top of page
Search

For The Sake of Art

Updated: Dec 26, 2019

Biennale Jogja XV Equator #5 2019 : For The Sake of Art


Oleh Haratua Zosran Abednego & Sarah Vabio

Pintu masuk Biennale Jogja XV Equator #5 2019

Pameran Biennale Jogja 2019 tidak hanya menggugah perasaan dan mengubah sudut pandang, namun juga memberikan perubahan pada responsi emosi dan sikap atas isu-isu yang disampaikan oleh para kontributor Biennale. Melalui karya-karya seni kontemporer dan kurasi yang apik, Biennale seakan memberikan pernyataan tegas mengenai agendanya: representasi. Karya-karya yang dipamerkan adalah gerakan moralitas seniman dalam mengubah sudut pandang para pengunjung. Praktik ini biasa disebut juga experimental ethnography, dimana reaksi penonton atau pengunjung terhadap karya menjadi fokus utama dari karya seni. Tetapi Biennale menyadarkan kami akan isu yang nyata terjadi di depan mata, bahwa agenda representasi isu marjinal ini rentan terjebak dalam persoalan: sekedar direpresentasi secara eksotis dan dibicarakan secara romantis. Apakah praktik-praktik ini terjadi dalam ruang lingkup eksibisi Biennale? Bobot mengenai representasi menjadi sebuah dilema dalam mengemukakan hal-hal sensitif. Perjumpaan antara perwakilan politik dan pengatasnamaan seni, menghasilkan dikotomi ketat antara pahlawan dan penjahat, meski keduanya tetap mengusung keresahan yang sama.




Menyerap dari konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat, kami mengandaikan ide berjalan melalui lintasan tiga dimensi linear: pikiran, perilaku, dan produksi; cipta, karya, dan karsa; intangible dan tangible. Kontestasi “apolitis” dan estetika dipertaruhkan pada langkah kaki pertama kami memasuki venue eksibisi di Jogja National Museum (JNM). Impresi pertama yang kami dapat dari Biennale Jogja XV Equator #5 ini adalah akselerasi dari plot-plot dalam kisah masing-masing objek karyanya. Ibaratkan kisah Ramayana, kami dibawa langsung kebagian dimana Rahwana ditikam oleh panah Rama, ini yang kami rasa pada perjumpaan pertama kami dengan karya Made Bayak, Plastiliticum. Made Bayak berhasil menyentuh kesadaran tiap pengunjung dengan cara yang beragam dan berbeda. Dibantu oleh teriknya matahari dan periode pameran yang berlangsung selama satu bulan, sampah plastik yang ditumpuk bak piramida tersebut menghasilkan impresi: pengap, bau amis, dan sumpek pada kami. Made Bayak menghadirkan kenyataan yang tidak semua orang rasakan, yaitu kenyataan di akhir pembuangan sampah, di tempat plastik-plastik itu tidak digunakan lagi, di tempat dimana manusia membiarkan ciptaannya meracuni hewan dan tumbuh-tumbuhan, seakan-akan membentak pengunjung “nah rasain!” Konflik dan kontestasi antara muatan estetika dan politik, walau tidak nampak, menyentuh kesadaran tiap pengunjung dengan cara yang begitu beragam dan berbeda. Kadang di satu dimensi saja, kadang di dimensi lainnya, kadang memberikan dampak, kadang tidak sama sekali, maka bukan kesalahan apabila ada pengunjung yang menolehkan satu karya seni dan berpindah ke karya selanjutnya.

Di dalam Biennale Jogja ini, dilema yang dimunculkan adalah mengenai apa yang diwakilkan, bagaimana cara perwakilannya, dan siapa yang mewakilkan, antara privileged dan marginalized, dan bagaimana seniman dapat terus jujur dalam menghasilkan karya estetika yang menyentuh senandung perasaan manusia. Bagaimana muatan politik dapat menghasilkan perasaan kagum yang cerah untuk dilihat. Bagaimana ironi menjadi transportasi utama para seniman ini untuk menyatukan dikotomi di atas dan menghasilkan representasi ide, perilaku, dan produksi; cerita, masa, dan tempat. Plastiliticum memberikan refleksi keras untuk siapapun yang hendak memulai perjumpaan reproduksi ide dan etnografi kuasa di dalam perhelatan karya seni representasi ini.

