top of page
  • Black Instagram Icon

Menafsirkan Keadaan Orang Pinggiran Melalui Pameran Seni Biennale Jogja XV#5



Dunia seni adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia, baik secara sadar maupun tidak disadari sekalipun, sebuah seni mampu muncul tanpa dipikirkan. Seni datang dengan kemudahannya memengaruhi kehidupan manusia. Seni dan kesenian merupakan bukti adanya apresisasi terhadap suatu benda, tempat, peristiwa maupun suasana yang dikemas menggunakan unsur estetika dan sudut pandang yang berbeda dari masing-masing orang. Dalam konteks kesenian, strategi melihat luar atau dunia dalam wadah yang lebih proposional merupakan wacana yang alternatif untuk dikembangkan. Pameran seni merupakan wadah yang baik untuk menyampaikan bagaimana suatu hal atau keadaan dibangun untuk menyalurkan dengan baik, begitu juga bagi penikmat seni yang tentunya mampu merasakan adanya unsur seni yang dibawa tanpa harus merasa susah untuk membangun maksud dan tujuan awal adanya pameran seni.


Biennale Jogja XV mengangkat konteks pameran kesenian dengan melihat dunia seni yang diambil atas kondisi pandangan sekitar daerah katulistiwa, yaitu menguraikan pemahaman menganai kawasan yang berada di sekitaran garis katulistiwa salah satunya yaitu kawasan Asia Tenggara. Konsep Asia Tenggara menjadi suatu hal yang memang sengaja diambil untuk praktik keseharian masyarakat kontemporer yang kompleks, gagasan Asia Tenggara menjadi relevan ketika diposisikan sebagai inti untuk mengangkat tema besar yaitu “Pinggiran”.


Pinggiran diangkat untuk menggambarkan suatu tempat, subjek atau komunitas yang mencakup segala aspek keadaan ekonomi politik, yang dianggap diluar tema besar yaitu dengan pengambaran isu praktek kebijakan politik dan wacana media, serta masalah relasi kesenjangan kuasa. Sedangkan persoalan umum yang diangkat dalam pameran ini mencakup bagaimana subjek-subjek pinggiran sebagai salah satu sarana untuk memahami kondisi yang sedang dihadapi, bagaimana masyarakat yang seakan terbelah atas adanya kesenjangan kekuasaan dan kebijakan tertentu, sehingga dalam pameran ini tujuan utama yang disampaikan yaitu untuk melihat keadaan dari prespektif orang pinggiran melalui pameran karya seni yang dikemas dengan sedemikian rupa tanpa menghilangkan isu isu yang berdampingan di social kehidupan.


Sisi Menarik Pameran Seni Biennale

Atas dasar tugas yang sedang kami peroleh dan keingintahuan mengenai seni yang di tampilkan di pameran kami mengunjungi salah satu tempat yang menurut kami menarik Taman Budaya Yogyakarta adalah tempat pertama yang sengaja kami pilih untuk mengetahui bagaimana pameran seni Biennale menampilkan bentuk karya seninya dengan tema yang diangkat.. Taman Budaya Yogyakarta (TBY), yang sebelumnya memang asing bagi kami dan untuk pertama kalinya kami berkunjung, kami terkesima dengan keadaan tata ruang di TBY, dengan gedung dua lantai dan pada waktu itu juga terdapat dua event yang sedang diadakan dalam satu wilayah. Bagian bawah lantai pertama gedung yang sudah terihat dari kejauhan menggambarkan sedang ditampilkannya bentuk karya seni rupa, tatanan lampu serta dekorasi keadaan ruang yang menambah fokus dari keadaan di ruangan.


