top of page
Search

KONTROVERSI PASAL UNTUK WANITA MALAM



NAMA : ASMI RAMIYATI

NIM : 18/430853/SA/19648

Di tahun 2019 ini bangsa Indonesia sedang dirundung oleh banyak masalah. Akan segera berakhirnya masa jabatan Kabiner Kerja yang diusung oleh Jokowi pada periode 2014-2019 dan akan berganti menjadi jabatan baru pada masa jabatan 2019-2024. Pembuatan RUU-KUHP yang dibicarakan tepat sebelum berakhirnya jabatan Kabinet Jokowi lama ini dengan pasal-pasal yang sangat kontroversial membuat masyarakat geram dan mahasiswa panas. Pasalnya para perancangan RUU-KUHP ini terkesan buru-buru dan abai terhadap aspirasi masyarakat. Selain masalah keterburu-buruan ini, pasal-pasal yang diajukan sangat tidak “masuk akal” di masyarakat dan terkesan menguntungkan pihak perancang itu sendiri. Dengan dua alasan utama ini, pada tanggal 24 September 2019 lalu mahasiswa di Yogyakarta memprakarsai aksi menyuarakan kekeliruan RUU-KUHP dengan nama Gejayan Memanggil yang mengingatkan kembali dengan aksi tahun 1998.


Aksi Gejayan Memanggil yang dilaksanakan di sepanjang jalan Gejayan, Yogyakarta merupakan bentuk aksi protes dan mosi tidak percaya terhadap kinerja DPR. Hampir seluruh mahasiswa dari berbagai universitas di Yogyakarta memenuhi dan memadati jalanan Gejayan. Teman-teman saya juga menjadi bagian dari masa aksi yang berjuang untuk menyuarakan aspirasi masyarakat yang terabaikan oleh DPR. Namun, saya tidak mendapat berkesempatan untuk bergabung menjadi salah satu bagian dari mereka, karena saya harus menemani teman saya yang sedang sakit di Rumah Sakit Sardjito. Meskipun saya tidak ikut serta, tetapi saya sangat merasaka euforia teman-teman yang sedang aksi. Di waktu siang ketika matahari terik saya pulang untuk mengambil beberapa barang untuk teman saya, di jalan Kaliurang dan jalan Agro dipenuhi oleh remaja-remaja yang mayoritas laki-laki yang penampakannya sangat sesuai sebagai peserta aksi. Setelah sampai di rumah sakit saya mengecek sosial media saya dan mayoritas teman saya yang berkuliah di Yogya hampir semua mengunggah foto sedang melakukan aksi digejayan. Meskipun matahari sangat terik waktu itu dan suhu di Yogya mencapai 34 derajat tidak menyurutkan semangat teman-teman untuk menyuarakan aspirasi masyarakat yang belum didengar seutuhnya.


Sosial media penuh dengan unggahan-unggahan aksi di Gejayan sampai sore hari. Keesokan harinya di daerah-daerah lain bermunculan aksi serupa dengan tujuan yang masih sama yaitu menyuarakan penolakan RUU-KUHP. Foto-foto yang diunggah berisi tulisan mahasiswa terkait dengan butir RUU-KUHP yang ditolak. Salah satu pasal RUU-KUHP nomor 432 yang menyatakan bahwa “Wanita pekerja yang pulang malam dan terlunta-lunta di jalanan dan dianggap gelandangan dikenai denda 1 juta”. Beredar juga kabar bahwa diberlakukan jam malam untuk kaum perempuan yaitu pukul 10 malam. Penjabaran pasal ini berdasarkan turunan pasal 431 RUU-KUHP mengenai gelandangan atau orang yang dianggap gelandangan yang mengganggu ketertiban umum akan dikenakan denda 1 juta. Selain itu perempuan yang terlunta-lunta dimalam hari dan dianggap gelandangan dapat dikenai sanksi denda yang sama. Pasal ini rupanya merupakan warisan dari zaman pemerintahan kolonial yang sudah diterapkan di Indonesia. Namun dalam pelaksanaan sebelumnya tidak melibatkan “gender” disana atau dikhususkan untuk perempuan.


