top of page
Search

Liku Getir Pinggiran dalam Era Neo Imperialisme

(Sumber Foto : Tiara Puspa Ramadanti)

Oleh Yunda Ajeng Pratitasari & Azrial Abyad W


Terik matahari pukul dua siang menghantam kami berdua saat bersua di Jogja National Museum. Rumah klasik penyimpan banyak cerita ini sedang menggelar hajat besar seniman-seniman ‘pinggiran’ yang merasa terpinggirkan oleh bumi. Karya elok seniman pinggiran ini ditampung oleh Biennale Jogja XV Equator #5, sebuah proyek seni dua tahunan yang tahun ini telah memasuki tahun kelima belas. Wacana besar yang ingin diperlihatkan mungkin tak sebesar antusias orang untuk menilik kisah di dalam rumah klasik itu. Mungkin, kami salah waktu—atau bukan waktu yang terbaik—untuk menikmati instalasi-instalasi ‘pinggiran’ yang berkelas. Perut kami saja masih keroncongan, bagaimana mau mengerti karya terebut? Terlepas dari semua itu, proyek seni besar ini menggugah hati kami untuk memantapkan langkah menengok lika-liku kisah pinggiran yang dipamerkan.


Menyusuri Rumah Klasik

Sebuah instalasi besar yang tampak rumit berbahan dasar sampah plastik seberat 4 ton menyambut para pengunjung saat akan memasuki lorong beralur penuh karya. Makna erat sampah dan pinggiran agaknya sukses menjadi prolog sebelum menjejaki setiap bagian kisah karya para seniman. Kali ini, Biennale Jogja XV Equator #5 menggunakan 3 lantai Jogja National Museum sebagai wadah ekspresi senimannya. Aroma khas akrilik yang memenuhi setiap sudut ruangan menyapa dengan ramah ketika kami menginjakkan kaki di galeri. Pada lantai pertama, pengunjung disuguhkan oleh sembilan ruangan instalasi yang berbeda. Satu ruangan di samping kiri dan delapan ruangan lain di samping kanan meja tempat tamu mengisi kehadirannya. Instalasi yang memenuhi setiap relung menggambarkan pasang surut kisah kaum ‘pinggiran’ yang diharapkan dapat tersampaikan melalui setiap goresan karyanya. Beragam bentuk karya mulai dari cuplikan dokumenter, lukisan di lantai maupun dinding, berhelai-helai kain berisi tulisan, kayu yang dipahat dan dibentuk, miniatur perabotan rumah dari tanah liat, hingga serat tjentini membentuk alur cerita epik lantai pertama.


Menapaki lantai kedua, pengekspresian karya seni menunjukkan warna yang sedikit berbeda dari lantai pertama. Persis di depan tangga perantara lantai satu dengan lantai dua, kami menemukan ruangan berisi instalasi lorong kaca berbentuk segitiga dengan potret human interest yang menempel pada sisi kanan dan kiri dinding dalam segitiga. Beralih ke ruang selanjutnya, tampak sejumlah kotak kain transparan berakrilik yang menggantung dari langit-langit ruangan. Kemudian, sebuah ruangan menyita perhatian melalui warna-warna yang ditonjolkannya. Gambar-gambar wanita dengan segala stereotipenya memenuhi seluruh ruangan. Media itu ditampilkan pada helai kertas ala-ala majalah sampul populer sembilan puluhan. Berlanjut pada instalasi seni lain dengan ciri khas masing-masing, lantai kedua mengisahkan cerita epik lainnya.


Rasa ingin tahu kami bergejolak untuk lebih dari sekadar menikmati instalasi-instalasi yang dipamerkan. Langkah kaki membawa kami menjelajahi karya yang disuguhkan di lantai ketiga. Ruangan yang berada di sudut kiri lantai ini kemudian menarik hati kami. Ruangan berbentuk kotak bercat putih bersih itu tampak seperti ruangan lainnya. Namun, ada satu hal yang membedakannya. Tumpukan uang masa pendudukan Jepang yang jumlahnya tidak terbatas itu memiliki makna dalam yang tersirat melalui posisinya yang tergeletak tidak berdaya. Pada sudut kirinya, terbaring televisi empat belas inch yang memuat kisah latar belakang tumpukan uang-uang itu. Kontur tidak rata menyerupai kuburan bersampulkan uang tidak bisa sekejap hilang dari pandangan mata. Pemandangan semacam ini mengindikasikan banyak sekali jiwa raga yang lelah akan adanya peristiwa ini. Tumpukan uang dengan kisah kelam di baliknya itu disorot oleh dua buah lampu bercahaya kuning keemasan. Sorot lampunya memberi efek hangat yang memenuhi seluruh sudut ruangan. Atmosfer yang ada di dalamnya, seakan-akan mengajak kita untuk menengok sebentar ke belakang, memahami setiap cuil kecemasan, kemarahan, dan keresahan yang dialami masyarakat pada saat itu.