Bagian depan ruangan pameran terlihat dengan megahnya bentuk pameran yang sangat menarik, dibuat dengan bahan tripek atau semacam gambaran bahwa barang tersebut diambil dari kepemilikan yang sering dipakai oleh mayoritas orang pinggiran. Triplek ini menurut kami juga dapat diartikan sebagai suatu yang memiliki keadaan tipis dan mudah rapuh, dapat dijadikan sebagai tameng, penutup yang tidak bertahan lama. Bangunan pameran yang cukup besar ini di display dengan disandingkan unsur cahaya yang mendukung makna bangunan karya seni. Bangunan yang terlihat menggambarkan keadaan warna merah, oranye dan remang remang membangun suasana dari tatanan unsur cahaya yang dimaksud. Mungkin ini juga dapat diambil nilai bahwa keadaan orang pinggiran yang ungkapkan bahwa mereka berada di tempat yang tidak terlalu cerah dengan keadaan cahaya yang mewah, mereka hanya menggunakan lampu seadaanya atau bahkan hanya cahaya matahari dan rembulan saja.


Selain dari pandangan kami bangunan ini juga memiliki deskripsi bahwa karya seni digambarkan sebagai suatu bentuk keadaan usus dan perut. Dibuat dengan lekuk dan bentuk bentuk yang cukup unik, dan ternyata adalah gambaran usus. Gambaran usus ini diambil karena anggapan bahwa orang pinggiran yang selalu menyambung hidupnya hanya untuk kepentingan makan saja, mereka tidak sanggup memikirkan untuk hal lain selain mereka dapat makan dan berhubungan dengan perut mereka. Karya seni in i dibuat beberapa bagian dengan menempel pada atap-atap gedung dan merembet pada lantai gedung. Bagunan ini memang yang paling menarik menurut kami di pameran Taman Budaya Yogyakarta dan mungkin tidak hanya kami saja yang menganggapnya demikian.


Kesan pertama yang muncul ketika kami memasuki bagian ruang gedung pameran yaitu kami sama-sama merasakan bahwa seakan berada disuatu tempat yang remang-remang, mungkin hal ini lah yang memang dapat ditonjolkan untuk menunjukan bahwa tema yang diambil yaitu pinggiran berkaitan langsung dengan keadaan yang remang-remang. Selain itu bagian desain pameran yang dibuat tanpa mengubah keadaan bagian gedung yang ada juga menambah pemikiran kami bahwa suatu keadaan yang kontras terjadi ketika gambaran gambaran yang unik bagarang-barang seni yang digantungkan tanpa unsur pendukung yang kuat menyertainnya. Pada beberapa bagian yang didesain di dalam ruangan juga memberikan rasa penasaran apa maksud dari display pameran dengan tema yang diambil dan pengaruh yang dapat diartikan bagi penikmat seni.



Jogja National Museum adalah lokasi kedua Biennele Jogja XV yang kami kunjungi. Jogja National Museum ini terdiri dari 3 lantai, dimana setiap lantai menampung semua pameran hasil dari seniman-seniman yang menuliskan wacana khatulistiwa. Di JNM ini kami melihat banyak sekali hal-hal yang belum kami ketahui, dan di gambarkan dengan sebuah karya seni. Salah satunya karya seni yang menarik adalah karya dari Citra Sasmita yang berasal dari Denpasar, Bali yang mengangkat tema Timur Merah Project; The Embrace of My Motherland. Dalam karyanya ini Citra Sasmita mengajak kita untuk melihat betapa kakawin (sebuah bentuk syair dengan metrum yang berasal dari India) di Bali sulit untuk diposisikan sebagai teknik kanon seperti halnya di Jawa ataupun di daerah lainnya. Kalaupun ada narasi-narasi kanon, terutama babad (sejenis teks dari Jawa dan Bali yang berhubungan dengan sejarah) di Bali, ia tidak pernah lepas dari narasi kanon yang ada di Jawa. Teks kanon semacam itu lebih sebagai teks “plat merah” berwatak maskulin, dan lahir di lingkungan istana yang dalam pandangan Citra sekadar mengakomodir gagasan elit pria di istana.


