top of page
Search

MENGKRITIK RIDWAN SAIDI

Updated: Nov 22, 2019

Dalam berbagai media, nama Ridwan Saidi kerap kali muncul terkait dengan beberapa pernyataannya yang mengundang perhatian masyarakat. Dalam berbagai kemunculannya di media itu, ia dideskripsikan sebagai seorang sejarawan dan budayawan Betawi. Sejauh yang saya telusuri, ia memang orang Betawi. Ia lahir di Jakarta, 2 Juli 1942 dan merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.


Ridwan pernah menjadi anggota DPR dari PPP pada tahun 1977. Selepas menjabat anggota DPR pada tahun 1987, dia tidak aktif lagi dalam dunia perpolitikan nasional. Ia memfokuskan diri mengamati masalah-masalah kebudayaan Betawi. Dia memilih terjun kembali di dunia politik pada tahun 1995-2003 dengan mendirikan Partai Masyumi Baru (PMB), sekaligus menjadikan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Masyumi Baru, pada saat itu. Ia telah menulis beberapa buku, di antaranya Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya (1997), Sejarah Tangerang Selatan (2016), dan Rekonstruksi Sejarah Indonesia (2018).

Ridwan Saidi (sumber: gatra.com)

Ridwan Saidi kerap melontarkan pernyataan-pernyataan yang kontroversial dan menyita perhatian publik. Pernyataan terakhirnya – hingga tulisan ini dibuat, yang membuat banyak kalangan marah adalah pernyataannya yang menyebut bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara tidak pernah ada. Pernyataan ini muncul dalam kesempatan wawancaranya yang diunggah di akun Youtube “Macan Idealis” yang dipandu oleh Vasco Ruseimy pada awal September 2019 ini. Dalam video tersebut, ia mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara itu fiktif. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Sriwijaya bukanlah suatu kerajaan melainkan hanya sekelompok bajak laut. Ia juga menyatakan bahwa Prasasti Kedukan Bukit bukan berbahasa Melayu Kuno melainkan berbahasa Armenia, sehingga selama ini para pakar sejarah yang mengatakan bahwa prasasti tersebut adalah berbahasa Melayu Kuno telah salah menerjemahkan isi prasasti tersebut.


Saya bukan sejarawan, sehingga saya tidak bisa menyangkal pernyataannya seorang diri. Namun demikian, agaknya saya perlu menghadirkan gambaran betapa analisis-analisis Ridwan Saidi banyak yang meleset sehingga ia juga kerap melontarkan pernyataan yang tidak bisa dicerna oleh logika dan melawan fakta. Saya berhasil menemukan sebuah pembedahan atas pernyataannya bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Tarumanegara itu fiktif yang ditulis oleh media Detiknews (selengkapnya dapat diakses di https://news.detik.com/berita/d-4686377/membedah-pernyataan-ridwan-saidi-sriwijaya-dan-tarumanegara-fiktif?single=1). Pada tulisan ini saya cantumkan sebagian yang penting saja.


Di sana disebutkan bahwa Ridwan Saidi mengatakan, ”Orang ingin membuktikan bahwa itu adalah riil, ya (keberadaan Kerajaan Sriwijaya), tapi dia nggak bisa buktikan sampai gini hari. Jejaknya nggak ada. Lalu dia buat lah lukisan-lukisan seolah-olah Kerajaan Sriwijaya di pinggir Sungai Musi. Kagak ada.” Faktanya, Artefak-artefak peninggalan Kerajaan Sriwijaya benar-benar ada. Di Museum Sultan Mahmud Badaruddin II Palembang terdapat Arca Ganesha setinggi 175 cm. Pernah pula ditemukan di daerah 35 Ilir Kota Palembang, yakni Prasasti Kedukan Bukit, memuat Bahasa Melayu Kuno. Ada pula Prasasti Talang Tuo yang dibuat tahun 684 M, ditemukan di sebelah barat Kota Palembang tahun 1920. Candi Muaro Jambi juga merupakan peninggalan Sriwijaya.