Tema payung dari pameran Biennale di venue JNM adalah: Do We Live in The Same Playground. Kami sepakat bahwa tema ini seakan menjadi a wake up call bagi pengunjung maupun para kontributor. Tinggal bagaimana caranya para seniman dalam merespon tema tersebut dan permasalahan yang ditemukannya di lapangan; apakah mereka akan diam saja, atau menghasilkan sesuatu, apapun itu. Residensi Kelana Sungai merupakan salah satu bentuk nyata respon tersebut. Merupakan proyek yang dilakukan oleh Yayasan Biennale untuk menyadarkan pesertanya agar sadar diri dan berbuat sesuatu setelah mempelajari isu yang terjadi di lapangan. Para peserta residensi, selain mampu menghasilkan karya, tetapi juga mendapat temuan-temuan baru dari hasil melihat langsung ke lapangan. Kami menyimpulkan bahwa dalam sebuah proses pembuatan hingga dipajang di galeri dalam sebuah pameran, karya seni terdapat tiga dimensi yang melekat: dimensi emik, dimensi etik, dan dimensi liminal. Dimensi liminal merupakan kuasa penuh dari para pengunjung pameran, sebab mereka tidak terhubung secara langsung dengan kenyataan di lapangan, melainkan melalui representasi para seniman


Di balik Perlindungan: In The Name of Art


Seniman, dalam kasus karya-karya representatif, memiliki multiple roles sebagai tim riset, penulis, pengarsip, musafir, dan etnografer dalam proses riset mengenai topik karyanya. Pun dalam proses tersebut terdapat dimensi etik di dalamnya, yang tidak jarang jauh dari metodologi dan epistemologi ilmiah. Seniman juga kerap kali mendapat label free spirited, dan -sebab atas nama seni- bebas menorehkan pendapat dan responnya terhadap apa yang terjadi di lapangan tanpa konsekuensi dari komunitas ataupun peraturan yang hirarkis. Bahkan dalam beberapa kasus ditemukan mereka-mereka yang tidak turun langsung melakukan riset ke lapangan melainkan membayar orang lain untuk melakukannya untuk mereka. Ketidakterikatan antara seniman, objeknya, dan data empiris mengenai objeknya menghasilkan dilema besar dalam konteks seni representasi.

Tetapi kembali lagi pada kemungkinan bahwa kami hanya dua orang awam yang tidak begitu paham mengenai sisi penciptaan sebuah karya seni. Tapi buah pikiran kami dapat dikatakan seperti ini: bahwa seni membawa bobot representasi, kebenaran yang ditunjukkan hanya sebagian, –bukan secara menyeluruh- dan merupakan kebenaran emik dan etik. Seni menjadi suatu hal yang sensitif dan tidak dapat diganggu-gugat. Memposisikan diri dan diposisikan oleh masyarakat di atas pedestal dan diluar lingkaran keilmuan, sebab sifatnya yang emosional, subjektif, dan ‘lugu’. Tidak ada pengawas dan tim pengoreksi bila dalam prosesnya terdapat kesalahan interpretasi atau tidak sesuai dengan nilai-nilai dari komunitas yang hendak diwakilkan.

Sekali lagi, kami tidak bermaksud untuk mengoreksi bilamana ada representasi “salah” yang dilakukan oleh para seniman, tidak juga untuk mengajari ber-etnografi yang baik dan benar. Namun berhubungan dengan penelitian etnografi, setidaknya kami sudah tahu bahwa dilema itu nyata adanya dan dapat berbuah pada permasalahan yang berentet, mulai dari konsekuensi sosial-kultural hingga ekonomi-politik. Belajar dari artikel ‘New Barbarism’ or Old Agency Among the Dayak? Reflection on Post-Suharto Ethnic Violence in Kalimantan oleh Michael R. Dove (2006), antropologi dan buah penelitiannya sendiri, etnografi, memiliki dilema dalam mewakilkan masyarakat Dayak di dalam konflik Sambas dan Sampit, yang sebagai gantinya, ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Dayak melalui perwakilannya, Institute of Dayakologi Research and Development (IDRD). Terlepas dari ambigunya “mana yang benar dan mana yang salah,” etnografi sebagai metode penelitian antropolog memiliki konsekuensi berentet yang menurut kami tidak dapat diaplikasikan secara sama kepada para seniman. Seni itu murni dan tak bercela, apabila “salah,” hanya tinggal bilang “interpretasi orang berbeda-beda,” atau “ini avant-garde” dan istilah-istilah lainnya.

