top of page
Search

Menengahkan yang Pinggir Melalui Timur Merah Project

Oleh Annisa Tiara Putri dan Johanes De Brito Kidung Sakti Gemelio Danardono


Female nudity acap kali menjadi subjek dalam karya-karya seni. Tampaknya, ada sesuatu tentang kemolekan tubuh perempuan yang sejalan dengan estetika yang ditawarkan dalam karya seni. Berbagai karya yang mengandung female nudity ini seringkali ditampilkan melalui pameran-pameran seni, sehingga para pengunjung dapat dengan mudah mengakses konten yang konon, di Indonesia, masih tergolong tabu. Karya seni semacam ini dapat kita lihat dalam berbagai pameran seni yang hadir di Indonesia, salah satunya dan juga yang sedang berlangsung pada saat ini adalah pameran seni Biennale Jogja Equator #5.


Selama 8 tahun, Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) yang mengorganisasi acara ini telah menyelenggarakan lima kali pameran seni Biennale. Biennale Equator #1 dengan India, Biennale Equator #2 dengan negara-negara kawasan Arab, Biennale Equator #3 menggandeng Nigeria, dan Biennale Equator #4 menampilkan seniman-seniman dari Brazil. Pada 2019 ini, Biennale Equator #5 mencoba menggandeng negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Biennale Jogja Equator #5 2019 mengangkat tema "Do We Live in The Same PLAYGROUND?" yang menyentil persoalan “pinggiran” di Asia Tenggara dalam bentuk pameran seni. Acara ini berlangsung dari 20 Oktober 2019 - 30 November 2019 di beberapa tempat, yaitu Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Jogja National Museum (JNM), Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Kampung Pecinan Ketandan, dan Kampung Jogoyudan. Berlangsungnya Biennale Jogja di berbagai tempat ini memiliki range waktu yang berbeda, dari jam buka hingga tutup dan tenggang waktu berlangsungnya acara.


Wacana Pinggiran

Tepat pada hari Kamis, 7 November 2019 sekitaran pukul 19.10, kami datang ke Jogja National Museum (JNM) untuk hadir dalam event Biennale Jogja Equator #5 2019. Awalnya kami sangat penasaran bagaimana sebuah karya seni yang dibungkus dengan tema “pinggiran” itu bisa direalisasikan di tengah dunia yang modern ini. Saat sampai di sana, kami langsung disambut dengan sebuah karya seni yang berasal dari tumpukan sampah plastik yang sudah dipadatkan menjadi sebuah kubus yang ditumpuk-tumpuk hingga menjulang tinggi membentuk sebuah piramid.


Kami pun masuk ke dalam karya seni tersebut melalui salah satu sisinya yang menyediakan sebuah pintu. Terasa perbedaan yang jauh antara atmosfer ruang terbuka yang dari tadi kami rasakan dengan atmosfer di dalam ruangan karya seni tersebut, pengap dan baunya khas seperti sampah kering. Di dalam dinding ruangan-ruangan tersebut terdapat berbagai foto yang ditempel - menangkap wajah anak-anak kecil yang kurang beruntung. Dengan ruangan yang pengap serta hanya diterangi oleh satu lampu, kami pun langsung memiliki bayangan bahwa keadaan ini tidak jauh berbeda dengan tempat tinggal para anak-anak pinggiran yang nasibnya bisa dikatakan kurang beruntung bila dibandingkan dengan orang-orang yang mendapatkan tempat tinggal lebih layak.


Melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung putih yang berseberangan dengan karya tersebut, kami disambut oleh meja administrasi pengunjung yang dijaga oleh beberapa orang panitia. Sebelum benar-benar sampai ke meja itu, di dinding sebelah kanan kami dipaparkan daftar nama seniman-seniman yang terlibat dalam event Biennale Jogja Equator #5 2019 ini, sedangkan di sebelah kiri terdapat sekumpulan tulisan yang menjelaskan tentang tema yang diangkat. Dalam tulisan tersebut, pihak Biennale Jogja menyampaikan batas-batas atas pinggiran yang ingin mereka bawa.


Pinggiran yang mereka maksud adalah subjek-subjek yang seringkali masih diabaikan dalam wacana akademis, pembuatan kebijakan publik, serta wacana media. Menurut tulisan tersebut, maksud dari semua karya yang hadir dapat dipadatkan menjadi sebuah tema: “Do We Live in the Same PLAYGROUND?” Karya-karya tersebut kemudian menyentil pinggiran berupa permasalahan-permasalahan yang ada dalam ranah identitas yang mencakup gender, ras, dan agama; perburuhan; lingkungan; narasi kecil/alternatif; konflik sosial-politik; liminalitas; serta peminggiran praktik-praktik kesenian yang seringkali masih diabaikan.


Mengangguk-angguk kami membaca tulisan tersebut. Jelasnya, ia memberikan pandangan baru - bahwa pinggiran tak hanya terbatas pada garis-garis semu geografis antara pusat kota dan tepi kota saja, tetapi juga turut mencakup beberapa isu-isu sosial yang berkontribusi di dalam garis-garis tersebut. Kaki kami pun melangkah setelah menandatangani daftar hadir dan dihadapkan dengan senyum ramah panitia, serta tangan yang mengarahkan kami untuk melihat karya-karya yang ada lebih lanjut.