Lima buah lukisan dipajang secara instalatif oleh Citra Sasmita ini dibuat dengan gaya dan bentuk Kamasan. Narasi-narasi di dalam lukisan Kamasan umumnya mengadopsi kisah Panji Malat dan juga kisah Mahabarata atau Rahmayana. Kisah ini banyak berkisah tentang hal-hal yang cukup relevan dengan kehidupan masyarakat di zaman modern ini seperti nilai-nilai kejujuran, kesetiaan, kesucian, keberanian, dan sebagainya. Inintinya di balik nuansa feodalnya, cerita Panji banyak menyajikan nilai-nilai spiritual, sosial, dan kultural yang masih sangat relevan dengan kehidpan zaman sekarang. Adapun teks yang ditulis dengan bubuk kunyit merupakan teks rekaan Citra sendiri yang dia aprosiasi dari beberapa Kakawin Bali.


Dalam karya Citra Sasmita ini, merekonstruksi cerita historis seperti narasi peperangan dan seksualitas yang biasanya ada di dalam lukisan Kamasan. Di dalam narasi yang telah dibuat oleh Citra Sasmita ini, keseluruhan tokoh yang dihadirkan dan yang menjadi pusat penceritaanya adalah perempuan, sehingga sisi heroik dan protagonis yang selama ini ditampilkan melalui perspektif maskulin, dapat dilihat ulang melalui perspektif yang berbeda. Hal ini menurut kami menjadi karya yang menarik perhatian ketika suatu seni diangkat dengan mengunakan isu tidak biasa ditampilkan oleh seniman lain, yaitu isu gender yang diungkapkan secara tidak langsung.


Refleksi

Berkunjung ke dua lokasi Biennele Jogja XV memberikan kami pengalaman menarik sekaligus menambah wawasan baru dengan melihat karya-karya seni yang telah ditampilkan di dua lokasi yang menggambarkan wacana khatulistiwa. Karya-karya seni yang ditampilkan dalam pameran Biennale itu mengajarkan kami berpikir kritis, dan juga berdialog dengan diri sendiri tentang karya seni yang ada. Di masing-masing karya seni yang di pajang mengandung nilai-nilai dan unsur-unsur yang berbeda yang mewakili suatu permasalahan dalam kehidupan. Seniman-seniman yang membuat karya seni memiliki satu tujuan permasalahan yang ada di kehidupan yang kemudian diekspresikan melalui karya seni yang telah mereka buat dengan sudut pandang mereka sendiri.


Mengingat Biennale mengundang seniman tidak dari satu negara atau mengundang kawasan disekitar khatulistiwa untuk bekerja sama, sehingga kami tidak hanya mendapatkaan ilmu dari satu negara saja melainkan kami mendapatkan ilmu dari beberapa negara, dan mengetahui permasalahan negara-negara tersebut. Berkunjung ke dua lokasi berbeda pameran Biennale, kami dapat merasakan perbedaan. Di mana lokasi pameran Biennale yang ada di TBY lebih kecil daripada di JNM, di TBY lokasi pameran Biennale hanya mencakup satu lantai saja yang berisi beberapa karya seni yang menarik. Suasana yang ada di TBY lebih sepi, pada saat kami berkunjung, kami hanya melihat segelintir orang yang berkunjung.


Sedangkan pada saat berkunjung ke JNM terdapat 3 lantai yang menampung hasil karya-karya seniman, berbeda dengan lokasi sebelumnya yang hanya memiliki 1 lantai. Di JNM kami melihat pengunjung cukup banyak daripada TBY. Karena JNM lebih banyak memajang karya-karya seni dari seniman dan memiliki tatanan yang rapi. Sehingga mudah bagi pengunjung untuk melihat dan mengambil foto karya seni tersebut.



Megawati Sukarno Putri 18/430864/SA/19479

Tanti Harisa Qur'ani 18/424770/SA/19142

 
 
 

Recent Posts

See All

Comentarios


HitamPutih.jpg

Thanks for submitting!

Department of Anthropology

Faculty of Cultural Sciences

Universitas Gadjah Mada

  • Black Facebook Icon
  • Black Instagram Icon
  • Black Pinterest Icon
  • Black Twitter Icon

2019 The Human Stories

bottom of page