top of page
Search

Lunturnya Geomancy di Joglo yang Diterpa Zaman

Keberuntungan kami dapat didefinisikan dari arah hadap rumah.


 

oleh Inaka Salsabilah Kartika & Vika Indah Permatasari


source: Dokumentasi Pribadi


Matahari sedang terik-teriknya saat kami menyambangi sebuah rumah krem berlantai dua dengan kusen berwarna cokelat tua di bilangan Condong Catur, Yogyakarta. Di penghujung tahun ini, kami mengajak seorang kawan baik untuk berbincang-bincang santai. Adalah pemuda dengan rambut setengah gondrong dengan poni tengah yang bernama Anggi Wismandaru, mahasiswa arsitektur semester tiga yang hobi bersepeda. Selain sebagai pemerhati lingkungan yang bersikeras untuk menyelamatkan penyu-penyu, Anggi juga sedang mendalami arsitektur joglo sebagai bangunan favoritnya saat ini.


Kami jatuh cinta kepada instalasi arsitektur hotel bambu yang dikerjakan oleh Yoshi Fajar untuk Biennale, sehingga kami ingin menelaah lebih dalam tentang dunia arsitektur--terlebih mengenai rumah joglo yang notabene sangat dekat dengan kami, dua orang Jawa yang dari lahir tinggal di Yogyakarta. Kami terdorong untuk membicarakan salah satu konsep papan, seperti yang dielu-elukan dalam filosofi kebutuhan dasar di hidup manusia. Papan atau bangunan tempat tinggal ternyata memiliki makna lebih dari sebuah ruang yang menaungi kita dari panas dan hujan, tetapi ada koneksi yang mendalam antara manusia dan bangunan yang ada. Bangunan dapat menjadi sesuatu yang ‘hidup’, layaknya sebuah gudang substansi kebudayaan leluhur yang turun temurun, juga sebagai bukti fisik pernah adanya suatu peradaban dari laki-laki dan perempuan (Buchli 2013).


Atas dasar keterperangahan kami ternyata bisa ada makna yang sangat dalam pada sebuah bangunan, kami pun mengobrol bersama Anggi untuk membahas arsitekturial joglo yang kemudian diterpa oleh zaman.



Geomancy Membuat Hidup Jadi Presisi



Budaya telah menghasilkan beragam bentuk karya termasuk di dalamnya berbagai macam peralatan, kuliner, busana, hingga bangunan. Dalam konsep warisan budaya Indonesia berbentuk bangunan, karena Indonesia tergolong ke dalam negara dengan tingkat keanekaragaman suku, bangsa, bahasa dan budaya yang cukup tinggi di dunia, maka rumah adat sebagai salah satu warisannya ini memiliki tingkat diversitas yang tinggi pula. Sebagai contoh yang kemudian juga menjadi fokus utama kami, yakni Joglo, bangunan tradisional Jawa yang khas dengan kayu sebagai material utamanya ini tersebar di beberapa daerah di Pulau Jawa, khususnya Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.


Setelah kami duduk di dingklik kecil, Anggi membuka topik yang kami usung dengan bercerita berbagai hal di balik seluk-beluk Joglo yang rupanya belum banyak diketahui publik. Menurutnya, ada pakem tertentu yang harus dipatuhi ketika ingin membangun Joglo.


Sekumpulan pakem itu sebenarnya merupakan bagian dari apa yang disebut Anggi dengan sebutan “geomancy,” Anggi memulai pembicaraan mengenai konsep ini saat kami bertiga duduk di bawah pohon rambutan sebelah rumahnya. Geomancy sendiri berarti metode interpretasi manusia terhadap suatu bangunan. Apakah kalian mengetahui tentang fengshui Cina? Itulah salah satu tipe geomancy. Anggi tidak tahu pasti apa yang disebut geomancy menurut perspektif dari budaya Jawa, tetapi geomancy-lah yang menyebabkan rumah joglo harus dibangun dari arah timur laut. “Kalau kata dosenku, nanti auranya nggak keluar kalau nggak sesuai pakem itu,” jelas Anggi.


Dengan adanya geomancy, para pemilik Joglo tidak boleh membangun tiang soko guru secara asal-asalan. Geomancy ini berkiblat pada Serat Centhini; yakni menjelaskan tentang bentuk-bentuk Joglo yang sesuai, ornamen-ornamennya, serta filosofi yang terkandung di dalamnya. Joglo yang akan kami bahas pakemnya menuju pada pakem Joglo rumah-rumah bangsawan.

