top of page
Search

How Men See Women, and How Women See Women


Oleh Breezy Putri Samudra Smith dan Figo Firman Nugraha



Lukisan menurut kami sendiri merupakan suatu hal yang terbilang jujur. Mengapa kami bisa mengatakan demikian? Kami melihat bahwa “jujur” disini tidak hanya pemaknaan sebuah gambar peristiwa yang telah tertuang di dalam canvas, namun ia bisa dikatakan jujur karena rasa yang dimiliki oleh sang-seniman akan apa yang ingin ia sampaikan. Kalau dari buku yang berjudul Guide-Book Biennale Jogja XV/2019 yang kami beli seharga Rp.20.000,00 tertulis bahwa lukisan itu ibarat sebuah puisi tanpa kata-kata. Di buku itu juga tertulis bahwa lukisan memiliki sifat yang subjektif, karena tergantung pada bagaimana seorang perupa menilai suatu fenomena. Tidak hanya itu, lukisan maupun seni rupa ternyata juga mampu melihat sebuah permasalahan sosial salah satunya persoalan tentang perempuan.


Berbicara tentang perempuan tidak dapat dipungkiri bahwa perempuan sebagai objek seni lebih mendominasi daripada perempuan sebagai subjek seni. Hal ini karena banyaknya perempuan yang digunakan sebagai model lukisan yang hanya mengekspose keindahan tubuhnya sehingga dalam karya seni apa yang bisa dipahami dari perempuan hanyalah estetika tubuhnya, tidak termasuk kompleksitas kehidupannya. Kedatangan kami pada pameran seni Biennale Jogja yang memasuki edisi kelima ini, ingin melihat akankah adanya sebuah perbedaan antara pameran seni Biennale dengan pameran seni lainnya ketika membicarakan perempuan sebagai ide yang tertuang dalam karya seni rupa.


Tahun ini Biennale Jogja Equator telah mencapai edisi yang kelima. Biennale diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 2019 hingga 30 November 2019 yang bertempatan di 5 venue yang berbeda diantaranya ialah, Jogja Nasional Museum, Kampung Jogoyudan, PKKH UGM, Kampung Ketandan, dan Taman Budaya Yogyakarta. Biennale Jogja hadir membawa tema “Do we live in the same PLAYGROUND?”. Perhelatan ini melibatkan 52 seniman Asia Tenggara dengan karya-karya yang menyinggung persoalan “Pinggiran”. “Pinggiran” di sini dapat berupa identitas gender, ras, agama, konflik sosial-politik, perburuhan, lingkungan, hingga praktik kesenian. Dari hal ini kami percaya bahwa kesenian dapat menjadi sebuah upaya penting dalam membuka kebuntuan dialog, menggali kembali narasi-narasi yang (di)sembunyi(kan), membangun lagi hubungan-hubungan yang terputus karena konflik dan ketidaksalingmengertian (Alia Swastika 2019).


Tanggalan Barohiwiyah oleh Yosep Arizal



Memasuk galeri Biennale JNM kami disambut oleh pajangan yang mengisi lorong-lorong galeri. Motor tua, kursi tenis, dan potongan kayu memberi suasana seperti berada di kampung. Hari itu cukup panas sehingga kami mengarungi karya-karya sembari mengipas-ngipas diri. Lantai pertama kami jelahi pelan-pelan sembari memahami makna di balik tiap karya. Manikki lantai dua kami pun bertemu dengan suatu karya. Karya berjudul “Tanggalan Barohiwiyah” oleh Yosep Arizal dengan cepat menarik perhatian kami. Gambar-gambar wanita dan pria yang sedang bersentuhan membuat kami penasaran tentang karya ini. Setelah membaca deskripsinya, ternyata karya tersebut mengandung pengetahuan seksualitas Jawa. Di tengah ruangan terdapat kitab primbon yang dibuat sendiri oleh seniman dan tertulis dengan huruf pegon yang dipajang dalam kaca instalasi di tengah ruangan. Kitab tersebut menggunakan sistem penanggalan 15 hari yang menunjukkan 15 bagian badan perempuan yang perlu disentuh pada hari-hari tertentu sebelum akhirnya melakukan hubungan seks. Namun, “Tanggalan Barohiwiyah” sendiri adalah suatu respons dari Yosep Arizal terhadap kitab tersebut yang bersifat male-gaze atau dari sudut pandang laki-laki, sedangkan hal yang dibicarakan adalah tubuh dan kenikmatan perempuan. Oleh karena itu, Yosep Arizal membuat versinya sendiri dari kitab tersebut dan memposisikan laki-laki sebagai objek tatapan.



