top of page
Search

Korelasi Primbon Jawa dengan Karya "Tanggalan Barohiwiyah" pada Biennale Jogja National Museum

Oleh Ilman Nafi'a dan Siti Nurhidayah


Berkunjung ke sebuah pameran seni sebenarnya bukan menjadi suatu hal yang menggembirakan atau terpikirkan sebelumnya oleh kami, terutama saat menjajaki semester ketiga ini. Di satu sisi, angan kami mengenai sebuah “pameran seni” sebagai suatu pertunjukan karya yang membosankan, dengan asumsi karya tersebut merupakan hasil karya seniman terkenal di mana karyanya selalu bertengger gagah pada setiap acara pameran yang diadakan.


Bermula dari sebuah tugas untuk mengunjungi pameran seni Biennale Jogja XV yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Jogja di mana tersebar pada enam titik lokasi yaitu Taman Budaya Yogyakarta, Jogja National Museum, Jalan Ketandan Kulon 17, Kampung Jogoyudan, Bilik Taiwan (Helutrans Art Space), dan PKKH UGM. Pameran tersebut diselenggarakan mulai tanggal 20 Oktober 2019 dan berakhir pada tanggal 30 November 2019.


Pameran seni Biennale telah memberi kami pengalaman sekaligus pengetahuan baru melalui karya seni rupa yang diciptakan oleh seniman-seniman, dengan tema yang berbeda, latar belakang pembuatan yang berbeda namun dapat menjadi kesatuan yang padu dalam sebuah acara pameran karya seni. Dari setiap karya yang ditampilkan, kami diajak untuk melihat bagaimana kreator berusaha menjelaskan sebuah kisah atau cerita dalam sebuah karya yang menarik. Misalnya replika sampah yang dibentuk sedemikian rupa seperti mengajarkan sekaligus memperingatkan bahwa hal-hal yang tidak berguna dapat diubah menjadi sebuah karya seni apabila kreatif dan memiliki tekad, serta memperingatkan dalam hal ini semacam menunjukkan bahwa dunia sudah penuh dengan sampah alangkah lebih baik jika menggunakan barang-barang yang sekali buang. Bermula dari sebuah replika karya dari sampah tersebut, menyambut para pengunjung pameran seni Biennale sekaligus membuat yang melihat merasa penasaran bagaimana isi dari pameran seni yang diadakan.


Kesan Pertama yang Mengecewakan


Sebelumnya memang kami tidak memiliki gambaran sedikitpun nantinya akan mengunjungi Biennale yang mana, namun dari cerita kawan kami yang lebih dahulu berkunjung ke lokasi-lokasi Biennale merekomendasikan untuk terlebih dahulu mengunjungi Biennale yang terdapat di Jogja National Museum (JNM). Berangkat pada hari Rabu, tanggal 06 November 2019 dan sampai lokasi sekitar pukul 10.45 WIB. Melihat parkiran sepeda motor yang mungkin terdapat sekitar 15 kendaraan membuat kami sedikit bersyukur karena nantinya kami lebih leluasa dan fokus dalam melihat karya-karya seni yang dipamerkan.


Disambut dengan patung replika dari sampah membuat kami semakin penasaran bagaimana isi dari pameran seni Biennale ini. Mengikuti prosedur yang berlaku dengan mengisi daftar hadir, terlihat bahwa tidak terlalu banyak pengunjung datang melihat pameran ini. Entah karena memang masih jam kerja sekolah dan kantor atau karena hal lainnya kami kurang tahu, tapi harapan kami orang-orang dari semua golongan dapat datang dan menikmati pameran karya seni yang sangat menarik ini.


Terlebih tidak dipungut biaya dalam melihat pemeran hanya membayar biaya parkir sebesar Rp3000 tentu termasuk biaya yang tidak besar. Di satu sisi, karya yang dipamerkan juga melewati proses pembuatan yang panjang dan pemikiran ide yang matang, setidaknya dengan melihat pameran seni dapat memberikan sebuah apresiasi kepada para seniman. Dari sini, kami menjadi sadar apresiasi terhadap suatu karya seni ternyata memiliki implikasi yang besar. Selain publikasi yang dapat dipergencar lagi, venue yang terpisah pada enam titik lokasi pameran menurut kami juga mempengaruhi mengapa tidak banyak pengunjung yang datang ke pameran seni di lokasi ini, karena pengunjung akan mempertimbangkan dari segi jarak lokasi pameran maupun cakupan isi karya seni yang dipamerkan pada setiap lokasi.


