top of page
Search
  • Writer's pictureInaka

Menertawakan Dunia Kerja ala Generasi Y Bersama Anas Hamzah

Mimpi dan uang yang harus sejalan.




 

Oleh: Inaka Salsabilah K & Vika Indah P


Sore hari ketika langit baru saja berganti menjadi semburat ungu, di balik pilar-pilar bangunan tua bergaya kolonial Taman Budaya Yogyakarta, kami bertemu dan melakukan obrolan ringan dengan Anas, seorang manager komunikasi di FFD (Festival Film Dokumenter). Poni tengah dengan potongan tanggungnya itu memang agak nyeleneh, membuatnya terlihat seperti bocah yang lucu. Tetapi, di balik itu, Anas merupakan seorang individu dewasa yang merepresentasikan kegelisahan yang sama di Generasi Y--dunia kerja. Dengan kacamata frame bening yang ia gunakan, pandangan cemerlang saat menatap kami, juga gerak-geriknya yang sigap dan tangkas membuat kami percaya bahwa orang ini memang siap untuk bekerja.


Statusnya sebagai seorang mahasiswa aktif di Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada tidak menjadi penghambat bagi seorang Anas untuk terus berkarya. Di samping kesibukannya sebagai seorang mahasiswa tingkat akhir, Anas merupakan pekerja full time di sebuah agensi digital Jogja. Selain itu, perannya di Festival Film Dokumenter pun terbilang tak bisa diremehkan. Anas adalah salah satu petinggi di festival ini dalam memegang setir kemudi bagian jaringan komunikasi. Terakhir, ia juga menyambi menjadi seorang freelancer dengan jam terbang cukup tinggi di kalangannya. Di usianya yang masih belia, kami cukup terperangah karena ia memiliki fokus orientasi di perihal pekerjaan. Padahal, orang-orang yang biasa kami temui pada usia yang sama dengan Anas, seringnya hanya menghabiskan kopi susu di kafe-kafe ternama. Kuotasi Jokowi yang berbunyi “Kerja, kerja, dan kerja” telah menjadi salah satu bagian dari dirinya.


Agak lucu sebenarnya, kami tahu Anas dari seorang teman baik kami yang menceritakan bahwa Anas menjadi seorang persona di twitter dengan cuitan-cuitan yang seakan “gila kerja” untuk menertawakan segalanya, sekaligus menjadi sebuah langkah untuk memberikan kritiknya terhadap lingkungan di sekitarnya tentang kehidupan pekerja. Slogan “kerja” yang digadang-gadang Jokowi katanya mampu memenuhi kebutuhan primer pekerjanya, kenyataanya justru sangat jauh dari harapan. Sebagai contoh, ia menuturkan dengan tawa getir, bahwa bagi seorang pekerja muda, membeli properti diperlukan waktu untuk menabung selama belasan tahun, baru mereka bisa memiliki huniannya sendiri.


“Aku selalu sulit untuk menjawab pertanyaan ‘asal kamu dari mana’,” sekiranya itulah yang ia katakan dalam awal pembicaraan kami. Maklum saja, ia besar di Bogor dan lulus SMA di Solo, sebelum akhirnya merantau ke Jogja untuk menjadi seorang mahasiswa. Pembawaannya yang santai dan supel membuat kami tidak sungkan ketika harus bertanya wara-wiri mengenai kehidupan pribadinya. Sesekali perhatian dalam obrolan ini teralihkan oleh orang-orang yang bersliweran kesana-kemari dan juga oleh ulah seekor kucing berwarna oranye yang tak henti-hentinya mengeong dengan lantangnya. Kami pun pindah lokasi ke tempat yang agak sepi dan Anas menunjukkan tempatnya. Jalannya sungguh cepat, seakan-akan waktu terus memburunya.


Hari ini kami mengobrol terkait kegelisahan dan lika-liku kami sebagai para pemudi yang sebentar lagi akan memasuki dunia kerja. Disini, kami juga berefleksi sebagai kumpulan kecil dari Generasi Y dan membicarakan pandangan kami terhadap dunia kerja itu sendiri. Menurut literatur, rentang zaman Generasi Y berbeda-beda. Ada yang menyebutkan bahwa generasi ini adalah orang-orang yang lahir pada tahun 1977-1981, tetapi lebih banyak yang mengatakan bahwa Generasi Y merupakan individu yang lahir di tahun 1994-2002 (CRS 2008; Erickson 2008; Karefalk, Petterssen and Zhu 2007; Hagevik 1999; Robert Half International 2008; The New Strategist 2006 dalam Generation Y in The Workplace 2009).


