top of page
Search

Menjadi Manusia bersama Hantu Pinggiran

oleh Raditya Baswara dan Ni Putu Dessy




Apa yang pertama kali terbayang dalam pikiran jika kata “hantu” terlontar ? Tentu saja tidak lepas dari bayangan makhluk tak kasat mata berwujud seram yang kadang identik dengan sifat jahat. Kurang lebih, begitulah Biennale dapat kami tafsirkan. “Pinggiran” yang menjadi “ruh” pameran menghembuskan nafas keindahan hingga rambut tengkuk meremang. Ia meminta dilihat dan diperhatikan, jadi itulah yang kami lakukan.


Hantu Pinggiran dalam Biennale Jogja XV 2019


Jogja Biennale merupakan acara yang bergerak dalam bidang seni rupa. Acara ini diadakan setiap dua tahun sekali di Yogyakarta. Yayasan Biennale Yogyakarta dan sekumpulan individu yang memiliki minat dan bakat dalam dunia seni adalah penggagasnya. Perhelatan ini tidak hanya menawarkan pameran karya seni semata, namun juga pemutaran film, diskusi dan lokakarya dengan beberapa perupa atau seniman yang turut mengisi acara, pertunjukan seni serta curatorial tour atau jelajah hasil karya seniman ditemani langsung oleh seniman itu sendiri.


Biennale Jogja XV 2019 mengambil tempat di Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, PKKH UGM, Kampung Ketandan Kulon 17, Kampung Jogoyudan, dan Helutrans Space Yogyakarta. Kami memutuskan untuk mengunjungi dua dari enam venue yang tersedia, yaitu Taman Budaya Yogyakarta dan Jogja National Museum. Diantara dua tempat itu Taman Budaya Yogyakartalah yang lebih berkesan bagi kami. Hal ini mungkin dikarenakan venue yang tidak terlalu luas sehingga perhatian kami dapat lebih fokus.


Biennale kali ini merupakan acara yang kelima. Sejak tahun 2011, Biennale Jogja mengambil tema “Equator”. “Equator” atau khatulistiwa dipahami sebagai wadah bagi seniman yang tinggal di sekitar garis khatulistiwa untuk bertemu dan bertukar gagasan. Gagasan yang diangkat tahun ini adalah “pinggiran”. Serupa makhluk halus, wacana “Pinggiran” direproduksi dalam berbagai bentuk. Seolah “Pinggiran” adalah sesuatu yang fluid hingga dapat digunakan mengisi ruang-ruang kosong imajinasi seniman. Barangkali memang begitu, sehingga “hantu-hantu” Pinggiran itu menjelma dalam berbagai wujud dengan keindahan sarat maknanya masing-masing.


Taman Budaya Yogyakarta Kala Itu


Panas terik menerjang kota Jogja sore itu. Menghabiskan akhir pekan dengan berkunjung ke pameran seni memang menarik. Namun hari minggu itu rasanya hawa panas menusuk kepala memang bukan main. Kami memutuskan mengunjungi Taman Budaya Yogyakarta yang digadang sebagai pusat perkembangan seni kota Jogja. Sekitar pukul 15.00, kami tiba di halaman Taman Budaya. Suasananya sepi hanya beberapa kendaraan yang terparkir, padahal ini hari libur. Kami memasuki gedung pameran dan langsung diserbu hawa dingin. Pengunjung pameran terbilang hanya sedikit. Diantara partisi dan instalasi kami memulai perjalanan menjelajah helatan Jogja Biennale


Perlahan kami menyelami sajian pameran seni dengan seksama sambil memutar otak perihal pesan apa yang sebenarnya ingin disampaikan para seniman. Bentangan karya seni mencakup satu ruangan besar. Meski pada akhirnya kami merasa cukup kelelahan menyelami setiap pikiran para seniman satu persatu, namun kreativitas mereka yang kadang di luar nalar membuat kami terkejut beberapa kali. Cukup unik rasanya melihat pojok taman bermain anak hinggat tempat karaoke lagu-lagu Asia Tenggara terpampang. Satu hal yang membuat cukup terhibur adalah rangkaian testimoni dan pesan pengunjung yang terpajang dalam satu tembok besar. Tidak mau kalah, kami pun ikut menuliskan pesan absurd di dalamnya.


Perhatian kami lalu tertuju pada keragaman pengunjung yang hadir, dari mulai satu keluarga yang menghabiskan akhir pekan, anak-anak muda yang ingin mencari konten dengan berfoto-foto ria, penikmat seni berpenampilan eksentrik yang mampu menyelami setiap instalasi secara mendalam dan saling berdiskusi perihal isu yang diangkat, para pencari makna dalam setiap karya seni namun akhirnya menyerah juga, kaum perseorangan yang hanya sebatas menikmati estetika sambil mengisi waktu, hingga jurnalis dengan kamera yang sibuk mencari bahan liputan. Sebuah situasi tempat yang terbilang cukup unik dengan perawakan pengunjung yang beragam, sembari kami menikmati sajian karya Jogja Biennale.


