top of page
Search

Menilik ASEAN dari Kacamata Biennale XV

Updated: Dec 26, 2019

oleh Akhodza Khiyaaroh dan Fadia Rachmatul A


Pada siang hari yang terik di Hari Sabtu, 16 November 2019, kami mengunjungi Taman Budaya Yogyakarta untuk melihat pameran karya seni yang ada di sana sekaligus menonton beberapa film pendek yang merupakan bagian dari program SEA Movie bersama Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) UGM. Sembari menunggu persiapan pemutaran film oleh para panitia pelaksana Biennale XV, kami melihat dan mengamati pameran karya seni yang ada di sana. Selain itu, kami juga memanfaatkan waktu luang yang ada untuk mengabadikan momen dengan berfoto bersama karya-karya yang dipamerkan. Setiap karya yang dipamerkan di Taman Budaya Yogyakarta ini dikemas dalam bentuk yang berbeda-beda dan hal itulah yang memberikan kesan yang khas terhadap setiap karyanya.



Karya-karya yang dipamerkan di dalam Taman Budaya Yogyakarta ini begitu erat kaitannya dengan fenomena-fenomena yang terjadi dalam masyarakat Asia Tenggara. Beberapa di antaranya adalah pameran karya seni yang diusung oleh Muslimah Collective yang menceritakan kehidupan sehari-hari para wanita muslim di Asia Tenggara. Selain itu, juga terdapat pameran dari beberapa sketsa yang menggambarkan kehidupan suatu suku bangsa di Indonesia, sudut anak (instalasi yang menyediakan tempat bagi anak-anak untuk belajar dan bermain), representasi berbagai kisah, pesan, dan kesan tentang peristiwa 1965 di Indonesia yang dikemas dalam kaleng menggantung di seisi ruangan dengan satu telepon suara di tengah-tengah ruangan. Telepon tersebut berguna untuk menyampaikan aspirasi pengunjung terkait dengan peristiwa 1965 sekaligus melengkapi jumlah orang yang “bersuara”.


Berbagai fenomena yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Asia Tenggara juga dikemas dalam bentuk lain, seperti sebuah kisah yang diceritakan melalui beberapa tikar dengan jahitan raffia di tengahnya, gubug yang berisi dengan foto-foto, dan kartu identitas yang desainnya pun juga berbeda-beda. Instalasi Pukat Pikat Asia menjadi sesuatu yang dapat langsung menambah kesan akrab dan intim bagi pengunjung awam karena konsepnya yang bertemakan warung. Warung selalu menjadi tempat bagi segala perbincangan, mulai dari perbincangan mengenai topik umum seperti politik dan ekonomi sampai ke perbincangan yang bersifat pribadi seperti apa yang ingin mereka makan dan permasalahan kehidupan mereka. Instalasi ini juga dilengkapi dengan tempat untuk karaoke yang menambah kesan santai bagi para pengunjungnya. Kami merasa bahwa konsep warung ini berhasil mengemas wacana dari fenomena kehidupan sehari-hari masyarakat, khususnya masyarakat Asia Tenggara yang dalam hal ini memiliki kebiasaan masyarakat yang santai dan guyub ketika sedang makan bersama.




Kami mengamati dan menikmati seluruh pameran karya instalasi di sana hingga di antara sekian banyak karya yang dipamerkan dalam Taman Budaya Yogyakarta itu terdapat dua karya yang mencuri perhatian kami. Kedua karya tersebut adalah “Day By Day” yang diprakarsai oleh Nguyen Thi Thanh Mai dan instalasi karya yang diprakarsai oleh Pukat Pikat Asia. Kedua pameran karya tersebut begitu kental dengan isu identitas yang selamanya akan menjadi topik hangat untuk dibahas. Day By Day yang diusung oleh Thanh Mai ini terdiri dari penayangan film dokumenter, beberapa potret keseharian masyarakat, dan instalasi. Day By Day ini mencoba menyampaikan wacana mengenai betapa pentingnya kartu identitas. Kartu identitas merupakan produk dari peradaban yang menggunakannya sebagai unsur terikat dari si empunya, tetapi pada akhirnya juga menciptakan masalah baru karena pemahaman yang berbeda-beda terhadapnya.