Beranjak dari tempat registrasi pengunjung, kami memulai untuk menjelajah lokasi pameran. Melihat satu demi satu karya seni, memasuki ruang demi ruang, tidak membuat kami merasa jenuh seperti yang kami bayangkan pada awalnya. Karya-karya yang tersusun sedemikian rapi dan menarik dilengkapi dengan kertas informasi berisi judul, kreator, dan cerita singkat karya seni yang dipamerkan membuat pengunjung setidaknya dapat memahami maksud kreator dalam menciptakan karya seninya.


Nyaman, tidak terlalu bising, karena sedikit pengunjung membuat kami semakin tertarik untuk melihat satu demi satu karya yang dipamerkan. Namun dari tiga lantai yang tersedia di Jogja National Museum (JNM), kami hanya dapat menjelajah lantai satu dikarenakan listrik padam pada hari itu dan kami cukup lama menunggu berharap akan segera menyala, namun karena terlalu lama kami memutuskan untuk pulang. Ada perasaan kecewa karena tidak dapat melihat semuanya, tetapi akhirnya kami memutuskan untuk kembali lagi ke JNM untuk menuntaskan melihat pameran seni hingga selesai.


Mencoba Berkunjung dan Merasakan Kembali


Setelah sebelumnya kami mengunjungi Biennale yang berada di Jogja National Museum (JNM) tanggal 06 November 2019. Kami mengunjungi Biennale kembali pada Kamis, tanggal 07 November 2019 sekitar pukul 18.30 WIB. Menurut kami, kunjungan kami di waktu tersebut sangat tepat, karena suasana ke-estetikan pameran seni Biennalle sangat terasa.  Kami rasa suasana saat malam berbeda sekali saat kami datang pada hari sebelumnya. Suasana yang lebih ramai karena lebih banyak pengunjung datang saat waktu malam. Entah mengapa hal tersebut terjadi, namun kami rasa di malam hari perpaduan antara berbagai mahakarya dengan tata ruang serta pencahayaannya membuat hati dan pikiran kami saling terkoneksi untuk memahami apa arti serta makna yang terkandung dalam karya seni, hal itu sangat terlihat menarik membuat karya terasa berkarakteristik juga karismatik.


Kesempatan kali ini kami dapat menelusuri secara lengkap setiap sudut pameran Biennale di JNM. Terlihat di beberapa bilik karya yang ditampilkan, menurut kami bukanlah karya-karya biasa yang hanya sebuah pajangan semata. Di beberapa karya seni tersebut bahkan tidak jarang membuat kami terheran-heran dengan bahan material yang digunakan untuk memproduksi hasil karya tersebut. Jadi bukan hanya soal bentuk dan tampilan akhirnya saja, tetapi kami juga berpikir betapa para seniman ini tidak tanggung-tanggung membuat kami terpukau.


Contohnya karya dari Moelyono yang diberi judul Pembangunan Taman Monumen Marsinah terletak di pendopo museum menggunakan material yang tidak sedikit, pasalnya karya tersebut sangat besar dan luas. Pada karya itu, seolah kami dibawa pada dimensi sakral monumen Marsinah yang asli. Kemudian juga sebuah karya yang salah satu unsurnya terbentuk dari bubuk kunyit yang dibuat menjadi tulisan-tulisan, Benar-benar tidak terpikirkan bukan? Betapa para seniman tersebut menciptakan karya bukan hanya tampilan akhir, tapi juga membuat penikmat seni dibuat heran dan berpikir mengenai proses produksi hasil karyanya itu.


