Gejayan Memanggil, Manifestasi Harmoninya Demonstrasi
- Viky Setya Nusantara
- Oct 4, 2019
- 4 min read
Updated: Oct 14, 2019
Indonesia, negara yang sedang dirundung banyak permasalahan. Mulai dari kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sebagian titik wilayah, bencana alam, hingga penyampaian aspirasi rakyat atas kebijakan negara yang dinilai berujung pada ketidakadilan. Bisa saya katakan bahwa cara penyampaian aspirasi rakyat menjadi fenomena yang tak pernah padam.
Salah satu manifestasi cara penyampaian aspirasi adalah dengan melakukan aksi atau unjuk rasa atau demonstrasi. Meminjam KBBI, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan pernyataan protes yang dilakukan secara massal dengan dalih menginginkan perubahan kebijakan suatu pemerintahan agar sesuai dengan harapan kepentingan bersama dan berguna bagi semua golongan. Demonstrasi dapat dikatakan sebagai aksi damai juga sebagai aksi radikalisme. Dikatakan aksi damai apabila demonstrasinya berjalan dengan lancar, sedangkan diasosiasikan dengan radikalisme saat aksi yang dilakukannya dihiasi kekerasan.
Berbicara perihal aksi, akhir-akhir ini media massa diwarnai banyak pemberitaan aksi mahasiswa di berbagai daerah untuk menyatakan ketidaksepakatannya akan hasil pemikiran elit politik Indonesia, tak terkecuali di D.I. Yogyakarta. Bertajuk ‘Gejayan Memanggil’ banyak mahasiswa dari berbagai universitas di Kota Pelajar ini sepakat bersama-sama turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi kolektifnya. Aksi mahasiswa ini sebagai wujud penolakan terhadap RUU KPK, KHUP, dan sebagainya yang kini kontroversial di masyarakat.
23 September 2019 menjadi momentum besar di Yogyakarta yang diprakarsai aliansi mahasiswa setempat. Mereka (termasuk saya) menjalankan aksi damai–Gejayan Memanggil–sebagai bentuk protes kolektif terhadap kebijakan pemangku negeri sekaligus menyuarakan bahwa negeri kita sedang tidak baik-baik saja saat ini. Aspirasi kami setidaknya dikemas dalam tujuh tuntutan yang selengkapnya terlansir di laman merdeka.com.
Melibatkan diri dalam aksi ini membuat saya tertegun, selama ini saya (mungkin masyarakat lain juga) beranggapan bahwa aksi/demostrasi diasosiasikan dengan tindakan anarkis yang berujung pada pertumpahan darah. Tetapi hal itu tidak terjadi dalam Gejayan Memanggil. Keharmonisan dan teraturnya aksi ini yang membekaskan kesan tersendiri di benak saya. Tidak perlu menghabiskan tenaga besar untuk bersitegang dengan aparat negara di tempat, secara damai pun juga bisa turut menyuarakan.
Sifat aksi (damai) yang diusung oleh Gejayan Memanggil inilah yang juga menjadi faktor pemicu saya untuk memutuskan ikut turun ke jalan karena juga memiliki draft yang jelas. Eliesta Handitya[1] menyatakan, aksi damai dipilih agar aspirasi yang massa bawa bisa didengar baik oleh semua kalangan masyarakat juga tentunya bisa menjadi atensi pemerintah. Saya pribadi sepaham dengan pernyataan tersebut. Melalui aksi yang kondusif, maka aspirasi bisa dengan jelas dikonsumsi publik. Bayangkan saja bila keanarkisan terjadi, maka pihak yang dituju justru cenderung tidak akan merespons dengan baik dan malah semakin menyantai di atas empuknya kursi.

Aksi Gejayan Memanggil yang berlangsung hari ini diikuti oleh anak-anak SD.tirto.id/Zaki Amali
Aksi damai ini disambut baik oleh masyarakat yang bisa saya temui faktanya di lapangan. Jika biasanya massa aksi diasosiasikan dengan orang-orang yang kurang kerjaan dan anarkis, tapi kini semua elemen masyarakat, seperti teman-teman saya sendiri yang biasanya tidak begitu menaruh atensi pada demonstrasi justru kala itu turun ke jalan untuk turut menyuarakan aspirasinya karena merasa negara yang digadang-gadang demokratis ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini turut dibenarkan oleh Handitya bahwa pada saat di lapangan tidak hanya mahasiswa yang menyuarakan, masyarakat yang biasa duduk manis di rumah turut serta dalam aksi ini termasuk ibu-ibu.
