top of page
Search

Makna Pinggiran dalam Bilik Nasional

Ditulis oleh Nugi Wibawa Putra & Della Ade Saputri


Pameran Biennale dari tahun ke tahun selalu menyajikan tema-tema yang unik dan anti-mainstream, seperti tahun ini Biennale Jogja XV 2019 mengusung tema “pinggiran” dimana terdapat tiga kelompok topik, yaitu isu, praktik hidup, serta subjek. Biennale lebih memilih untuk membicarakan tentang praktik seni di wilayah-wilayah yang selama ini tersebunyi dalam wacana urbanisme dan pembangunan pusat megapolitan, daripada praktik seni di wilayah pusat. Biennale berusaha menguraikan bagaimana negara-negara di kawasan Asia Tenggara berbagi permasalahan yang sama dengan kompleksitas persoalannya masing masing. Dari beberapa tempat yang menyelenggarakan pameran Biennale, Gedung PKKH UGM lebih menarik perhatian kami. Biennale Jogja XV di gedung PKKH UGM ini menciptakan sebuah inisiatif terbaru yang disebut sebagai “Bilik Nasional”. Kata “bilik” tidak hanya menegaskan distingsi, tetapi juga merujuk pada gagasan pinggiran sebagai tema dari pameran Biennale.


Edisi pertama bilik nasional 2019 di PKKH menampilkan dua negara yang sama-sama mempunyai relasi kuat‒secara historis maupun dari sisi sosial-budaya‒ dengan Asia Tenggara, yaitu Hong Kong dan Timor Leste. Setiap sudut pameran mengajak kami untuk melihat Hong Kong dan Timor Leste lebih dalam melalui sisi yang dikatakan sebagai “pinggiran” oleh setiap seniman. Awalnya belum terpikirkan “pinggiran” seperti apa yang coba ditampilkan oleh para seniman. Meskipun secara geografis Hong Kong lebih jauh dari Indonesia dibanding Timor Leste, kami seakan tidak pernah memikirkan apa dan bagaimana makna “pinggiran” di dua tempat tersebut.


Kesan Awal Mengenai Pameran

Pada hari Senin tanggal 11 November 2019, suasana sore dengan suhu udara di luar ruangan yang sangat panas tidak menghentikan niat kami berjalan menuju gedung PKKH UGM untuk menyaksikan pameran Biennale Jogja XV 2019 edisi Hong Kong dan Timor Leste. Gedung PPKH sendiri memiliki jarak yang sangat dekat dengan Fakultas Ilmu Budaya, sehingga kami memutuskan untuk berangkat seusai kelas. Jauh dari ekspektasi kami yang belum pernah mengunjungi gedung PKKH, kami mengira gedung pameran tidak begitu luas, tetapi saat melangkah ke dalam, kami sadar ruang pameran begitu luas dan cukup sekali untuk menampung banyak orang serta karya seni. Meskipun dalam wilayah kampus UGM, tidak banyak pengunjung yang datang, salah satu kemungkinan alasannya adalah gedung PKKH jauh dari venue yang lebih utama seperti Jogja National Museum serta Taman Budaya.


Saat memasuki area venue bukan suhu dingin yang kami rasakan, tetapi tetap suhu udara yang panas. Ruangan pameran di lantai satu didominasi oleh dinding berwarna putih dan coklat, sedangkan di lantai dua dindingnya berwarna putih. Kedatangan pengunjung pun disambut dengan suara dari alat musik shamisen yang dimainkan oleh Law Yuk Mui. Kami sangat menikmati musiknya karena nada yang dilantunkan mampu membawa kami seakan masuk dalam dimensi yang coba dibangun oleh kurator melalui karya-karya seni yang terpajang. Tata letak karya yang disesuaikan dengan keadaan ruang serta lampu-lampu menunjukkan sisi estetik tersendiri.


Di lantai pertama, kami disuguhkan dengan beberapa karya seni, baik foto, video wawancara, barang dari porselen, maupun lukisan tentang isu refugee dan migran, khususnya di Hong Kong. Secara keseluruhan kami menyimpulkan bahwa pameran di lantai 1 berusaha untuk merepresentasikan Hong Kong yang memiliki keragaman etnis bahkan masalah sosial akibat datangnya para migran. Sebagai kota diaspora yang semrawut karena gelombang migrasi yang tidak pernah berhenti dari dulu telah membuat Hong Kong mempertanyakan apa makna menjadi orang Hong Kong atau siapa yang berhak berbicara untuk Hong Kong.




