Mejangeran di Tangan Amani Suha
- Kanaya Tyzha Anandya
- Dec 8, 2019
- 5 min read
Mejangeran, pada umumnya, adalah jenis tarian pergaulan, terutama bagi pemuda dan pemudi, yang sangat populer di Bali. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekitar 10 pasang pemuda dan pemudi. Selama tarian ini berlangsung, kelompok penari perempuan (janger) dan kelompok penari laki-laki (kecak) menari dan menyanyi secara bersahut-sahutan. Biasanya, lagu-lagu yang dinyanyikan bersifat gembira atau ceria sesuai dengan alam kehidupan mereka. Seperti yang kita tahu, Mejangeran atau Tari Janger ini biasanya diiringi tabuhan gamelan.
Namun, hal itu berbeda di tangan Amani Suha, atau lebih akrab disapa Suha, seorang Mahasiswi Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada. Suha membawakan Mejangeran ini bukan dalam bentuk sebuah tarian, melainkan dalam bentuk sebuah pementasan musik.
Kami bertemu dengan Suha pada Jumat, 29 November 2019 di Kantin Fakultas Ilmu Budaya UGM, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kansas (Kantin Sastra). Pada saat kami bertemu, suasana di kansas cukup ramai karena saat itu adalah waktu makan siang. Pada hari itu, Suha menggunakan kaos hitam dipadukan dengan celana jeans berwarna biru, menggunakan sepatu berwarna putih, dan dengan rambut yang diikat dengan gaya messy bun. Tidak lupa, Ia meletakkan kacamata dengan bingkai berwarna pink dan lensa berwarna coklat yang menjadi kacamata khasnya di kepala. Dan tentu saja, tas berukuran kecil yang Ia gantungkan di pundak kanannya.
Suha memiliki kulit sawo matang yang eksotis, rambut bergelombang, mata coklat, dan senyum manis yang membuat Ia terlihat sangat bersahabat. Suha memiliki suara yang melengking, tetapi sangat lembut. Setelah kami berkenalan sebentar, kami pun langsung bertanya-tanya tentang penampilan musik yang Ia beri judul “Mejangeran”, yang Ia tampilkan di sebuah kedai kopi di daerah Bantul pada Kamis, 28 November 2018.
Seperti yang kita tahu selama ini, kalangan muda yang peduli dan cinta pada kebudayaan tradisional hampir bisa dihitung dengan jari-jari kita. Hal itu tergambarkan dari kehidupan kita sehari-hari, di mana kebudayaan asing lebih mudah diterima dan dicerna oleh kalangan muda, baik dalam bentuk tarian hingga mode berpakaian. Lantas hal itu membangkitkan semangat dari Suha untuk memperkenalkan kembali kebudayaan tradisional, yaitu Mejangeran. Dari hasil diskusi bersama Suha, kami dapat mengetahui beberapa informasi yang sekiranya sangatlah penting dalam hal pelestarian Mejangeran ini.
Menurut Suha, awal mula dari keikutsertaannya dalam pelestarian budaya Mejangeran ini berasal dari kegiatannya selama berkuliah. Ia menjelaskan bahwa ide itu hadir ketika Ia sedang mengikuti kelas Dasar-dasar Ilmu Budaya di semester-semester awal perkuliahannya. Dalam kelas Dasar-dasar Ilmu Budaya ini, Suha mendapatkan tugas dari dosennya untuk datang ke acara Taur Agung.
Secara kebetulan, Suha datang bersama temannya, Putri. Putri sendiri adalah salah satu temannya yang beragama Hindu dan juga berasal dari Bali. Selama acara itu berlangsung, Suha mengatakan bahwa Ia menemukan suatu kegelisahan dari Putri, yang saat itu bertanya-tanya mengapa canang (sebuah wadah yang terbuat dari janur berisi berbagai jenis bunga di atasnya. Biasa digunakan sebagai sarana persembahan dalam upacara keagamaan Hindu) yang berada di acara itu tidak berwarna-warni seperti yang biasanya Ibunya Putri buat saat di Bali. Menurutnya, canang-canang itu mengalami perubahan yang tidak sesuai dengan canang yang biasanya temannya lihat selama di Bali. Canang itu sendiri pun tidak sesuai dengan arah mata angin dan merepresentasikan dewa-dewa apa saja yang sesuai dengan canangnya.
Selama acara itu juga, Suha merasa dirinya tidaklah berbeda dari orang-orang ataupun temannya yang hadir saat itu juga, meskipun dia merupakan keturunan Suku Jawa, dan bukan merupakan keturunan Etnis Bali ataupun beragama Hindu. Secara kebetulan, saat acara berlangsung, Indonesia sedang panas-panasnya mengenai masalah salah satu pejabat Ibukota yang terindikasi melakukan penistaan agama sehingga timbullah perpecahan diantara masyarakat Indonesia. Meskipun begitu, Suha tidak merasa bahwa Ia berbeda dengan umat Hindu yang menghadiri acara itu. Ia merasa bahwa mereka adalah keluarganya juga, dan makna dari doa yang disampaikan pun sama. Selain itu, sebagai orang yang berasal dari Suku Jawa, Suha merasa bahwa Ia ingin mempelajari budaya lain, yang kiranya berbeda sedikit dari kebudayaannya sendiri. Maka, hadirlah pemikiran bahwa Ia akan mempelajari budaya dari Bali.