Kartu identitas dapat dimaknai sebagai kuasa, cara mengklarifikasi, dan bahkan mimpi. Kemudian secara spesifik, Day By Day ini mengolah kehidupan orang Vietnam dan Kamboja. Meski menggambarkan kehidupan masyarakat luar negeri, tapi kami tetap merasakan relevansinya dengan fenomena masyarakat Indonesia yang penilaian terhadap sesamanya bertumpu pada kartu identitas. Kartu identitas selalu menjadi alat praktis untuk dengan mudah mengklarifikasi status sosial pemiliknya dan memberikan perasaan atas kuasa tersendiri bagi pemiliknya. Selama ini, kartu identitas berhasil menjelaskan kehidupan dan pencapaian pemiliknya tanpa penjelasan detail dari pemilik kartu identitas tersebut. Hal tersebut kemudian mengarah pada prestise yang dirasakan oleh pemiliknya. Beberapa akan diuntungkan dengan adanya kartu identitas dan sebagian yang lain akan merasa dibingungkan olehnya. Perasaan bingung itu kemudian berkaitan dengan stereotip dan perlakuan berbeda yang didapat dari kartu identitas yang dimilikinya. Memang, kartu identitas selalu berhasil menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak dapat dijelaskan oleh pemiliknya.


Setelah menikmati seluruh karya dan instalasi yang ada di Taman Budaya Yogyakarta, kami kemudian masuk ke ruangan yang telah disediakan untuk menonton film. Dalam ruangan tersebut terdapat empat film pendek yang ditayangkan pada sesi pertama, pukul 13.20 – 14.30 WIB. Film pendek yang pertama mengisahkan tentang ritual ruwatan yang dilakukan untuk menyembuhkan penyakit buta yang diderita oleh seorang wanita paruh baya beranak satu. Penyakit buta yang diderita oleh wanita tersebut diduga tidak disebabkan oleh faktor fisik, melainkan “guna-guna” dari orang yang tidak menyukainya dan menginginkannya untuk tetap sakit. Ruwatan ini mengaburkan makna sakit fisik yang menjadi kesialan yang harus segera disembuhkan secara spiritual. Ruwatan di sini digambarkan sebagai suatu solusi atas penyakit fisik yang diderita seseorang, melalui penggambaran banyaknya botol air mineral yang habis menunjukkan bagaimana bahkan seseorang memaknai ruwatan sebagai sesuatu yang memang sakral dan manjur untuk kesembuhan.


Beranjak ke film kedua yang menceritakan tentang seorang pria yang terlilit banyak hutang untuk membiayai pengobatan istrinya karena sakit lumpuh. Kisah ini digambarkan melalui alur maju mundur oleh sang suami melalui puisinya. Sang suami begitu menyayangi istrinya, bahkan saat istrinya mati terbunuh oleh pistol milik penagih hutang, sang suami tetap setia di samping sang istri dan menangisi kepergiannya yang naas. Polisi yang menggerebek tempat lokasi pembunuhan istri tersebut mengamankan sang suami untuk akhirnya di penjara karena segala bukti pembunuhan mengarah pada sang suami. Di penjara suami tersebur membacakan puisinya kepada Tuhan, bagaimana anggapannya tentang Tuhan yang dengan tidak adil telah mengambil istri kesayangannya padahal ia telah berusaha mencari pengobatan kemana-mana, selain itu juga tentang keterpurukannya yang harus menerima nasib hidup di penjara atas sesuatu hal yang bahkan tidak ia lakukan. Namun, seiring berjalannya waktu akhirnya pembunuh yang sebenarnya tertangkap dan menerima hukuman mati dari aparat keamanan. Suami tersebut pun bebas dan untuk pertama kalinya ia bisa mengunjungi makam sang istri untuk memberikan bunga dan koran yang berisi berita mengenai pembunuhan yang sebenarnya. Kisah ini menunjukkan bagaimana kontruksi sosial masyarakat yang percaya bahwa kehidupan telah ada yang mengatur dan sang suami bisa dengan ikhlas melepas kepergian sang istri karena kepercayaan bahwa di sana (dunia lain) sang istri telah tenang, bahagia, dan tidak sakit-sakitan lagi.