Mendefinisikan Seksualitas Dalam Sebuah Karya Seni


Setelah menjelajahi setiap karya yang dipamerkan, titik perhatian mata kami tertuju pada salah satu karya yang berada di lantai pertama. Sebelum memasuki bilik khusus untuk memamerkan karya tersebut, terdapat tulisan “18+”, yang berarti karya tersebut boleh untuk dilihat bagi yang sudah berumur delapan belas tahun ke atas. Di samping bilik karya tersebut terdapat penjelasan yang tertuang diatas kertas putih kecil sebagai pemaparan awal dari sebuah karya seni. Karya tersebut diciptakan oleh Yosep Arizal yang berasal dari Yogyakarta, dengan karya berjudul “Tanggalan Barohiwiyah”.


Dalam karya tersebut, Yosep menjelaskan bahwa dia menampilkan apropriasi dari sebuah Kitab Primbon Jawa yang ditulis dengan huruf pegon. Ia juga menuliskan bahwa kitab tersebut ditemukan di rumahnya, Lumajang, Jawa Timur. Beberapa dari bagian kitab itu serupa dengan Serat Centhini yang menghimpun pengetahuan seksualitas di Jawa. Di dalam kitab Primbon tersebut terdapat sistem penanggalan 15 hari yang bercerita tentang lima belas bagian badan perempuan yang perlu disentuh pada hari-hari tertentu sebelum bercinta. Sebagaimana kitab-kitab Primbon tentang pengetahuan seks yang lain, Primbon yang direspons Yosep juga ditulis dengan sudut pandang laki-laki (male gaze) yang tengah membicarakan tentang tubuh perempuan. Yosep lantas memberi intervensi, mengubah sebuah kitab baru yang memposisikan laki-laki sebagai objek tatapan. Yosep membangun narasi tandingan atas narasi-narasi arus utama tentang seksualitas.


Setelah membaca ulasan mengenai “Tanggalan Barohiwiyah” karya Yosep Arizal, kami memasuki bilik yang menampilkan karya tersebut. Ekspresi kagum dan tidak biasa kami rasakan. Karena di sekeliling tembok di tempel gambar laki-laki dan perempuan yang memperlihatkan beberapa adegan sebelum bercinta, dan gambar tersebut juga menunjukkan jika seorang pria memegang beberapa bagian tubuh wanita berdasarkan sistem penanggalan urut dari tanggal satu ke tanggal lima belas, seperti sistem penanggalan lima belas hari menurut kitab primbon yang sudah dituliskan di awal tadi.


Jadi setiap gambar tersebut jumlahnya ada lima belas adegan berbeda dengan bagian sentuhan tubuh yang berbeda pula di setiap tanggalnya. Disertai dengan angka di pojok bawah, yang menunjukkan tanggal untuk melakukan adegan tersebut. Lalu ada satu yang membuat kami penasaran, yakni sebuah benda yang dipajang di tengah tembok yang dikelilingi gambar-gambar adegan tadi. Kami mengira bahwa benda tersebut mirip “Hajar Aswad” yang ada di Mekkah, namun ternyata  pemandu menjelaskan bahwa benda tersebut bernama “Lingga” yang merepresentasikan alat kelamin pria.


Sumber foto : dokumen pribadi


Hal ini membuat kami semakin tertarik tentang membahas dan mengulik karya ini lebih dalam lagi, khususnya pada relasi antara budaya Jawa dengan segala aspek dan unsurnya yang berkaitan dengan motivasi Yosep Arizal menciptakan karya ini. Mengapa ia tidak langsung mengangkat unsur seksualitas modern mungkin? atau kaitan seksualitas dengan hal lain? Mengapa pada akhirnya dalam karyanya ini ia memilih memberikan perpaduan serta keterikatan antara seksualitas dengan tanggalan Primbon Jawa? Juga bagaimana tafsir makna simbolik dari beberapa produksi karyanya, misalnya seperti Lingga yang ditafsirkan alat kelamin pria?


Sumber :

-Web Biennale Jogja Equator #5. 2019. Tentang Biennale Jogja. https://biennalejogja.org/2019/yosep-arizal-tampilkan-karya-apropreasi-dari-kitab-primbon/ (Diakses tanggal 20 November 2019)

-Instagram Yosep Arizal https://www.instagram.com/p/B34g2THg1d2/ (Diakses tanggal 21 November 2019)

- Brosur Biennale Jogja Equator #5 2019


51 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page