Seiring berjalannya waktu dan tekat untuk mempelajari budaya Bali, Suha memutuskan untuk mengambil kelas Etnografi Wilayah Bali. Pada pembukaan suatu acara, Suha juga mengisi acara tersebut dengan menarikan salah satu tarian yang berasal dari Bali. Dari kegiatan itu, dia memiliki banyak kenalan. Salah satu teman dekatnya yang berasal dari Bali bernama Adi. Dalam pemikiran sederhananya, Suha merasa Adi akan sombong karena Adi sendiri bernama depan Ida Bagus, yang berarti Ia berasal dari keturunan golongan Brahmana (golongan atau kasta tertinggi dalam agama Hindu). Suha berpikir mungkin saja Adi merupakan orang yang fanatik mengenai agama dan kebudayaan yang dianutnya. Ternyata itu hanyalah pemikirannya saja. Adi sendiri, menurutnya, sangat ramah sehingga bisa diajak untuk jalan-jalan keliling Jogja, seperti di Sayyidan ataupun makan gudeg.
Saat ke Bali pun, Suha bertemu dengan keluarga Adi yang menurutnya sangat ramah. Ia juga memperhatikan setiap detail rumah keluarga Adi sesuai yang Ia pelajari di kelas Etnografi Wilayah Bali, seperti dapur yang berada di kelod, ada pura kecil di depan rumah (penunggu karang), dan sebagainya. Dalam kunjungan di Bali, Suha banyak bercerita dengan Adi mengenai masalah-masalah yang ada dibalik hingar-bingar Bali sendiri, seperti sampah yang sudah mulai tidak terkendali, reklamasi pantai, dan masih banyak lagi. Menurut Adi, salah satu masalah yang mengganggunya adalah masalah eksploitasi terhadap kebudayaan Bali sendiri, walaupun pada akhirnya Adi harus maklum karena itulah salah satu sumber pendapatan masyarakat Bali sendiri.
Setelah kembali dari kunjungannya ke Bali, Suha masih memikirkan mengenai masalah yang diceritakan oleh Adi. Secara kebetulan, Ia menemukan sebuah lagu dari sebuah kelompok Band yang berasal dari Bali yang bernama Emoni. Dari hal itu, timbullah suatu ide untuk mengemas budaya Janger ini menjadi lebih atraktif. Seperti yang kita tahu, lagu atau nyanyian dari Janger sendiri merupakan folk song atau lagu rakyat. Dalam pemikirannya, Suha ingin mengemas kebudayaan Janger ini dengan menambahkan pemahaman atau edukasi mengenai sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan), yang mana Ia menyederhanakan sustainable tourism yang dibuat oleh UNESCO, agar lebih mudah dipahami khalayak.
Selain itu, baru-baru ini juga terjadi kasus penghentian Piodalan (upacara peringatan berdirinya sebuah pura) yang terjadi di daerah Bantul. Hal ini membuat Suha sangat sedih. Melalui penampilan Mejangeran ini, Ia menginginkan orang-orang menyadari bahwa kita semua adalah saudara, kita semua adalah sama, dan kita semua memiliki hak-hak yang sama, terlepas dari agama apa yang kita anut, dari suku mana kita berasal, dari golongan mana kita berasal, dan semua perbedaan-perbedaan yang membedakan. Menurut Suha, hidup harmonis di dalam perbedaan akan lebih indah daripada menjadikan perbedaan itu sendiri sebagai senjata untuk memecah belah.
Pada akhir diskusi, Suha memberi insight tentang pemikirannya melestarikan kebudayaan yang berasal dari Bali ini. Menurutnya, kegiatan-kegiatan yang Ia lakukan untuk melestarikan Mejangeran ini berasal dari pemikirannya yang menganggap bahwa jika Ia tidak membantu dan memperkenalkan budaya Mejangeran ini, maka Ia merasa bahwa Ia adalah teman yang tidak berguna. Hal yang sampai saat ini menginspirasinya untuk tetap melestarikan budaya Mejangeran ini salah satunya berasal dari kebaikan teman-temannya yang selalu membantunya untuk menjadi lebih baik, seperti Adi. Segala bentuk dukungan dari teman-temannya membuat Suha merasa teranugerahi dan menjadi lebih kuat pada pribadinya.
Suha juga menambahkan bahwa selama persiapan pementasan musik Mejangeran ini, Ia merasa sangat senang melihat teman-temannya yang datang dari berbagai kelompok etnis dapat disatukan untuk membuat pementasan musik ini. Sebelum pementasan dimulai, salah satu temannya yang berasal dari Bali, mengajari teman-teman yang lainnya cara memakai pakaian adat Bali yang sederhana. Momen ini merupakan momen yang indah bagi Suha, melihat perbedaan latar belakang teman-temannya bisa menjadi satu dalam mempelajari kebudayaan dari suatu etnis tertentu. Suha melihat bahwa di dalam proses ini terjadi cross-culture dan cross-religion understanding. Ia berharap hal tersebut bisa menyebar ke masyarakat yang lebih luas.
Setelah selesai berdiskusi, salah satu dari kami, yaitu Prajna, menyanyikan lagu Janger bersama dengan Suha. Setelah bernyanyi, kami pun berpamitan dan kembali melakukan kegiatan masing-masing.
Jangi-janger sengsengin sengseng Janger
Sengsengin sengseng Janger
Serere Nyoman ngeyorin
Kelap-kelap ngalap bunga
Langsing lanjar pamulune nyandat gading
Ngiring mangkin mejangeran
Sariang ento rora roti
Arasijang jangi janger, arasijang jangi janger
Arasijang jangi janger, arasijang jangi janger
留言