Relikui Pertumpahan Darah Tragedi Mandor

Unsur resistensi atas imperialisme seolah dibuat oleh Sutthirat Som Supapariya, dengan mengangkat peristiwa kelam ‘Tragedi Mandor’ yang terjadi pada tahun 1943-1944 di Kalimantan Barat. Sejarah yang terjadi ketika pada masa itu, bala tentara Jepang mulai memasuki wilayah Kalimantan dengan tujuan untuk memeras sumber kekayaan alam demi kepentingan perang semata. Wacana yang digaungkan Jepang sebagai saudara tua negara Asia, berjanji akan melindungi dan mengusir para penjajah. Kelicikan demi keuntungan mulai dilakukan Jepang dengan membubarkan seluruh organisasi politik, membuka sekolah dengan metode pengajaran ala Jepang, melaksanakan kerja bakti dengan tujuan lain, mengikutsertakan pemuda-pemuda untuk berlatih secara militer, serta beberapa tindakan lainnya yang dinilai merugikan masyarakat setempat. Kepalsuan tersebut kami rasakan ketika melihat uang imitasi dengan berbagai macam pecahannya yang seakan membuat ilusi serta imaji tentang janji-janji palsu dan busuk Jepang terhadap masyarakat Kalimantan Barat.


Aroma dari sebuah petaka mulai tercium ketika Jepang mendapat perlawanan di daerah Banjarmasin. Perlawanan tersebut dapat dengan mudah diredakan. Namun dengan hal ini pula, timbul dampak yang membuat Jepang semakin berusaha menancapkan taringnya yang berbisa di tanah Borneo. Jepang mengambil tindakan-tindakan masif seperti memberlakukan praktik Seikerei yang mewajibkan warga Kalimantan Barat tunduk atau membungkuk—seperti posisi ruku’ dalam solat—kepada tentara-tentara Jepang dan kepada matahari terbit di pagi hari. Praktik lainnya yakni Kinrohosi di mana kerja bakti yang dilakukan secara sukarela berubah menjadi perbudakan demi infrastruktur—baik keperluan sipil maupun militer—dan selanjutnya praktik tersebut berubah menjadi praktik Romusha yang kejam dan memakan banyak korban. Ya, lagi-lagi kami merasakan hal tersebut. Sorot lampu kuning diibaratkan sebagai cahaya Asia yang menyengat menyiratkan pahitnya kedudukan Jepang kala itu. Kami lapar, kami tepar, kami bubar, begitulah kiranya perasaan kami ketika melihat instalasi ini. Ekspresi tidak nyaman keluar dari raut wajah kami. Tak pernah terbayangkan apa jadinya ketika kami yang ada di posisi mereka yang mengalami bobroknya praktik kemanusiaan. Kami yang saat itu hanya melihat dan membayangkan peristiwa itu terjadi saja sudah menyerah, apalagi mereka yang rela mengorbankan hidupnya untuk perjuangan. Dalam suasana yang sebenarnya tak mendukung, kami terus memperhatikan dan berharap menemukan sensasi lain dari karya ini.


Terang namun mencekam, mungkin makna itu yang dapat menggambarkan Jepang saat berkuasa dalam instalasi seni Sutthirat Som Supapariya. Gundukan seperti kuburan merupakan memorabilia tragedi Mandor di mana genosida dengan bentuk penculikan serta pembantaian tanpa alasan bala tentara Jepang terhadap masyarakat Kalimantan Barat terjadi. Berawal dari tuduhan tak berarti dari satuan kepolisian sok tahu atau memang terencana oleh strategi terhadap perkumpulan yang dibentuk Sultan Pontianak Muhammad Al-Kadri serta para kepala swapraja seluruh panembahan Keraton Kadriyah. Kemudian oleh Jepang difasilitasi dengan dibentuknya Nissinkai sebagai wadah legal untuk menyalurkan ide-ide politik dan tentunya harus searah dengan pemerintahan Jepang. Namun, hal tersebut malah menjadi jalan terang bagi kelompok yang mengidamkan kebebasan. Sebuah kelompok bawah tanah yang sering disebut kelompok 69, sesuai dengan jumlah anggotanya, berubah menjadi angin ketika penahanan pada 23 Oktober 1943 terhadap penguasa swapraja, tokoh masyarakat, kaum cerdik, dan beberapa tokoh lainnya terjadi. Pada 24 Mei 1944, konferensi Nissinkai di Pontianak berubah menjadi ajang penculikan akbar dan tak terdengar kabar dari mereka yang turut serta dalam acara tersebut. Barulah kejelasan muncul sebagai sebuah titik terang oleh keberadaan sanak saudara yang diambil oleh Jepang. Sabtu, 1 Juli 1944 surat kabar lokal Borneo Shinbun membawa berita haru yang dikemas dengan perasaan superior oleh pihak Jepang dengan berita utama “Komplotan Besar yang Mendurhaka untuk Melawan Dai Nippon Sudah Dibongkar Sampai ke Akar-akarnya”. Kabar hukuman mati yang dialami oleh para martir menjawab sudah kegelisahan nasib orang yang dijemput Jepang. Secara resmi, Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat mencantumkan angka sebanyak 21.037 jiwa sebagai korban dari peristiwa keji ini. Cerita carut-marut sebelum dan sesudah terjadinya peristiwa ini digambarkan oleh kurator dengan cerita di balik uang-uang yang disebar dalam berbagai potongan kecil. Meskipun hanya dua puluh persen dari uang-uang tersebut yang memiliki kepingan cerita, namun timbunan uang-uang itu membentuk gundukan seperti menyiratkan bahwa kekuasaan dan kekayaan dijadikan sebagai tujuan dengan pengorbanan serta perlawanan.