Kemunculan RUU-KUHP tentang diberlakukannya jam malam untuk perempuan sontak membuat para wanita karir sangat keberatan. Pekerjaan-pekerjaan dengan jam kerja di malam hari seperti para petugas kesehatan, jurnalis, petugas parkir, dan wanita-wanita yang bekerja pada sektor lain merasa pasal ini sangat mengancam pundi-pundi rupiah mereka. Tidak hanya para pekerja yang merasa janggal dengan pasal ini, perempuan dari berbagai kalangan juga turut merespon akan adanya RUU-KUHP tentang diberlakukannya jam malam untuk perempuan. Salah satu respon perempuan yang saya baca pada salah satu akun di instagram “Coba bayangin lo di denda gara-gara cuma laper kepingin beli nasi goreng tengah malem?”. Selain itu, Wakil Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia), Johnny Darmawan menanggapi mengenai RUU-KUHP ini terkesan janggal dan memberatkan wanita. Ia mengungkapkan bahwa bagi wanita pebisnis diberlakukannya jam malam bisa sangat mengganggu bisnisnya.

Hal ini sangat berkaitan dengan stigma tentang wanita malam adalah wanita yang bermoral buruk. Di Indonesia konstruksi tentang wanita keluar malam dan diiringi dengan citra berbuat melanggar norma agama dan susila sangat erat. Hal yang sangat ekstrim pernah saya saksikan dari teman saya sendiri, ketika itu saya dan teman saya biasa pulang sekolah pukul 14.00 tetapi karena ada kegiatan di sekolah secara mendadak kami baru bisa menuju ke rumah masing-masing pukul 16.00. Pada kesempatan itu saya menghantarkan pulang teman saya kerumahnya, tak disangka ibunya sudah menunggu di depan rumah dan memarahi teman saya karena takut diomongin tetangga punya anak gadis waktunya pulang tidak langsung pulang. Teman saya sudah menjelaskan bahwa ada kegiatan mendadak disekolah, tetapi orang tuanya tidak menerimanya karena anggapan beliau selain jam operasional sekolah adalah bermain dan bermain adalah hal yang memalukan dihadapan para tetangganya. Kejadian ini kerap kali terulang ketika teman saya pergi untuk les Bahasa Inggris, kerja kelompok, atau pergi keluar rumah untuk kegiatan ekstrakurikuler. Apabila teman saya pulang pukul lewat adzan maghrib, ibunya bisa memarahinya sampai menangis karena saking takutnya dengan omongan tetangga. Di berbagai tempat pembatasan jam malam bahkan jam sore pun telah di bentuk oleh kontrol omongan tetangga yang membatasi gerak-gerik perempuan dalam beraktivitas. Padahal fakta yang banyak terjadi adalah tidak perlu menunggu malam untuk berbuat hal-hal yang melanggar norma hukum dan norma-norma lainnya, dan di malam hari pun belum tentu seseorang melakukan tindakan-tindakan yang melanggar hukum dan norma lainnya.


Saya pribadi menolak RUU-KUHP Pasal 432 “Wanita pekerja yang pulang malam dan terlunta-lunta di jalanan dan dianggap gelandangan dikenai denda 1 juta” dengan asumsi bahwa pasal ini sangat multitafsir dan egosentris. Kegiatan yang bagaimanakah yang dianggap terlunta-lunta itu? Apakah ketika ada segerombolan wanita pengendara grab berkumpul dipinggir jalan sembari menunggu adanya orderan dianggap terlunta-lunta? Pasal ini terasa sangat male gaze karena benar-benar membatasi teritori wanita dan semakin memperluas teritori laki-laki melalui pembatasan jam beraktivitas. Wanita-wanita pejuang yang tak kenal siang maupun malam seharusnya di dukung dengan berbagai jaminan keamanan dan keselamatan oleh aparatur negara, bukan malah mendapat ancaman denda dan dikekang dalam berkarya. Jerih payah yang dilakukan oleh para wanita ini sama lelahnya dengan laki-laki, sama beresiko nya dengan laki-laki, lantas kenapa hanya perempuan yang mendapat ancaman hukuman denda? Jika memang pasal ini bertujuan untuk melindungi wanita, seharusnya yang dilarang keluar dan di denda adalah orang-orang jahat yang objek sasarannya adalah kaum wanita. Salah satu foto yang saya dapatkan dari teman saya yang menempuh pendidikan di bidang kesehatan ini sangat mewakili apa yang saya pikirkan.

1 view0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page