Ada juga konsep langkung, berupa pembuatan pintu yang sengaja dibuat rendah agar seseorang yang masuk ke dalam ruangan itu bungkuk ke bawah serta menundukkan kepalanya. Setahu kami, pembuatan pintu rumah yang rendah juga adanya kayu yang menghalangi bawah pintu digunakan untuk mengajarkan orang agar dapat hormat kepada kelas sosial yang lebih tinggi--bisa jadi dari yang lebih muda ke tua, maupun dari yang jelata ke bangsawan.


Anggi menuturkan bahwasanya untuk dapat sesuai dengan geomancy, Joglo memiliki urutan ruang dengan konsep elevasi--dari rendah ke tinggi. Jika dilihat dari kertas denah, Joglo dibuat dari bawah ke atas. Artinya, bentuk bangunan Joglo menunjukkan hierarki terhadap status sosial pemilik rumah. Ruang paling depan, yaitu pendhapa merupakan bangunan paling rendah dari kompleks sebuah Joglo. Pendhapa yang merupakan sebuah ruangan terbuka tanpa dinding, diperuntukkan agar segala kelas sosial dari masyarakat dapat mengakses ruang ini. Ruangan ini merupakan bagian untuk menerima tamu yang belum begitu dikenal oleh sang pemilik rumah dan biasanya bermaksud untuk mendiskusikan sesuatu, semacam musyawarah--uniknya, proses ini seringkali dilakukan dengan cara lesehan (Sarmini & Basriyani 2018).


Setelah pendhapa, terdapat ruang bernama pringgitan yang dipisahkan oleh sebuah jalan. Jalan ini, dijelaskan oleh Anggi, berfungsi sebagai titik drop-offkendaraan berpenumpang. Kemudian, pringgitan dibangun untuk pagelaran wayang yang diadakan oleh sang pemilik rumah. Kami penasaran sebenarnya, mengapa para bangsawan berbaik hati menggelar wayang untuk rakyat? Sayangnya, sampai saat ini kami belum mendapatkan data literatur untuk menjelaskan hal tersebut.


Pringgitan merupakan akhir dari ruang Joglo yang bersifat publik. Selanjutnya, ruangan-ruangan yang ada di atas pringgitan dilindungi oleh dinding. Dinding itu harus terbuat dari kayu jati (Prihatmaji, Kitamori, & Komatsu 2015). Ruangan yang berdinding ini dibagi dua, yaitu ndhalem agung dan gandhok. Di ndhalem agung, ada tiga senthong (kamar) yang dibagi menjadi kamar tidur untuk pemilik rumah, disebut sebagai senthong kiwa; ruangan untuk menyimpan hasil panen atau senthong tengah; dan ruangan untuk menyimpan benda pusaka, dikenal sebagai senthong tengen. “Berarti tiap bangsawan punya benda pusaka?” tanya kami. “Itu saya kurang tahu,” jawab Anggi. Tetapi, dilansir dari Kumparan (12/18), biasanya memang ada pusaka yang diturunkan turun-temurun dan melahirkan tradisi jamasan pusaka, yakni mencuci pusaka di waktu tertentu.


Di ndhalem agung ini, ada elevasi lagi berupa panggung kecil yang memisahkan lantai dengan jalan masuk ke senthong. “Untuk melewatinya, tamu harus njengkang dan sungkem,” jelas Anggi sembari menggambarkan denah kasar sebuah rumah Joglo. Anggi tidak begitu tahu-menahu mengapa harus melakukan sesembahan dan kami tidak menemukan data literatur yang dapat mendukung hal tersebut. Tetapi, kami menafsirkan bahwasanya terdapat ruang senthong tengah yang berisi ruang persembahan untuk Dewi Sri karena hasil panen disimpan di ruangan tersebut. Bahkan, Anggi menuturkan, di ruangan tersebut juga terdapat kasur tetapi tidak pernah digunakan oleh pemilik rumah. Kasur tersebut dipersembahkan untuk bersemayamnya Dewi Sri Sang Dewi Kesuburan.


Ruangan terakhir yang bernama gandhok ini diletakkan di lokasi paling belakang karena ditujukan untuk hal-hal “kotor” dan berusaha disembunyikan dari publik; begitulah Anggi mengatakan sembari mengutip dengan dua jari lentiknya. Yang dimaksud adalah dapur, ruang makan, dan kamar mandi. Dapur disebut kotor karena biasanya dapur di zaman dahulu gelap dan ada bekas-bekas pembakaran tungku.