Mengelilingi ruangan terdapat lukisan yang memvisualisasikan hari-hari dan bagian tubuh pria apa yang perlu disentuh pada hari tertentu. Terdapat juga suatu naskah yang berisikan petunjuk tersebut yang diterjemahkan ke dalam bahasa indonesia dan bahasa inggris. Selain itu, di satu sisi ruangan juga dipajang instalasi Yoni. berbagai pajangan berbeda yang menggabungkan seksualitas dan tradisi Jawa cukup membuat saya betah di ruangan tersebut, sebab ketertarikan kami kepada kedua topik itu. Kondisi ruangan yang sepi juga membuat kami tidak tergesa untuk pergi. Ketertarikan untuk mencoba apa yang disampaikan karya juga membuat kami mencermati naskah yang disediakan di samping pintu masuk ruangan.


Karya tersebut menarik perhatian kami karena beberapa hal. Pertama, ia membahas seksualitas, suatu topik yang masih dianggap tabu. Kami sendiri kerap resah akan kesunyian dan rasa malu yang mengelilingi topik seksualitas dalam arus utama. Kami memandang bentuk shame and silence yang mengelilingi seksualitas adalah bentuk manipulasi kebenaran yang amat bahaya. Pada kenyataannya banyak orang yang menikmati seks dan tak seharusnya ada rasa bersalah jika iya, namun kami merasa hal tersebut masih kurang diperbincangkan dalam media arus utama. Ketiadaannya ruang diskusi mengenai seksualitas dapat menjadi suatu yang merugikan, baik dari segi kesehatan reproduksi maupun praktek seks yang aman, sehat, maupun optimal. Oleh karena itu kami sangat senang ketika melihat karya yang mengangkat isu seksualitas sehingga membuka lebih banyak ruang untuk berdiskusi dan perlahan mengangkat kabut yang mengelilingi topik setabu seks.


Kedua, narasi alternatif yang diberi oleh seniman untuk menghindari karya yang bersifat male-gaze. Meski menarik melihat suatu kitab tradisi Jawa yang membahas seks-sehingga menunjukkan perbandingan antara zaman dulu yang terkesan lebih santai membicarakan topik yang kini dianggap tabu-namun kitab itu tetap saja dapat dikritisi akan sifatnya yang male-gaze. Yosep melihat hal tersebut dan memberi alternatif. Oleh karena itu kami menyukai fakta bahwa Yosep Arizal mengkoreksi suatu tradisi yang sudah tua dan menunjukkan bagaimana jika suatu yang kurang lebih problematis diberi versi alternatif.


Ketiga, peleburan seksualitas dengan spiritualitas dan tradisi Jawa. Topik seksualitas sendiri sudah menarik untuk disimak. Namun penggabungannya dengan spiritualitas dan tradisi Jawa memberi karakter yang lebih otentik kepada isu yang diangkat. Seks yang dikaitkan dengan spiritualitas pun ditarik lurus menuju transendentalisme dan tidak di framing sebagai hal yang buruk seperti narasi arus utama mengenai seks. Peleburannya dengan tradisi Jawa pun juga memberi nilai estetis ke dalamnya, sembari menunjukkan bahwa sebelum era post-truth sekarang ini kita pernah membicarakan seksualitas secara kasual.


Kata Untuk Perempuan oleh Ika Vantiani




Kami yang sengaja berlama-lama dan menikmati karya hebat oleh Yosep yang terletak di lantai 1, akhirnya kami bergegas menginjakkan kaki kami pada lantai selanjutnya. Ketika berada di lantai 2, kami mendapatkan sebuah feel yang sangat berbeda, instalasi yang ada disana pun terlihat memiliki gaya yang lebih modern, berbeda dengan lantai sebelumnya yang sangat menunjukkan bagaimana wujud asli dari “pinggiran” itu sendiri. Karya Ika tentang women empowerment, menarik perhatian kami. Instalasinya sangat besar dan luas sekali, terdiri hanya dari berbagai potongan gambar dan tulisan dari majalah bekas yang membentuk sebuah ungkapan akan bagaimana seorang wanita direpresentasikan. Judul karya ini dinamai oleh Ika yakni, Kata Untuk Perempuan. Kami dengan teman kami lainnya sangat antusias ingin membuat kolase seperti yang tertampang di dinding. Tak jarang kami tertawa ketika membaca tulisan-tulisan itu, seperti misalnya ketika membaca tulisan gossip, membuat kami mengingat bahwa kami sangat sering melakukan ini. Namun yang menarik bagi kami bukan karena tulisan-tulisan yang sering kami temukan sehari-hari tapi tulisan yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh kami sebelumnya seperti misalnya cow. Kami terus bertanya-tanya dalam pikiran kami masing-masing mengapa kata ini keluar dari seorang perempuan untuk perempuan sendiri. Jawabannya sangat mengerikan bagi kami ketika bagaimana sebuah perempuan diartikan sebagai cow. Sebutan ini ternyata familiar di bagian bumi Australia dan Inggris. Perempuan yang mendapatkan sebutan ini ketika ia dilambangkan sebagai penghasil susu dan lamban seperti sapi. Sangat jahat sekali! Lewat proyek ini, Ika ingin mengajak kita melihat bagaimana perempuan direpresentasikan lewat bahasa yang kita pergunakan sehari-hari. Kami melihat instalasi ini sebagai titik temu berbagai macam manusia dengan semua gender yang ada, berdiskusi dan berinteraksi mencoba menangkap makna dari masing-masing tulisan.


