Indonesia yang Belum Dewasa
- Karina Yusuf
- Oct 4, 2019
- 4 min read
Updated: Oct 14, 2019
Putri Karina Yusuf
18/428339/SA/19286

Indonesia sedang berperang dengan dirinya sendiri. Bukan antara kaum tua dan muda, bukan antara mahasiswa dan polisi, bukan pula antara pemerintah dan rakyat. Lalu perang antara siapa? Antara rakyat dewasa dengan yang... ya sebaliknya. Sebelum itu, perlu diperjelas lagi siapa itu yang dapat dikategorikan sebagai ‘dewasa’ dalam tulisan ini. Dewasa tidak berarti umur tua, bukan berarti jabatan tinggi atau pendapatan berlimpah, namun mereka yang berpikir untuk masa depan, untuk sesama dan memihak kepada yang benar secara transparan dan apa adanya. Dalam tulisan ini, saya akan membahas beberapa hal terkait keadaan Indonesia hari-hari ini dari mata seorang mahasiswi yang masih sangat baru dan asing dalam bidang ini.
Untuk membahas politik (baik politik di pemerintahan negara sampai politik kepentingan dalam skala apapun) atau apa pun itu yang menyelimuti permasalahan Indonesia hari ini, mungkin saya adalah orang terakhir yang ingin didengar pikirannya. Bukan hanya tidak mengerti, tapi peduli untuk menoleh saja sampai tidak ingin, hanya menguras tenaga dan pikiran bagi saya. Saya yakin tidak hanya saya yang merasa seperti ini, dan seharusnya fakta bahwa kemarin saya bersama golongan tidak peduli yang terpencar di berbagai daerah ikut turun ke jalan atau sekedar ikut sedih, marah hingga tersinggung dengan situasi negara kita, harusnya menjadi tamparan yang cukup pedas bagi para pihak yang membuat kita semua resah.
Untuk seseorang yang kurang mengerti secara mendalam permasalahan-permasalahan kita hari ini, kontribusi saya jelas sangat kecil, ya paling tidak kalau dibandingkan dengan para tokoh gerakan kemarin yang viral di media sosial Indonesia lah. Mereka yang berbicara di berbagai saluran televisi mewakili suara rakyat yang sambil tiduran nontonin mereka dari rumah apalagi yang teriak-teriak dengan megaphone-nya di bawah terik matahari atau sambil dihujani serangan senjata air atau yang sambil manjat ke atas mobil, papan iklan hingga pundak temannya, mereka yang membuat saya suka mendadak merinding dan tergetar hatinya. Bukan karena tiap kata yang keluar dari mulut mereka itu tertulis sempurna, tapi mereka, orang-orang di kanan kiri saya, mengingatkan saya kepada asa yang dulu sempat hilang dari hati saya kepada masa depan negara kita, kepada teman-teman sesama penerus bangsa saya.
Yang menarik bagi saya, setiap orang pasti punya perannya masing-masing. Entah sebagai tokoh-tokoh tadi atau mungkin ke skala yang lebih kecil, seperti medis yang memastikan teman-teman sehat, warga sekitar yang menyediakan minum gratis dari pinggir jalan untuk yang turun ke jalan, atau yang berkarya hingga meliput dan menyebarkan semangat ke segala penjuru negara. Beranikah saya bilang kalau mungkin justru orang-orang yang di atas ini lah yang bisa kita sebut dewasa di tulisan ini? Untuk sekarang, kita anggap saja, iya. Lalu, siapa yang masuk ke kategori ‘kebalikannya’? Yang diam saja? Atau pemerintah? Sebenarnya pemerintah yang dimaksud itu siapa, sih?
‘Wakil rakyat’ yang tugasnya, ya mewakili kita sebagai rakyat, kemarin disebut-sebut tidak bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Sebelum kita mencaci-maki personalnya, mungkin masalahnya itu berakar di pemaknaan mereka akan jabatan terhormat tadi. Kini perlu dipertanyakan bagaimana para wakil rakyat bisa sampai di sini dan duduk di kursi mereka masing-masing. Untuk sekumpulan orang-orang pintar, dewasa, mengayomi dan ya segala macam kriteria yang memang menentukan seseorang untuk dapat menjadi orang penting (penting di sini saya maksud sebagai seseorang yang bisa mempengaruhi kehidupan banyak orang dan/atau diandalkan dalam pengambilan keputusan besar), mengapa bisa memproduksi keputusan-keputusan serta pendapat-pendapat yang mengecewakan?