Menilik Gagasan Identitas dalam orang Vietnam “Buangan” di Kamboja




Perhatian kami tertuju pada sebuah instalasi yang cukup menarik di salah satu sudut ruangan Taman Budaya. Seorang seniman kelahiran Hanoi, Vietnam bernama Nguyen Thi Thanh Mai menciptakan suatu karya yang menyentil isu identitas kolektif bertajuk “Day by Day”. Ia menyoroti kehidupan komunitas masyarakat Vietnam yang menjadi korban buangan di Kamboja. Peristiwa tersebut tidak lain merupakan rentetan dari serangkaian perang saudara Kamboja antara tentara Partai Komunis Kampuchea dan Front Nasional Pembebasan Vietnam Selatan melawan pemerintah Kamboja yang didukung oleh Amerika Serikat dan Republik Vietnam (Vietnam Selatan). Akibatnya, berdirilah Kamboja demokratik dan menjadi awal genosida di Kamboja.


Permasalahan kaum Vietnam yang menjadi korban buangan di Kamboja kian pelik, terlebih mereka sebenarnya sudah memiliki identitas secara resmi sebagai bagian dari Kamboja yang sah secara hukum, namun jati diri mereka yang sebenarnya masih dipertanyakan. Thanh Mai menuangkan gagasannya dengan menyoroti narasi kartu identitas sebagai tanda pengenal mereka. Sejatinya, secara kultural kedudukan kartu identitas bagi mereka adalah hal yang sangat membingungkan, sebab bagaimana tidak bertahun-tahun mereka terperangkap dalam teritori orang dan sebagai imbalannya malah diberikan kartu identitas, lantas mengapa tidak dipulangkan?





Campur tangan politik dan pemerintahan yang kian lama menjamur semakin tidak tertolong, dalam hal ini Thanh Mai berusaha mengolah pengalaman kehidupan orang Vietnam di Kamboja lewat interpretasi visual yang estetik, namun mampu memberikan makna yang mendalam dari berbagai perspektif. Sebuah gubuk tua dari daun kelapa terpampang di sudut ruangan, rupanya di dalamnya terpampang deretan foto-foto keluarga dan kerabat dari para komunitas Vietnam. Tak jauh dari situ, sebuah karya instalasi berupa puluhan kartu identitas tersebar di sebuah meja. Hal tersebut menjadi representasi banyaknya bentuk identitas yang terpampang tidak menjamin jati diri mereka yang sesungguhnya.


Serangkaian hasil karya fotografi juga terpampang pada dinding seberangnya. Gambaran visual tersebut bercerita mengenai bagaimana masyarakat Vietnam menjalani hari-hari mereka dengan penuh keterbatasan untuk bertahan hidup. Uniknya, setiap orang yang terpampang dalam foto tersebut tidak diperlihatkan, malah dijadikan sebuah bayangan semata. Sebuah sajian film dokumen tersingkat juga ikut ditampilkan sebagai cerminan dalam membangun gagasan mengenai narasi pinggiran yang sebenarnya. Lewat cerita dari masyarakatnya, baik yang tua maupun muda mereka turut merefleksikan bagaimana keterbatasan kehidupan yang mereka jalani. Dimulai dari lingkungan tempat tinggal yang berada tepat di atas sungai, sarana air bersih yang memprihatinkan hingga transportasi sehari-hari menggunakan kapal yang seadanya. Rangkaian tampilan visual dari Thanh Mai tersebut tentunya mampu memberikan makna yang mendalam lewat berbagai spektrum pengalaman mengenai rumitnya masalah identitas berujung terhadap kondisi isolasi sebuah komunitas. Narasi pinggiran nyatanya mampu mencakup ruang yang amat luas.





Manusia Pembalut dan Ruang Pinggiran dalam Imaji

Setelah menjelajahi pameran Biannale di Taman Budaya Yogyakarta, kami menyadari bahwa wacana pinggiran dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pinggiran tidak hanya terbatas pada definisi ruang nyata, tetapi juga imaji. Kurang lebih itulah yang ingin disampaikan oleh karya berjudul “Arisan Tenggara” karya Manda Selena dan Andi Baskoro. Kolaborasi dua seniman ini menghasilkan respresentasi ruangan yang seringkali berada pada relung terdalam hati manusia, ketakutan.