Saat salah satu dari kami, Akhe, menanyakan jikalau ada akses pintu dari gandhok ke luar rumah, Anggi menjawab tidak ada. Hal ini menggambarkan bahwasanya derajat tidak begitu dilihat dari jenis kelamin, tetapi dari status sosial individu. Lain halnya di Sumba, di mana ada pintu khusus wanita dari dapur karena menurut salah satu teman kami, Fikra, mereka menganggap bahwa wanita itu memiliki fungsi untuk memasak dan melakukan rewang lainnya.

Selain bentuk dan fungsi yang dituangkan di pembangunan Joglo, arah hadap ternyata juga menjadi krusial dalam geomancy ini.


“Rumah Joglo harus berorientasi utara-selatan. Depan rumah harus menghadap ke selatan. Kalau penafsiran saya, itu karena adanya Merapi di utara dan Pantai Selatan,” jelasnya. Menanggapi dari tafsiran Anggi, kami juga mendapat penjelasan logis. Menurut Sarmini & Nadiroh (2018), rumah harus menghadap selatan untuk berjaga-jaga jika adanya longsor dari gunung. Mereka menafsirkan hal tersebut setelah mengobrol dengan Pardjiyem (70 tahun), bahwasanya yang melanggar orientasi tersebut akan mendapatkan kesulitan dalam hidupnya.


“Selain bentuk bangunan itu sendiri, apakah ada pakem untuk desain pekarangannya?” kami bertanya pada Anggi. “Setahu saya sih tidak ada,” jelas Anggi. Padahal, setahu kami, rumah seorang bangsawan di Yogyakarta harus memiliki pohon sawo kecik. Pohon itu sebagai lambang kebaikan, sehingga diharapkan hal-hal baik akan datang untuk pemilik rumah.


Geomancy tidak hanya diperhatikan oleh bangsawan, tetapi juga rakyat biasa. Bedanya, karena keterbatasan uang dan derajat di kelas sosial membuat mereka tidak dapat membangun Joglo selengkap dan seluas para bangsawan tersebut, Biasanya, rumah Joglo yang dimiliki rakyat biasa tidak memiliki pendhapa dan hanya memiliki satu senthong yakni untuk menyimpan hasil panen. Mereka juga tidak memiliki pringgitan untuk menggelar acara wayang.




Modernisasi Zaman, Geomancy Dilupakan


Zaman yang makin modern tentu menyebabkan masyarakat mendambakan bentuk bangunan yang modern juga. Dinamika kondisi sosial-ekonomi di masyarakat menyebabkan Joglo tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan ruang mereka. “Kalau rumah Joglo sekarang itu kebanyakan jelas untuk trend aja,” sahut Anggi. Pembangunan mulai tidak sesuai dengan geomancy, baik dari pemilihan bahan baku, bentuk denah rumahnya, sampai arah hadap.


Anggi mengatakan bahwasanya rumah-rumah Joglo yang dibangun sekarang tergantung pemiliknya, seberapa banyak uang yang ingin ia sisihkan dalam pembuatan Joglo. Sekarang, makna geomancy pun tujuan utamanya untuk menyesuaikan tapak bangunan. Karena, sekarang lahan semakin terbatas sehingga tidak dapat membangun Joglo sesuai idealis tempo dulu.Tetapi, geomancy nampaknya tidak begitu diperhatikan lagi--yang terpenting adalah bentuk aestetik dan fungsi rumah tersebut dalam memenuhi standar hidup masyarakat modern. Simbol-simbol dan filosofi yang terkandung di dalam Joglo tidak lagi menjadi prioritas utama untuk dibangun. Orang-orang sekarang lebih senang dengan hal yang praktis.


Modifikasi yang terjadi, kata Anggi, biasanya terlihat dari atap yang bentuknya miring (setengah pelana). Tetapi, jika tidak dibangun tumpang sari maka bangunan itu tidak boleh disebut sebagai Joglo. Tumpang sari yang dibuat dari empat pilar (saka guru) itu merupakan pondasi penting dan model khas dari bentuk bangunan Joglo.