Mengenai Tarumanegara, ia mengatakan, “Tarumanegara, yes fiktif, fiktif berat. Itu adalah kesalahan arkeolog terutama Poerbatjaraka yang dianggap mbah-nya arkeolog. Dia mengira prasasti-prasasti yang ada di Jawa bagian barat, Jakarta saya masukkan Jawa bagian barat, dan Jawa Tengah itu berbahasa Sanskerta dan beraksara Palawa. Dia salah. Itu adalah berbahasa Hindi-Khmer. Jadi tebak-tebakan Poerbatjaraka ngawur sama sekali ketika dia menterjamahkan Prasasti Sukapura, Tanjung Priok.” Ridwan Saidi menyebut prasasti yang ditemukan di Tanjung Priok Jakarta sebagai Prasasti Sukapura. Padahal, prasasti yang ditemukan di Tanjung Priok bernama Prasasti Tugu. Prasasti ini dipahat pada batu andesit berbentuk bulat telur dengan tinggi 1 meter. Tulisan pada prasasti ini berjumlah lima baris, beraksara Pallawa, berbahasa Sansekerta. Prasasti ini berasal dari pertengahan Abad V Masehi.

Pernyataan-pernyataannya yang semacam itu tentu membuat masyarakat resah. Para pakar juga kerap merasa dongkol dan terganggu dengan pernyataan-pernyataannya itu. Bahkan, hampir setiap kali ia mengeluarkan pernyataan, setelahnya ada saja pihak yang melaporkannya ke pihak kepolisian. Artinya, perbuatannya telah benar-benar meresahkan masyarakat luas karena dapat mengaburkan fakta dan sejarah yang ada. Untuk kasusnya yang terakhir ini, sudah ada pihak-pihak yang berencana membawa kasusnya ke pihak kepolisian.


Di dalam prasasti itu beberapa kali disebut nama “Tarumanegara” sebagai suatu kerajaan.

Masih banyak hal yang bisa digunakan untuk menyangkal pernyataannya itu dan sebenarnya juga masih banyak pernyataan-pernyataannya yang lain yang bisa saya katakan sebagai menyesatkan dan ngawur. Namun semua itu tidak perlu saya paparkan di sini dan apa yang ada di atas sekali lagi hanya sebagai gambaran saja betapa ia kerap kali sembarangan dalam berwacana dan selip dalam berpikir. Saya menduga beberapa hal yang terjadi pada dirinya sehingga ia bisa menghasilkan pernyataan-pernyataan semacam itu.


Saya menduga ia berasumsi dari hasil mempelajari berbagai hal secara sepotong-sepotong, sehingga ia tidak mendapatkan kelengkapan informasi dan konteks dari informasi tersebut. Akibatnya, ia tidak bisa memahami unsur-unsur yang terlibat dalam suatu peristiwa secara benar, runtut, dan tepat. Ia tidak bisa menyatakan rangkaian peristiwa yang masuk akal ketika dihubungkan dan dibandingkan ke fakta sejarah yang telah ada atau selama ini diyakini banyak orang, untuk menyanggah fakta sejarah tersebut. Misalnya, ketika ia menyebut ada bahasa Armenia di Prasasti Kedukan Bukit sedangkan tidak ada bukti sejarah kedatangan bangsa Armenia ke Indonesia ataupun hubungan masyarakat Nusantara dengan masyarakat Armenia, dan ia juga tidak bisa menjelaskan hal tersebut secara masuk akal.


