warga dengan Hotel di Yogyakarta. Kumparan. https://www.kompasiana.com/loloks/59d16c8f2bbb135927449802/perebutan-air-antara-warga-dengan-hotel-di-yogyakarta?page=all accessed November 22, 2019.


Newberry, Jan. (2018). A Kampung Corner: Infrastructure, Affect, Informality. Indonesia 105 : pp. 191-206.

8 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page