“Generasi kita itu ada ketakutan tersendiri, yaitu takut kalau kita sampai menjadi sama seperti orang tua kita,” jelas Anas dengan mata agak menerawang. “Jadi, kita berusaha agar tidak terjebak di pekerjaan yang sama seperti orang tua kita,” lanjutnya, “cara kita bekerja, cara kita mengurus hutang, kita tidak ingin sama dengan mereka.”



Kami belum mengkaji secara lebih mendalam mengapa Generasi Y bisa memiliki etos kerja yang seperti ini. Kalau kata Anas, karena kita hidup di era vigital atau realita digital. Tetapi, ada juga pandangan bahwa adanya faktor demografi khususnya kesamaan tahun kelahiran dan faktor sosiologis khususnya adalah kejadian – kejadian yang historis. (Caspi & Roberts 2001; Caspi et.al 2005 dalam Surya 2016)


“Di zaman sekarang ini nih, kita bakal susah untuk memenuhi kebutuhan primer kita. Kalau kita kerja, ya pasti cuma salah satu atau maksimal salah dua terpenuhi. Misalnya, kalau kita mau beli rumah pasti nabung bertahun-tahun, nggak ada anggaran untuk baju trendy atau makanan kekinian. Kalau kita jajan terus, ya rumah nggak kebeli-beli. Lihat aja UMR di Jogja sekarang berapa? Dua juta, ya? Sedangkan tanah di Jogja berapa tuh,” cerocos Anas dengan senyum miring, menampakkan kegetiran.


Menurut kami, Anas cukup bisa mendobrak stigma tentang Generasi Y yang manja dan seenaknya sendiri (Heathfield 2018). Hal itu terlihat dari hal-hal kecil yang ia tampilkan, seperti menawarkan bungkus rokoknya saat ia akan menyulut sebatang, juga mohon izin untuk merokok di dekat kami yang notabene adalah perokok pasif. Saat kami berbagi cokelat untuk dinikmati sambi mengobrol, Anas mengucapkan terima kasih dengan sungguh-sungguh. Pemuda ini jauh dari kata seenaknya sendiri, dia pribadi yang sungguh sopan.

Anas mengatakan bahwa, karena ia tidak memiliki banyak privilege, ia berjuang keras untuk menghidupi dirinya. “UKT-ku mahal, Bos!” ujarnya sambil tertawa.


Heathfield menjelaskan bahwa Generasi Y sering dilihat sebagai pekerja yang sok pintar dan merasa mereka layak untuk mendapatkan uang ataupun promosi yang cepat. Idealisme Generasi Y itu sangat tinggi dibandingkan generasi-generasi sebelumnya. Saat saya menanyakan pendapat Anas tentang itu, ia menjawab, “Benar sih. Tapi, idealisme orang itu terbentuk karena dua hal: antara dia nggak punya pengalaman kerja atau malah dia punya pengalaman kerja yang banyak.”


“Kayak gimana tuh?” kami bertanya, bingung.


“Ya, orang yang belum punya pengalaman kerja yang macam-macam pasti punya idealisme tinggi karena dia belum pernah ketemu dengan macam-macam orang. Sementara, idealisme seorang yang udah sering kerja itu karena terbentuk dari pertemuan dia dengan macam-macam orang itu juga.”


Brown, dkk. (2009) menuturkan bahwa Generasi Y lebih suka untuk bekerja jauh dari kantor karena mahirnya menggunakan teknologi. Tetapi, tidak begitu dengan Anas. Ia mengatakan bahwa dirinya itu adalah pekerja kantoran dan dia menyukai hal itu. Teman-teman sebayanya juga menganggap pandangannya aneh, terlebih karena Anas berkecimpung di dunia industri kreatif. Tetapi, proyeksi Anas mengenai kerja adalah sama dengan kantor. “Mungkin pengaruh lingkungan tempat aku tumbuh dan dibesarkan, ya, sehingga aku suka kerja kantor,” jelas Anas.


Percakapan dengan Anas membuat kami berdua benar-benar memikirkan kembali tentang tahap selanjutnya dalam hidup kami: kerja. Dengan segala kompetisi dan bermacam-macam orang yang akan kami temui kedepannya, semoga kami tetap dapat berkarya dengan hati yang tulus dan keikhlasan yang tidak pernah pupus.







Brown, Sky; Carter, Britt; Collins, Michael; Gallerson, Christopher; Giffin, Grady; Greer, Jon; Griffith, Ray; Johnson, Emily; Richardson, Kate. 2009. Generation Y in the Workplace.

Heathfield, Susan M. 2018. Working With Generation Y Employees. The Balance Careers. https://www.thebalancecareers.com/working-with-generation-y-1918724 accessed December 5th, 2019.

Putra, Yanuar Surya. 2016. Theoritical Review: Teori Peradaban Generasi. Among Makarti (9):18. https://jurnal.stieama.ac.id/index.php/ama/article/viewFile/142/133 accessed December 5th, 2019.

20 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page