Naik ke lantai 2, kami langsung disuguhkan beberapa karya seni yang menggambarkan Timor Leste dari sudut sosial-budaya masyarakat. Bilik ini mencoba mendefinisikan tema spesifiknya yaitu “Keyakinan dan budaya tradisi Manufahi Ki’ik”-Manufahi Ki’ik adalah sebuah kota kecil di daerah sub-district Soibada dan terletak di wilayah Barat Kabupaten Manatuto. Dari bilik Timor Leste, kami dapat menyimpulkan bahwa apa yang dikatakan “pinggiran” adalah mereka yang tergabung dalam kelompok masyarakat dan tinggal jauh dari pusat pemerintahan atau lebih dikenal di pedalaman Timor Leste. Masyarakat yang tinggal di “pinggiran” dapat melestarikan budaya tradisional mereka, dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mereka termasuk orang atau masyarakat “pinggiran”.


Deskripsi “pinggiran” dalam karya seni

Beberapa dokumentasi menunjukkan aktivitas migran serta permasalahan sosial-budaya di Hong Kong sebagai isu pinggiran yang dipilih Biennale, dalam hal ini utamanya terkait permasalahan sosial. Kami sempat mendengarkan sebuah audio berbahasa lokal lengkap dengan teks bantuan yang ada di layar, dari rekaman tersebut kami memahami bahwa kehidupan pekerjaan migran tidaklah mudah karena tinggal jauh dari keluarganya. Beralih dari audio, ada beberapa karya seni berupa porselen, setiap porselen terdapat narasi yang menjelaskan tentang kehidupan sosial masyarakat Hong Kong. Kami tertarik oleh empat potret Hong Kong berwarna hitam-putih yang diabadikan oleh Xyza Cruz Bacani pada tahun 2012 sampai 2014. Dia menggunakan ilmu fotografi untuk menarasikan realita. Selain tentang pekerja domestik, dia juga mengabadikan momen krusial di Hong Kong. Kemudian kostum Snow White beserta wig, video, dan foto penjelas terlihat mencolok di antara beberapa karya seni lainnya, tetapi kami masih mempertanyakan hubungan Snow White dengan isu pinggiran di bilik Hong Kong ini.


Bilik Timor Leste sendiri memberikan suatu visualisasi yang berbeda dari bilik Hong Kong karena kehidupan sosial budayanya menjadi fokus utama. Praktik hidup berupa ritus dalam masyarakat menjadi identitas “pinggiran”. Pada ruangan pameran, terdapat empat kain khas Timor Leste, dua di gantung pada dinding dan dua lainnya terlipat rapi di atas meja, setiap kain memiliki motif yang bervariasi sehingga terkesan unik dan memiliki tekstur agak sedikit kasar namun sangat hangat apabila dipakai. Pada dasarnya karya seni berupa lukisan dan foto lebih mendominasi, salah satu lukisannya yaitu tentang senjata tradisional khas dari Timor Leste bernama Surik, senjata yang memang secara umum dikenal dari pulau Timor. Foto-foto yang ditampilkan merupakan penjelasan urutan upacara adat di Manufahi Ki’ik. Tradisi tersebut telah diwariskan sejak nenek moyang ke generasi selanjutnya secara turun-temurun, tradisi dimulai dari persiapan perlengkapan upacara, pelaksanaan upacara adat, hingga puncak acara berupa hiburan seperti menyantap hidangan khas dan pertunjukkan tari tradisional. Diperlihatkan bahwa masyarakat turut berpartisipasi dalam mengikuti rangkaian tradisi.


Biennale XV 2019 di PKKH UGM sebagai salah satu edisi pertama bilik nasional 2019 yang dapat memperluas gagasan tentang Asia Tenggara melalui bantuan sudut pandang negara. Kesannya pameran Biennale Jogja terpisah, tetapi karya seninya tetap merujuk pada tema keseluruhan Biennale. Biennale di PPKH sendiri mengangkat isu pinggiran dari dua negara yaitu, Hong Kong dan Timor Leste. Dari Hong Kong, kami melihat lebih dekat terkait hubungan dengan Asia Tenggara melalui koneksi historis dan dalam isu pekerja domestik migran serta peristiwa sosial lainnya. Nyatanya, Hong Kong tak seperti apa yang kami bayangkan karena bangunan yang menjulang tinggi, kehidupan masyarakat yang modern, dengan kemajuan teknologi yang mendukung bukan hanya menjadi potret wajah Hong Kong, melainkan juga orang-orang yang termasuk dianggap “pinggiran”. Sedangkan di Timor leste memberi gambaran melalui beberapa dokumentasi kehidupan sosial budaya Timor Leste di wilayah-wilayah yang tak terjangkau atau disebut pinggiran. Masyarakat yang tinggal di Manufahi Ki’ik dapat melestarikan budaya tradisional mereka, dan ini menjadi salah satu indikasi bahwa mereka termasuk orang atau masyarakat “pinggiran”. Jadi, tema “pinggiran” yang diangkat Biennale di PKKH sebagai salah satu Bilik Nasional mempunyai definisi pinggiran yang berbeda, Hong Kong dilihat dari sisi isu migran, sedangkan Timor Leste dilihat dari sisi praktik hidupnya melalui ritus yang dijalankan hingga kini.

18 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page