top of page
Search

Gadget: Problematika untuk Menenangkan Anak


Sumber Foto: Dokumen Pribadi

Keberadaan gadget pada era globalisasi dan kemajuan teknologi digital saat ini sangat berperan penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya generasi tua –yang telah memiliki penghasilan saja yang memiliki gadget, bahkan anak dibawah tiga tahun pun seringkali telah diberikan gadget oleh orangtuanya. Problematika ini yang membuat saya bertanya-tanya apakah gadget ini sebegitu pentingnya bagi kehidupan manusia atau sebagai apa. Bahkan, anak dibawah tiga tahun pun seringkali telah memahami cara menggunakan dan mengaplikasikan gadget orangtuanya dan bahkan seringkali kecanduan memainkan gadget –walaupun sekadar melihat Youtube.

Pengaruh budaya dan globalisasi yang dinamis seringkali menjadi penyebab adanya perbedaan pola asuh dan didikan kepada anak. Dapat dilihat seperti era ’99 kebawah, para orangtua lebih sering menanamkan afeksi berupa pengertian dan kasih sayang, diberikannya mainan yang dapat merangsang gerak motorik anak, ataupun memberikannya susu jikalau sang anak membutuhkannya. Namun, pada fenomena masa kini, lahir kisaran 2013 keatas, hal-hal yang diatas disebutkan sekiranya kurang mampu untuk memenuhi keinginan mereka. Mereka lebih sering memilih gadget daripada melakukan komunikasi sosial dengan orang disekitarnya. Tidak perlu jauh-jauh melihat fenomena ini, saat saya belum merantau dan mempunyai tetangga yang masih kecil dan kebetulan seumuran dengan sepupu saya, saya mengamati pola asuh kedua orangtua yang memiliki perbedaan dari aspek sosial-budaya serta ekonomi keluarga. Dimana tetangga saya yang kebetulan ayahnya berprofesi sebagai driver ojek online dan ibu penjual nasi uduk biasa memberikan anaknya handphone miliknya untuk menyetelkan Youtube untuk anaknya. Dikatakan bahwa sang anak akan rewel apabila ia tidak diberikan handphone. Agar sang anak dapat duduk dengan tenang dan tidak rewel lagi saat sang ibu bekerja,maka seringkali anak itu dipapari handphone, lama kelamaan anak ini tidak mau lepas dari handphone tersebut dan akan marah besar jika keinginannya tidak dipenuhi. Selain itu, ternyata sang anak merasa ketakutan jika pertama kali bertemu orang baru dan berusaha menutup diri. Orangtuanya pun kewalahan melihat sikap anaknya dan semakin bingung bagaimana cara menenangkan sang anak dan membuatnya berbaur dengan lingkungan sekitarnya. Sang Ibu, sebut saja mbak Atun, sempat bercerita kepada saya, bahwa karena kesibukannya dalam menerima pesanan nasi uduk maka ia pun sering sibuk di dapur, dan sang anak pun tidak dapat diawasi penuh oleh kedua orangtuanya. Seringkali sang ibu kebablasan memberikan waktu menonton Youtube dan tidak diberi batasan waktu bermain gadget. Dilain hal, mbak Atun pun sempat mengeluh bahwa handphone yang ia berikan kepada anaknya menimbulkan masalah baru, yaitu masalah keuangan keluarga. Uang yang semula cukup untuk makan sehari-hari dan bisa disimpan beberapa persen untuk ditabung, kini menjadi pas-pasan dan mereka harus bekerja lebih giat lagi karena adanya pengeluaran tambahan, yaitu paket data untuk anaknya. Berbeda hal dengan cara keluarga sepupu saya yang orangtuanya selalu berusaha bersikap tegas kepada anaknya. Ncing saya, tante dalam bahasa Betawi, menerapkan bahwa tidak apa jika sang anak menonton Youtube, asalkan tidak melebihi batas waktu dan aturan yang telah disepakati bersama oleh ia dan suaminya. Ncing saya yang kebetulan seorang guru sd di daerah Rempoa, Tangerang Selatan seringkali membawa anaknya ke sekolah dan anaknya pun mudah berbaur dengan orang sekitarnya. Anaknya pun jadi memahami waktu-waktu kapan saja ia boleh bermain gadget atau tidak, faktanya, kebiasaan yang telah diterapkan oleh ia dan suaminya pun membuat sang anak dapat mengatur emosinya dan mudah berbaur dengan orang sekitarnya.

Perbedaan dari kedua kasus ini baik disadari secara langsung atau tidak ternyata memengaruhi aspek sosial emosional anak. Menurut penulis, penggunaan gadget yang berlebih dapat memicu ketergantungan sehingga anak akan memiliki emosi yang tidak stabil dan ketergantungan. Sebagaimana diketahui dalam kamus istilah psikologi (Kartono dalam Chaplin, 2008), egosentrisme didefinisikan sebagai keasyikan terhadap diri sendiri, anak masih menganggap bahwa dirinya sebagai pusat dari segala kepentingan. Anak yang masih tergolong egosentris dan mudah sekali dalam menangkap informasi dari apa yang mereka lihat ini lah kemudian ia jadikan proses belajar lalu ditiru dan dijadikannya acuan dalam kehidupan sehari-harinya. Penggunaan gadget yang terus-menerus pun menjadi penghambat hubungan sosial antara orangtua dan anak, dimana keluarga merupakan kunci dari perkembangan kehidupan sang anak.

Di era teknologi digital ini seringkali anak usia dini berinteraksi dengan gadget dan juga dipengaruhi daya pikir anak terhadap sesuatu di luar hal tersebut, ia akan merasa asing dengan lingkungan sekitar karena kurangnya interaksi sosial. Namun kemajuan teknologi juga dapat membantu daya kreatifitas anak jika pemanfaatannya diimbangi dengan interaksi anak-anak dengan lingkungan sekitarnya agar mereka dapat mengetahui bagaimana cara memanfaatkan teknologi untuk memuaskan hasrat bermain mereka. Alangkah lebih baiknya jika orang tua mengawasi anak-anaknya ketika bermain gadget agar mereka tidak terlalu tergantung dengan gadget dan tidak melupakan untuk bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

Nyatanya, gadget memang dibutuhkan untuk sarana komunikasi terhadap segalanya. Tetapi pengawasan serta bimbingan orang tua terhadap anak harus selalu dilakukan. Karena jika orangtua terlena dan membiarkan anak bermain gadget dengan jangka waktu yang lama, lama-kelamaan sang anak hanya bisa bermain gadget dan tidak bisa berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, sebaiknya orangtua mengenalkan gadget pada anak dan juga mengenalkan budaya atau tradisi dalam arti cara menghormati dan sopan santun dalam bermasyarakat. Sehingga peran anak di masa yang akan datang menjadi lebih baik.

Referensi:

Ciccarelli, Saundra K; J Nolland White. 2nd Edition. 2009. PSYCHOLOGY. New Jersey : Pearson Education, Inc.

(Putri & Hazizah, 2018)

(Rohayati, 2013)

14 views0 comments

Recent Posts

See All

PEMBATASAN JAM MALAM BAGI PEREMPUAN

Nama: Hanum Ari Prastiwi NIM: 18/424761/SA/19133 Mata Kuliah: Komposisi Menulis Kreatif (menulis etnografi) Alasan pembatasan jam malam pada perempuan terutama suku Jawa sudah tidak asing dengan kalim

bottom of page