Saya juga menilai ia tidak punya etika dan unggah-ungguh. Misalnya mengenai pendapatnya bahwa Kerajaan Sriwijaya itu fiktif. Kalau memang menurutnya begitu, ia bisa katakan hal itu dengan cara lain, bahwa ia memiliki pendapat lain bahwa Kerajaan Sriwijaya itu diindikasikan bukan kerajaan melainkan sebuah kelompok bajak laut, dan lain sebagainya. Dengan langsung mengatakan itu fiktif, ia seolah-olah telah mencapai suatu tahap final dari suatu riset, di mana ia menganggap hal itu sebagai suatu kebenaran, padahal belum tentu benar. Sejarawan – bahkan kita semua, saya kira tidak dapat memutuskan kebenaran suatu rangkaian terjadinya sesuatu, melainkan kita hanya bisa menduga berdasarkan analisis yang paling logis terhadap terjadinya sesuatu, apalagi terhadap suatu hal yang telah terjadi sangat lampau.


Saya tidak berniat untuk menyingkirkan kemungkinan bahwa di suatu saat bisa saja terjadi suatu penemuan fakta baru mengenai suatu peristiwa sejarah yang telah kita yakini peristiwanya dalam waktu yang lama, kemudian membuat sejarah itu berubah. Akan tetapi, apabila pernyataan itu muncul secara tiba-tiba tanpa ada jejak penelitian tertulis dan kesannya muncul sebagai pendapat, serta keluar dari seseorang yang reputasinya dikenal kurang baik: tidak beretika, selalu melawan fakta, selalu melawan pernyataan banyak pakar, dan menyatakan sesuatu yang tanpa bukti penelitian yang sah, apakah kita pantas untuk langsung begitu saja percaya? Saya kira tidak.


Selain itu, pendapatnya terkait Sriwijaya dan Tarumanegara serta pernyataan-pernyataanya yang lain yang selama ini selalu menuai kecaman itu apabila ia sampaikan di ruang pribadi atau ruang diskusi yang sifatnya tidak umum, tentu tidak masalah. Tetapi apabila itu disampaikan di ruang publik atau di media secara terbuka tentu tidak tepat dan hasilnya seperti yang kita lihat sekarang ini.


Menurut hemat saya, manusia adalah sumber ide dan gagasan yang utama. Dari gagasannya itu, dengan menggunakan akalnya manusia menciptakan berbagai hal dan perilaku, yakni budaya. Wujud dari budaya di antaranya adalah etika. Saya mendeskripsikan etika sebagai nilai-nilai yang menjadi pedoman manusia dalam mengatur tingkah laku dan dalam menilai dirinya kembali (mengevaluasi diri) dalam hal hubungannya dengan lingkungannya. Etika berisi tatanan-tatanan dan standar perilaku manusia. Karena itulah saya menyebut bahwa budaya berkaitan erat dengan etika dan seharusnya budayawan adalah juga merupakan orang yang benar-benar paham dengan etika dan menjadi orang-orang yang bisa menerapkan etika secara tepat. Termasuk ketika ia akan meneliti sesuatu ia juga harus paham dan melaksanakan penelitian secara benar dan menurut kaidah-kaidah ilmiah serta etika penelitian. Ia melaksanakan metode ilmiah dan kerangka berfikir yang logis dengan landasan teori serta pembuktian yang kuat, sehingga setiap statement yang disampaikan senantiasa konsisten, kontekstual, dan ilmiah.


Menurut saya, Ridwan Saidi tidak pas bila disebut budayawan dan sejarawan. Ia lebih pas menjadi pengarang atau penulis cerita karena dengan demikian ia dapat menulis apa yang ia mau sesuka hati. Atau apabila tetap menjadi sejarawan atau budayawan, ya, cukup sejarawan dan budayawan Betawi saja. Daripada ia membahas bermacam-macam sejarah dan budaya yang lain dan justru menyakiti hati orang.



*Referensi:

· Artikel Berita Detiknews “Membedah Pernyataan Ridwan Saidi 'Sriwijaya dan Tarumanegara Fiktif'”, diakses 8 Oktober 2019.

· Video Youtube akun Macan Idealis “GEGER !! Terbongkar Ternyata Sriwijaya Hanyalah Bajak Laut, dan Banyak Kerajaan Fiktif di Indonesia”, diakses 8 Oktober 2019.

����r׆�

47 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page