“Selamat datang di Mandamonderland!”, begitulah bunyi awal deskripsi atas karya ini. Mandamonderland yang dimaksud ternyata berupa dimensi alih-alih ruangan dengan bentangan kain-kain merah. Kain merah tersebut dibentangkan dari langit-langit hingga menutupi satu bagian dinding dan lantai. Diatas lantai merah tersebut terdapat kursi dan meja lengkap dengan televisi serta remote. Tak lupa, sesosok manusia pembalut duduk santai menonton televisi.


Nama asli sosok ini sebenarnya manusia menstruasi, namun kami dengan semena-mena menyebutnya sebagai manusia pembalut. Lagi pula menstruasi dan pembalut adalah dua hal yang saling berhubungan. Ketika perempuan mengalami menstruasi, ia akan membutuhkan pembalut (meskipun tentu masih ada pilihan lain seperti tampon dan menstrual cup yang sedang tren belakangan ini). Senyata korelasi antara menstruasi dan pembalut, begitu pula manusia dengan ketakutan.


Manusia menstruasi adalah perwujudan dari ketakutan sang seniman. Bentuk ketakutan ini tidak dijelaskan dalam dekripsi karya jadi ruang interpretasi terbuka lebar bagi pengunjung. Bagi kami sendiri, terutama saya, Des, manusia menstruasi merupakan perwujudan atas hubungan love-hate kebanyakan wanita pada sang tamu bulanan. Ketika ia datang kami, para wanita, harus bersiap-siap merasakan sakit dan kram berkepanjangan. Belum lagi perubahan mood yang seperti cuaca di musim pancaroba. Namun, ketika sang Bulan tidak datang, perasaan was-waslah yang akan hinggap. Tidak hanya bagi wanita yang aktif secara seksual, tapi para perawan. Alasannya karena rasa gamang atas penyakit yang mungkin bersarang.


Beralih posisi pada tontonan sang Manusia Pembalut (atau menstruasi, yang mana saja), terdapat sebuah kotak televisi yang menayangkan sekelebat rekaman tentang kerusakan alam. Video ini adalah karya Andi Baskoro. Mungkin karena karya ini secara umum membahas mengenai ketakutan, beliau turut pula menuangkan ketakutannya dalam karya audio-visual tersebut.


Manusia adalah makhluk yang penuh dengan kompleksitas, begitulah kira-kira teriak sang Manusia Pembalut sambil menonton televisi. Kita sibuk melangkah ke depan tanpa sadar kaki terbelenggu untaian rantai ketakutan. Saat kita melihat cahaya, kita lupa bahwa tetap ada bagian gelap dalam diri kita yang bersembunyi. Bagian ini terpinggir karena suasananya yang gelap dan dingin. Melalui karya ini, seniman ingin membagi sedikit ruang gelap itu pada pengunjung. Tidak untuk menakut-nakuti atau memberi perasaan tak nyaman (mungkin sebagian orang akan merasa tidak nyaman melihat karya ini, tapi bukankah seni memang dibuat untuk menyamankan yang terganggu dan mengganggu yang nyaman ?), tapi untuk sesekali menengok ke dalam ruang gelap itu. Manusia pembalut seolah berkata, dengan menoleh sesekali ke dalam ruang gelap kita mungkin bisa menemukan sesuatu yang selama ini dicari. Sesuatu yang menjadikan kita manusia.


Biennale dan Variasi Perspektif Pinggiran


Biennale tahun ini berusaha menyatakan bahwa wacana “pinggiran” tidak hanya soal ruang, tapi soal imaji dan hal-hal asbtrak lainnya. Ketika manusia “dipinggirkan” maka banyak hal akan terjadi. Manusia akan merasa takut, lalu mempertanyakan urgensi atas identitas dirinya. Dua perasaan itulah yang dapat kami tangkap dari karya seniman-seniman di atas. Dengan memperhatikan dua unsur tersebut, kami berharap dapat lebih memanusiakan manusia dengan segala kemanusiaannya.


Para seniman nampaknya berhasil membahas “Pinggiran” dalam berbagai sudut pandang. Mereka mengolah kreatifitas dan imajinasi hingga terciptalah instalasi-instalasi bernilai seni. Dalam instalasi-instalasi ini ruang diskusi imajiner dapat terbentuk. Seniman mungkin menyediakan deksripsi atas karyanya, tapi tetap memberi ruang bagi imajinasi pengunjung.

Berbagai sudut pandang ini berhasil membuat kami kewalahan sekaligus terkesima. Kewalahan karena banyaknya karya yang harus kami interpretasikan, terkesima karena disajikan sudut pandang baru dalam melihat sesuatu. Dengan sentuhan estetis di sana sini, para seniman menciptakan hantu Pinggiran yang menjelma berbagai rupa, mengajari kami menjadi manusia.



10 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page