Kelompok masyarakat yang dikenal dengan “emak-emak” ini menyuarakan aspirasinya dengan menggendong anaknya. Juga masyarakat difabel turut tergerak hatinya untuk ikut bersuara. Inilah pemandangan yang berbeda dari situasi-situasi demonstrasi lainnya. Ikutsertanya kedua kelompok masyarakat tersebut yang juga menjadi pertimbangan bagi penggerak aksi untuk tetap menjaga kekondusifan jalannya aksi tersebut.
Terlepas dari Gejayan Memanggil, adanya unjuk rasa yang damai ternyata tidak untuk pertama kalinya mewarnai Indonesia. Kegiatan menyuarakan aspirasi ini sejatinya telah hadir di masyarakat sejak saat pra-kemerdekaan, salah satunya di Provinsi D.I. Yogyakarta. Pranadji (2008) membenarkan hal ini bahwa dulu sebelum era demokrasi, di Yogyakarta sudah ada kegiatan unjuk rasa masyarakat kepada Raja yang dikenal dengan istilah “tapa pepe”. Mereka yang merasa tidak mendapat keadilan akibat kebijakan yang ada, menyuarakan aspirasinya agar didengar oleh Raja. Dengan duduk di bawah terik matahari (pepe) menghadap Keraton, mereka menunggu datangnya abdi dalem untuk menyuarakan keluh kesahnya yang nantinya akan disampaikan oleh Sultan yang sedang duduk di Siti Hinggil. Bahkan, jika dirasa keluhannya sangat krusial, tanpa pikir panjang Sultan akan meminta masyarakat yang melakukan tapa pepe itu untuk berdialog bersamanya.
Bisa disimpulkan bahwa aksi unjuk rasa cenderung telah mengalami transformasi dari masa ke masa. Jika pada masa pra-kemerdekaan unjuk rasa cenderung lebih kondusif maka berbeda halnya pada masa selanjutnya (pasca Orde Baru). Kala itu massa jauh lebih agresif yang akhirnya berujung pada anarkis. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa situasi antar demonstrasi di kota-kota tidak bisa dipadankan, tapi setidaknya usaha preventif bisa lebih ditingkatkan untuk meminimalisasi kejadian-kejadian yang mengacaukan aksi di lapangan, sepertinya hadirnya provokator. Tindak anarkis juga akan berdampak pada respons pihak yang dituju berbeda dengan aksi yang berjalan damai. Untuk saat ini masih langka dijumpai pengujuk rasa diundang (oleh wakil rakyat atau aparat) untuk diajak berdialog dalam mengatasi keluhan yang disampaikannya.
Pada umumnya, dilakukannya aksi unjuk rasa dinilai sebagai jalan terakhir bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutannya dalam bentuk protes terbuka di ruang publik. Sejatinya secara umum masyarakat sangat memahami perihal pentingnya penyampaian pendapat secara santun dan damai. Diselanggarakannya Gejayan Memanggil tidak lain turut menjadi sebuah sirine bagi masyarakat Indonesia pada umumnya bahwa negara kita seolah dijadikan games oleh wakil rakyat. Mereka dengan leluasa bermain dengan kekuasaannya hingga lupa akan kewajibannya yang mana harus mendengar aspirasi rakyat demi kesejahteraan bersama, bukan kepentingan terencana mereka.
Terlepas dari hal itu, sejauh ini aksi Gejayan Memanggil telah menjadi satu acuan aksi unjuk rasa bagi masyarakat di luar Yogyakarta. Melalui aksi ini tidak selamanya penyampaian aspirasi harus dilakukan dengan kekerasan, jika dengan cara-cara yang kondusif saja bisa dilakukan mengapa tidak? Ya, meskipun aksi ini hanya menjadi simbol perlawanan atas kebijakan yang ada dan tidak langsung menjadikan kantor pemerintahan sebagai titik pusat aksi, tetapi setidaknya aksi ini bisa turut mengurangi kealotan pemerintah yang dinilai tidak lagi mengutamakan demokrasi. Publik hanya berharap adanya panggung dialog bersama untuk membangun sikap saling percaya (mutual trust) agar aspirasi rakyat turut dipertimbangkan dalam perumusan kebijakan negara.
[1] Mahasiswa yang tergabung dalam aliansi rakyat bergerak.
Comments