Film ketiga dari pemutaran ini kemudian menceritakan terkait hubungan antara anak dan bapak yang saling menyayangi. Sang anak yang digambarkan autis membuat sang bapak untuk setiap malam ke samping sungai memberikan sesaji dan mandi tanah dengan tujuan agar anaknya bisa menjadi anak-anak yang normal tanpa gangguan autis tersebut. Sembari bermain kapal-kapalan sang anak tersebut juga senantiasa menemani Bapaknya ketika harus merapalkan doa-doa di pinggiran sungai. Suatu ketika keajaiban datang dan sang anak akhirnya sembuh dari penyakit autisnya. Sang bapak pun bahagia bukan main dan menuruti segala keinginan anaknya. Hingga suatu hari anaknya menghilang selama beberapa hari, dan sang bapak berusaha mencari anaknya kemana-mana sembari setiap malam pergi ke sungai untuk merapalkan doa-doa kepada makhluk ghaib yang ia percaya dapat mengembalikan anaknya. Kemudian anak dari bapak tersebut tiba-tiba muncul dari tengah sungai dan memanggil bapaknya, sang bapak kemudian memeluk anaknya untuk akhirnya diajak pulang bersama, namun sang anak tidak mau dan menolak permintaan bapaknya. Esok harinya ketika bapak tersebut pergi ke sungai, ia tidak lagi menemukan keberadaan anaknya disana, ia kemudian berusaha mencari anaknya kembali dan tiba-tiba anaknya muncul di belakangnya. Hal ini berlangsung beberapa kali hingga pada akhirnya, anak tersebut tidak lagi muncul maupun ditemukan, sang bapak yang putus asa memutuskan untuk menguburkan dirinya sendiri ke tanah depan rumahnya. Anak sang bapak yang autis kemudian berusaha mencari bapaknya dan menggali tanah kubur yang dibuat bapaknya sendiri. Akhirnya sang bapak dan anaknya dipertemukan kembali dalam keadaan sang anak yang tetap autis. Hal ini menunjukkan bagaimana kepercayaan seseorang yang begitu fanatik bisa begitu mengaburkan pandangannya terhadap dunia sekitar dan menjadikan sebagai pelarian atas kehidupan yang tidak sesuai dengan harapan.


Film terakhir dalam pemutaran film kali ini menceritakan tentang seorang anak laki-laki yang terserang demam tinggi. Dengan latar pedesaan yang begitu kental, awalnya kedua orang tua anak ini hanya membaringkan anaknya dan mengompresnya. Hingga ketika anaknya tidak kunjung sembuh, sang ibu pun panik karena merasakan suhu tubuh anaknya semakin panas. Ia pun menyuruh salah satu tetangganya untuk memanggil suaminya yang sedang ada di sawah. Ketika sang suami telah datang, sang ibu segera menyuruh suaminya untuk memanggil kyai dan membawanya ke rumah. Dengan tergesa-gesa bapak tersebut pergi ke rumah kyai dan melewati puskesmas desa yang terlihat sangat sepi. Setelah menjemput kyai tersebut ke rumah, kyai menyuruh bapak-ibu tersebut untuk membopong anaknya ke luar ruangan dan membaringkannya di tanah. Kyai tersebut kemudian merapalkan doa-doa kepada sang pencipta dan menuankan air seember pada anak tersebut. Beberapa menit kemudian sang anak yang disiram air tersebut terbangun, dan kedua orang tua tersebut langsung memeluk anaknya serta berterima kasih kepada kyai yang dianggap telah menyembuhkan anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kita masih sangat kental kepercayaannya terhadap sesuatu hal yang berbau ruhaniyah dan menyangkut-pautkannya dengan penyembuhan secara gaib.



Penjelasan cerita dari film yang kami lihat di atas memberikan pengantar makna terhadap karya seni yang coba dibangun oleh kurator dalam instalansi. Dari berbagai pengamatan kami pun interpretasi terhadap seni yang dipajang serta film yang diputar menunjukkan bagaimana kontruksi sosial masyarakat Asia memiliki kemiripan di beberapa sektor kehidupan. Baik melalui kepercayaan terhadap kekuatan di luar pengamatan tak kasat mata manusia, identitas sosial yang ditemukan, dan proses penyelesaian masalah yang dikemas dalam sesuatu hal yang masih menanamkan nilai-nilai leluhur. Hal ini pula yang kemudian mendorong para seniman untuk mengabadikannya dalam sebuah karya seni. Melalui penataannya yang begitu epic juga mampu membangun jalinan cerita antar masyarakat yang sebenarnya dipisahkan dengan batasan teritorial namun tetap memiliki hubungan budaya yang saling bertautan.

4 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page