Sarmini & Nadiroh (2018) juga menjelaskan biasanya pendhapa sekarang digunakan menjadi ruang tamu di Joglo modern. Sekarang, senthong juga tidak lagi diperhatikan, tetapi bertransformasi menjadi kamar tidur sesuai jumlah anggota keluarga. Pringgitan sekarang juga dijadikan tempat ibadah, begitu pula senthong tengen yang dahulu menjadi tempat penyimpanan benda pusaka. Idham (2017) juga mendukung pernyataan Anggi mengenai keterbatasan lahan itu menyebabkan bentuk dan ukuran Joglo tidak dapat idealis seperti dahulu.


Menurut Idham, status ekonomi pemilik rumah Joglo modern bukan dilihat dari seberapa besar bangunan tersebut, tetapi dari kualitas bahan bakunya. Modifikasi yang terlihat saat ini biasanya terjadi menurut wilayahnya. Jika wilayah dekat gunung dan hutan, Joglo biasanya lebih tertutup dan beratap rendah agar di dalam rumah tidak terlalu dingin. Selanjutnya, Joglo yang ada di dataran rendah atau daerah urban biasanya memiliki atap tinggi, terbuat dari genteng merah, dan dinding-dindingnya tipis maupun sekat-sekatnya terbuka. Hal ini agar panas tidak menyeruak terlalu banyak ke dalam Joglo.


Tetapi, Prihatmaji, dkk. (2015) berkata kalau Joglo yang sekarang lebih rentan terkena bencana. Contohnya ada di Bantul, daerah selatan Yogyakarta. Di Bantul, Joglo-joglo yang dibangun roboh sebagian atau luluh lantak semuanya. Hal ini karena perhitungan Joglo modern itu tidak begitu presisi. Kata Anggi, itu karena para tukangnya tidak melakukan ritual dalam pembangunan.

Selanjutnya, Idham juga menuturkan bahwa biasanya hanya kaum Abangan yang masih bersikukuh dalam pelestarian geomancy di dalam rumah Joglo. Sehingga, jika kita melihat rumah Joglo yang bentuknya masih sesuai deskripsi ideal, maka rumah tersebut biasanya dimiliki oleh orang yang menganut Abangan.



Geomancy dalam Kacamata Arsitektur dan Antropologi Budaya


Sebenarnya, saat itu kami sudah hendak mengakhiri perbincangan tentang konsep geomancy ini, namun seketika terbesit rasa penasaran akan pandangan mahasiswa arsitektur nyentrik itu mengenai pentingnya penerapan geomancy. Rupanya, ia sangat antusias dalam menjawab pertanyaan kami. Matanya sampai berbinar-binar dan senyum miring tercetak di bibirnya.

Tidak langsung memberikan pandangan terkait pertanyaan ini, ia justru menceritakan apa yang telah disampaikan dosennya mengenai suatu hal yang menurutnya memiliki korelasi dengan pertanyaan dari kami.


Dengan wajah berseri-seri, ia menuturkan bahwa pada setiap pembangunan, menjadi hal krusial untuk membangun satu bagian sampai selesai-bagaikan tubuh manusia, tidak lengkap rasanya apabila terdapat satu dari bagian tubuhnya yang hilang dan dibiarkan cacat. Misalnya, pembangunan tumpang sari yang harus jadi dalam sekali pembangunan, karena tumpang sari itu menjadi tulang punggung dari Joglo.


Tak hanya itu, dalam setiap prosedural pembangunan Joglo, para tukang yang nantinya akan menggarap juga tidak boleh sembarangan. Mereka harus benar-benar menjaga perilakunya dengan hanya boleh membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan Joglo saja. Ketika kami bertanya mengenai akibat apa yang akan diterima jika peraturan itu dilanggar, dengan gaya santainya itu, Anggi menuturkan jika karma yang didapat kembali lagi ke pribadi masing-masing orang, mau mempercayainya atau tidak.


Karena jawaban yang diberikan Anggi ini sangat singkat dan kurang masuk akal, kami sampai menerka-nerka bahwa konsep ritual dalam pembangunan Joglo ini merupakan siasat turun-temurun agar biaya waktu, tenaga dan uang dikeluarkan secara efektif. Kami pikir, dengan para tukang meminimalisir obrolan, maka fokus akan terjaga dan terhindar dari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Juga, tentunya akan membawa keuntungan bagi pemilik rumah karena biaya yang dikeluarkan untuk upah tukang akan semakin rendah akibat waktu pengerjaan yang semakin singkat.