Ika disini memilih berkarya dengan bertemakan perempuan (feminism) sebagai wujud eksistensi untuk kaum perempuan. Kami juga mengasumsikan bahwa makna dari karya Ika bisa jadi untuk melawan sistem patriarki dengan membawa suara-suara masyarakat yang tidak tersampaikan. Isu “pinggiran” dan perempuan sangat erat keterkaitannya. Pinggiran yang tidak hanya berbicara mengenai geografis juga turut berbicara mengenai kaum-kaum yang terpinggirkan, perempuan salah satunya. Dengan adanya seni rupa sebagai medan pertemuan proses kreatif juga menjadi sarana yang memberi saluran refleksi tak terbatas dalam melakukan analisa pengolahan tanda-tanda secara produktif. Bagi kami karya seni tidak hanya diciptakan sekedar untuk ditampilkan, tetapi harus penuh dengan gagasan dan pendirian serta pengalaman tertentu yang hendak dikomunikasikan oleh penciptanya. Kami pada siang hari itu secara tidak langsung menjadi seniman dadakan dan turut menyumbangkan karya. Kami diajak oleh panitia disana menghabiskan waktu kurang lebih sejam membuat karya kolase atau biasa kita kami kenal sebagai zine. Kami diminta untuk membuat zine dengan berangkat dari sebuah pertanyaan “apa satu kata yang artinya perempuan untukmu?”. Kami sangat antusias, mengobrak-abrik majalah bekas, menyobeknya, hingga ia berubah menjadi karya yang luar biasa. Ya luar biasa bagi kami karena dengan karya Ika ini setidaknya kami bisa menyuarakan suara tanpa harus benar-benar bersuara. Terima kasih Ika karena telah diberinya ruang kepada khalayak untuk decide what is woman”, dengan harapan perempuan tidak lagi menjadi yang “terpinggirkan”.



Hubungan kedua karya dan apa yang kita rasakan


Kedua karya memberi respon terhadap terpinggirkannya wanita, baik dari segi seksual maupun secara general dan sehari-hari. Melalui kedua karya wanita diberi ruang untuk menarik lagi narasi tentang diri mereka. Dalam karya Yosep Arizal, posisi wanita sebagai objek tatapan diganti oleh pria dan ketika berbicara mengenai pinggiran menurut pernyataan ia sendiri ia lebih menekannya terhadap kitab primbon itu sendiri dimana kitab ini sudah sangat jarang digunakan di kehidupan yang sekarang. Sedangkan dalam karya Ika Vantiani, pengunjung (khususnya perempuan) diberi kesempatan untuk menyuarakan bagaimana mereka mendeskripsikan perempuan, sehingga pengunjung perempuan dapat menentukan deskripsi mereka sendiri, bukan oleh orang lain. Kedua karya memberi pemberdayaan dan ruang narasi kepada wanita yang kerap terpinggirkan oleh sistem patriarki. Pesan yang coba kita tangkap di sini ialah berkaryalah tanpa ada kata “perempuan” dalam prosesnya. Kami melihat bahwa kesenian mampu menawarkan gagasan kesetaraan didalamnya. Berkarya juga bukan lagi menjadi persoalan apakah perempuan atau pria, tetapi tentang ide yang dibawa dalam setiap penciptaan karya apakah sudah mampu memberi dampak baik pada penikmatnya. Membawa gagasan pada masyarakat dengan memberikan sesuatu yang positif. Kedua karya di atas mampu memberikan perspektif baru mengenai isu pinggiran dan melihat narasi jenis apa yang ditandai atau menandai dirinya sebagai “pinggiran”.


Referensi

Brosur Biennale Jogja Equator #5 2019


Tim Kurator Biennale Jogja Equator #5. 2019. Tentang Biennale Jogja. https://biennalejogja.org/2019/mengapa-pinggiran/ (diakses pada 21 November 2019).


Instagram laviaminora. https://www.instagram.com/p/B30oSGXA0EG/ (diakses pada 21 November 2019)

76 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page