Setelah mengitari gedung dengan tiga lantai tersebut, impresi yang kami simpulkan adalah sebagai berikut: lantai pertama memberikan kami kesan gelap - seakan-akan instalasi yang hadir berisi tafsiran-tafsiran akan pinggiran dengan cara yang mengerikan. Lantai kedua merepresentasikan gejala-gejala sosial yang lebih ringan serta modern, dan dekat dengan kehidupan kami sehari-hari. Sedangkan lantai tiga membawa kesan ringan tetapi intens, karena karya-karya yang ditampilkan tampak sederhana namun memiliki makna yang menusuk. Salah satu karya yang menarik perhatian kami di lantai tersebut adalah Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland karya Citra Sasmita.


Menelisik Timur Merah Project

Sumber Foto: Dokumen Pribadi

Saat memasuki ruangan yang menampilkan karya seni dengan judul Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland karya Citra Sasmita ini, aroma yang muncul pertama kali adalah bau kunyit yang identik dengan jamu-jamuan. Aroma kunyit sangat menyengat dan mengisi segala penjuru ruangan. Kunyit tersebut digantung di beberapa sudut ruangan yang dikemas oleh kantong-kantong dan juga diletakkan di lantai dalam bentuk kumpulan huruf-huruf yang menghasilkan sebuah narasi cerita. Selain itu, ada beberapa lukisan yang dilukis di sebuah kain persegi panjang dan digantung secara melengkung di atas narasi yang ditulis menggunakan bubuk kunyit tersebut.


Di atas kain itu terlukis tubuh-tubuh telanjang dalam bermacam gaya dan tidak dalam bentuk biasa saja - ada beberapa gambar yang bahkan memperlihatkan seseorang dengan lima kepala serta perut yang mengeluarkan cabang. Secara sepintas, kami langsung mengasumsikan bahwa tubuh-tubuh telanjang yang dilukis di kain tersebut merupakan tubuh-tubuh perempuan. Rambut panjang, alat kelamin yang ditutup oleh sebuah hal yang berbentuk mahkota, perut membengkak dan diisi oleh sesuatu merupakan salah tiga dari beberapa aspek yang membuat kami berpendapat demikian.


Hal tersebut membuat kami bertanya-tanya: apa maksud dari lukisan tersebut? Mengapa mengangkat tubuh telanjang perempuan serta dilengkapi dengan hal-hal yang rasanya ‘janggal’? Apakah ada sesuatu hal lebih yang berusaha seniman sampaikan melalui gambar-gambar itu?


Setelah membaca deskripsi dari pembuat karya seni itu sendiri yang sudah panitia sediakan di sudut ruangan, serta dengan tambahan riset ala kadarnya melalui beberapa sumber dari internet, kami menafsirkan bahwa Citra Sasmita ingin mengangkat tema peran perempuan - menelisik maskulinitas dari perspektif lain. Tubuh telanjang perempuan yang dilukiskan tersebut tidak hanya sekadar merepresentasikan estetika, tetapi juga turut merepresentasikan pemberdayaan serta kekuatan perempuan.


Karya Citra Sasmita ini berfokus di Bali, melihat konteks yang ia sampaikan melalui deskripsi yang disediakan yaitu Kakawin di Bali. Meskipun begitu, peran perempuan yang berusaha disampaikan di sini tak hanya terbatas di Bali saja, tetapi juga berlaku di berbagai daerah lain. Perempuan sering kali diilustrasikan ‘kalah’ dengan peran laki-laki yang berkuasa. Penggambaran perempuan di dalam lukisan ini mungkin berperan untuk melawan dominasi laki-laki, memberikan penegasan bahwa perempuan juga memiliki peran yang signifikan dalam ranah kehidupan. Di sisi lain, melalui lukisan tersebut kami menangkap bahwa Citra Sasmita juga mencoba memperkenalkan sebuah seni lukis Kamasan (yang merupakan gaya lukis yang cukup tua dan sering digunakan untuk ritual di Bali) kepada orang-orang luar dari daerah Bali yang mungkin masih tidak familiar dengan seni lukis tersebut.


Dengan Biennale Jogja yang merupakan pameran seni tidak berbayar sehingga mudah diakses oleh banyak orang, serta melalui konteks-konteks yang sudah disebutkan di atas, Citra Sasmita berhasil menengahkan yang pinggir dan memperkenalkannya dengan masyarakat yang lebih luas, sesuai seperti judul yang kami angkat.


Melihat “Pinggiran” Lebih Dalam

Nyatanya, wacana pinggiran yang berusaha dibawa oleh para seniman di event Biennale Jogja dapat kami tangkap melalui pameran seni ini. Dengan tujuan awal yang membuka mata serta pikiran kami bahwa pinggiran memiliki banyak arti, tentunya, mendobrak pandangan sempit kami bahwa pinggiran terbatas pada garis-garis semu secara geografis saja. Ternyata konsep “pinggiran” juga meliputi tentang identitas (gender, ras, dan agama), konflik sosial-politik, dan berbagai aspek-aspek sosial lainnya. Salah satu representasi pinggiran dalam Biennale Jogja ini berusaha Citra Sasmita sampaikan melalui karyanya. Kami dapat menangkap maksud yang berusaha ia sampaikan - bahwa penting untuk melihat maskulinitas melalui perspektif baru. Wacana ini telah kami dengar berkali-kali, memang, kebanyakan melalui platform akademis. Tetapi, pengalaman kali ini memberikan kami alternatif baru dalam pembelajaran, yaitu melalui instalasi-instalasi seni.


Satu pertanyaan yang masih tinggal di kepala kami tentang karya Citra Sasmita tersebut: mengapa menggunakan kunyit dalam pembuatan karyanya?


Sumber:

73 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page