Bagi saya, ‘meremehkan’ menjadi kata kunci dalam masalah ini. Baik itu meremehkan hukuman atau sanksi, meremehkan tanggung jawab, meremehkan nilai dan moral atau meremehkan rakyat yang seakan dapat dibodoh-bodohi karena terlalu lama diam, tidak ikut campur dan terlalu jauh dari meja tempat tanda tangan keputusan-keputusan (yang padahal mempengaruhi mereka lebih dari apapun).
Membahas tentang pengaruh, saya jadi teringat oleh kutipan dari Emilio F. Moran, dalam bukunya People and Nature; An Introduction to Human Ecological Relations yang berbunyi “Thus, human political and economic systems, like ecological systems, resist changing their patterns until there is overwhelming evidence that something fundamental has changed which requires a shift in the structure and function of the system, if it is to survive.” Di mana ia berpendapat bahwa manusia tidak ingin merubah pola yang sudah ada bila tidak terdapat ancaman atau bukti konkret bahwa hal yang mendasar dalam pola (sistem sosial, ekonomi ataupun politiknya) harus diubah dalam rangka bertahan hidup. Dengan dasar ini, mungkinkan sebenarnya masalah ini dapat kita hindari dari lama, namun selama ini setiap pihak (baik yang sekarang diserang ataupun menyerang) mengundur-undur atau menyangkal akan perlunya suatu perubahan, hanya karena belum timbul bukti konkret yang mempengaruhi hidup kita secara mendalam dan/atau personal?
Kini, setelah bukti konkret telah terpapar di depan mata, rakyat dan khususnya mahasiswa turun ke jalan untuk unjuk rasa. Entah resah, kecewa, marah, sedih atau bingung. Entah juga, demo nya yang sangat berhasil atau karena apa, tapi kemarin kami pulang tidak dengan tangan kosong. Apa alasan sebenarnya di balik bila aksi-aksi kemarin yang dilakukan oleh rakyat di jalanan berhasil dan mengubah situasi dan keputusan para wakil rakyat? Apakah karena para wakil rakyat kemarin hanya khilaf dan kemudian disadarkan oleh aksi-aksi kemarin? Atau jangan-jangan cuma karena nama baiknya terancam? Entahlah, tapi saya rasa alasan kedua jauh lebih masuk akal kalau mengingat sifat yang kini sedang merajalela jiwa banyak manusia di dunia. Baik itu dalam kasus sesederhana pencemaran nama baik dengan dieksposnya kesalahan pribadi ataupun berupa ancaman atau tuntutan akan kesalahan yang dilakukan kelompok, media sosial dan kekuatan supernya dalam menyebarkan berita, gosip dan informasi dalam sekejap mata kini menjadi senjata terkuat yang dapat diakses dan disentuh setiap orang. Ya.. minta maaf hanya supaya dimaafkan, bukan karena merasa bersalah.
Contoh paling sederhana, tren anti sedotan plastik yang kini booming di mana-mana. Memang tren ini bersifat sangat positif dengan membangga-banggakan penggunaan sedotan non-plastik, tapi disaat yang bersamaan dan secara tidak langsung juga menjatuhkan pihak-pihak dan kelompok-kelompok yang masih mendukung penggunaan sedotan plastik tadi. Dengan banyaknya orang dan kelompok yang kemudian ter-edukasikan oleh tren ini, tidak sedikit pula yang akhirnya ikut serta, bukan karena sepenuhnya setuju namun karena menghindari caci-maki bila tidak bergabung atau masih berada di sisi yang berlawanan. Hal yang serupa dapat kita temukan dalam permasalahan-permasalahan negara, perusahaan-perusahaan besar di mana mereka ‘menyerah’ bukan karena setuju dengan pihak lawan, namun demi menjaga nama baik dan terhindar dari serangan-serangan lain yang akan lebih merugikannya di masa yang akan datang.
Jadi, siapa yang belum dewasa?
Comments