Sungguh, ini merupakan sebuah instalasi yang mewakilkan seluruh peristiwa yang sangat bermakna. Tak pernah kami bayangkan sebelumnya jika kejadian seperti ini pernah terjadi di Indonesia. Permasalahan kolonialisme dan imperialisme seakan menjadi keresahan bersama negara-negara Asia Tenggara. Lewat televisi yang diletakkan di bawah dengan menunjukkan video dampak dari peristiwa tersebut membuat kami tertegun akan kenyataan di mana peristiwa itu masih perih terasa dan akan selalu membekas di hati dan pikiran masyarakat Kalimantan Barat. Sudah seharusnya, peristiwa ini dijadikan pelajaran untuk kita semua menyikapi bentuk dan model imperialisme baru yang marak terjadi melalui berbagai platform.


Pinggiran dalam Pelukan Neo-Imperialisme

Relevansi kaum ‘pinggiran’ dengan wacana imperialisme gaya baru tidak dapat dipisahkan sedemikian rupa hingga dewasa ini. Praktik kekejaman imperialisme kolonial membekas dalam jiwa setiap rakyatnya. Biennale Jogja XV Equator #5 menjadi wadah ekspresi teriakan rakyat atas ketidakberdayaannya menentang segala bentuk penindasan yang dilakukan oleh kolonialis. Perasaan tertindas atas hegemoni kekuasaan tertentu, konflik antar kelompok demokratis dengan kelompok fundamentalis, serta ketidakberdayaan melawan kekuatan ekspansif investasi atau pembangunan menjadi kisah nyata yang sedang dihadapi rakyat negara-negara Asia Tenggara saat ini. Beragam ekspresi instalasi yang diilhami seniman dengan mengaitkan setiap bagian kecil kehidupan membuktikan bahwa cerita klasik imperialisme masih melekat dengan diri rakyat seiring berjalannya waktu hingga tibanya praktik imperialisme gaya baru masa kini. Imperialisme terus bertransformasi menyesuaikan kehidupan rakyatnya. Penindasan gaya baru menyusup diam-diam terstruktur lalu dengan tiba-tiba memporak-porandakan jiwa dan raga rakyat. Realitas yang terjadi pada negara-negara dunia ketiga saat ini menuntut rakyat untuk bertindak secara tegas dengan cara membangun solidaritas untuk memikul tanggung jawab bersama. Ekspresi karya seni yang terkandung dalam proyek seni dua tahunan ini dapat menjadi satu langkah konkret sebagai upaya mewujudkan kehidupan yang lebih berkeadilan dan berperikemanusiaan.


Tiba saatnya kami keluar dari rumah klasik penyimpan banyak cerita. Matahari sudah lebih condong kearah barat, menandakan bahwa sudah semestinya kami cepat-cepat pergi dari tempat itu. Banyak pelajaran yang dapat kami ambil sebagai sudut pandang baru dalam memandang sebuah peristiwa dan memaknainya sesuai keberpihakan. Seperti menunggangi roaller coaster perasaan serta pengetahuan selama menyambangi berbagai instalasi, kami berkesimpulan bahwa seni dapat diintepretasikan dengan berbagai jenis ekspresi.




Sitasi :

Prabowo, M. R. (2019). PERISTIWA MANDOR 28 JUNI 1944 DI KALIMANTAN BARAT: SUATU PEMBUNUHAN MASSAL DI MASA PENDUDUK JEPANG. BIHARI: JURNAL PENDIDIKAN SEJARAH DAN ILMU SEJARAH, 2(1).

41 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page