Anggi juga kami beri pertanyaan mengenai pendapatnya tentang serangkaian aturan yang harus dipenuhi dalam proses pembangunan Joglo.Ia berpendapat bahwa harusnya dalam membangun sebuah bangunan tidak cuma aspek estetikanya saja yang harus diperhatikan, namun hal-hal yang dianggap kecil seperti selametan juga tak kalah penting untuk selalu diingat. Anggi mengerti tentang konsep selametan ini juga berkat kakeknya yang selalu melakukan selametan setiap kali hendak memulai harinya. Ia bercerita dengan bangga bahwa mendiang kakeknya selalu berdiri menatap matahari pagi, beliau melakukan itu sebagai salah satu bentuk selametan pada masa hidupnya dulu. Menurutnya, selametan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara tergantung dari persepsi masing-masing orang. Ada orang yang melakukan selametan dengan ritual sederhana, ada juga yang memaknai ritual selametan sebagai sesuatu yang kompleks.


Anggi tidak membantah jika ia mempercayai bentuk-bentuk ritual itu, tetapi juga tidak membatasi diri dari masuknya budaya lain. Katanya, ia tidak ingin menjadi orang yang terlalu ‘tertutup’ walau sebetulnya ia sudah merasa nyaman dengan budaya timur. Bagi dirinya, terdapat keuntungan tersendiri ketika mencoba untuk menerapkan selametan ke dalam kehidupannya. “Keroso tenan nek dingo aku, keroso saben isuk selametan dadi luwih gampang eleng, nek seneng ora seneng-seneng banget sedih ora sedih-sedih banget, lebih gampang ati-ati.”, begitulah jawabannya ketika ditanya tentang pengaruh apa yang ia rasakan ketika melakukan ritual selametan. Kepercayaan mengenai ritual selametan ini ia namakan dengan imajinasi. Lain halnya dengan seorang teman yang menamakan ritual itu dengan namakata hati, menurut Anggi sebutan itu tidak begitu rasional.


Untuk masalah masih digunakan atau tidaknya pakem-pakem seperti ritual selametan, Anggi tidak begitu tahu-menahu.Hanya saja, sebagai seorang anak yang berasal dari latar belakang keluraga arsitek, Anggi sangat mempercayai dan menganggap pakem tersebut sebagai suatu yang sakral dan wajib untuk dijalankan. “Woh iyo nek aku percoyo karo kui,” jawabnya lantang saat kami tanya tentang memenuhi standar pakem tersebut.


Menurut kami, pakem-pakem geomancy tersebut merupakan salah satu bentuk dari kebudayaan yang terbentuk dari pengalaman-pengalaman kolektif masyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan upaya masyarakat untuk mempertahankan kehidupan dengan sebaik mungkin. Lalu, kepercayaan itu terinternalisasi ke dalam setiap individu dari generasi ke generasi sebagai nilai yang dianggap sakral dan tidak boleh untuk ditinggalkan. Padahal, jika dilihat dari perkembangan zaman, bukan pada aspek tradisinya, mungkin rumah dengan gaya baru akan lebih sesuai dengan kondisi lingkungan saat ini. Misalnya, melihat dari potensi bencana, iklim, dan ketersediaan lahan. Sehingga, kami dapat menyimpulkan bahwa pengertian mengenai geomancy tersebut tergantung dari apa yang diyakini oleh masing-masing masyarakat.


***







Referensi

Buchli, Victor. (2013). An Anthropology of Architecture. London, New York : Bloomsbury Academic.

Idham, N. C. (2018). Javanese vernacular architecture and environmental synchronization based on the regional diversity of Joglo and Limasan. Frontiers of Architectural Research, 7(3), 317–333.

Kumparan Travel. (2018). Jamasan Pusaka, Tradisi Jawa Merawat Pusaka Peninggalan Nenek Moyang. Kumparan. https://kumparan.com/kumparantravel/jamasan-pusaka-tradisi-jawa-merawat-pusaka-peninggalan-nenek-moyang-1536748777604044759 accessed December 19th 2019.

Prihatmaji, Y. P., Kitamori, A., & Komatsu, K. (2015). Seismic Vulnerability on Structural Proportion of Traditional Javanese Wooden Houses (Joglo). Procedia Environmental Sciences, 28, 804–808.

Sarmini, Nadiroh, U., & Basriyani, A. W. (2018). The transformation of the dimension of the meaning of traditional house joglo into a modern house. Journal of Physics: Conference Series, 953, 012168.

181 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page