Estetika dari Ke-manasuka-an


Namun jangan anggap kami sinis sepenuhnya dengan seni, tidak juga kami membenci seniman. Bahkan dalam bobot produksi, kami menghargai instalasi yang dibuat oleh para seniman. Ambil contoh, karya Pisitakun Kuntalang dan Monumen Marsinah oleh Moelyono. Sesaat sebelum mengusaikan kunjungan kami ke Biennale, lagi-lagi emosi kami dikoyak, dua-duanya berusaha menceritakan dan merepresentasikan kisah pilunya masing-masing. Pisitakun merupakan seorang seniman visual, dalam karyanya kali ini ia merangsang penginderaan pengunjung saat memasuki instalasinya. Lampu utama dari ruang eksibisi dimatikan, sebagai gantinya permainan warna dari laser dan halogen membuat pengunjung harus beradaptasi guna melihat karya yang ditampilkan.

Setelah beberapa saat mulai samar-samar ruangan gelap tersebut masuk akal, meski begitu tetap butuh waktu lebih untuk melihat bingkai besar dan narasi yang akan disampaikan oleh seniman. Ruangan dengan tembok bercat putih tersebut sudah dicoret-coret, digambarkan ilustrasi-ilustrasi seperti sekelompok orang, dan pada lantainya terdapat benda berwarna hitam seperti tanah menumpuk menempel dinding. Setelah membaca penjelasan baru kami tahu bahwa ilustrasi tersebut menceritakan konflik di Thailand. Saat terjadi kudeta dan darurat militer di Thailand tahun 2000-an awal dimana banyak orang dibunuh secara cuma-cuma, nyawa hilang sia-sia. Setelah beberapa menit baru kami sadar bahwa substansi berwarna hitam di lantai yang kami kira adalah tanah merupakan serbuk arang.

Selain visual, Pistitakun memutarkan alunan dalam bahasa asing yang tidak kami mengerti namun suara-suara yang ada mendukung mood yang berusaha diharapkan oleh seniman. Audio yang diputar rupaya merupakan musik ‘Lao Pan’, liriknya mengisahkan situasi politik dan perjuangan pada saat-saat darurat militer, dinyanyikan oleh seorang mantan tahanan. Baru kami sadar bingkai besar dari karya ini yang berusaha menyampaikan kepiluan sejarah kelam itu. Kehadiran instalasi ini jelas agendanya: memperpanjang nafas kisah sejarah arus tepi ini. Apakah ini dapat diartikan bahwa representasi tidak melulu tentang pemberdayaan tetapi dapat juga diterjemahkan sebagai menjaga kobaran api dan nafas dari isu-isu yang ada sampai objek-objek yang termarjinalisasi mendapat keadilan?



Karya seni Pisitakun Kuntalang di Biennale Jogja Equator XV #5 (Pisitakun/facebook)


Tur kunjungan Biennale diakhiri dengan keluar dari gedung utama JNM menuju pendopo di belakang. Awalnya kami sungkan untuk melihat kesana, sebab instalasi ini penuh ditutupi seng-seng dan bambu. Kami kira bangunanan pendopo sedang mengalami proses peremajaan ternyata ini merupakan bagian dari eksibisi Biennale. Moelyono sengaja tidak menuntaskan pembangunan monumen ini, sebagai upaya simbolik terhadap kasus Marsinah yang sampai saat ini belum tuntas. Moelyono juga menaruh patung burung garuda sebagai simbol pemerintah orde baru yang terlalu nasionalis dan pacasila-is. Dan pemilihan instalasi berupa monumen merupakan upaya mocking sebab pada saat orde baru pemerintah kerap menggunakan monumen sebagai instrumen propaganda. Moelyono juga menyoroti agendanya pada karya ini dengan tersurat bahwa ia hendak melawan idiom orde baru melalui monumen marsinah.

Perbandingan dilema di atas: nyatanya menunjukan seberapa serba-salahnya kuasa representasi yang dimiliki seniman; namun juga seberapa efisiennya seni dapat digunakan sebagai instrumen dan media untuk menyampaikan isu: karena sifatnya yang emosional dan universal. Kini, kami berupaya untuk melepaskan kacamata etnografi, dan mencoba memasuki dimensi estetika dari para seniman. Secara jujur, ide representasi dapat disampaikan melalui keuletan para seniman dalam mengakali bentuk ruang, yang menyentuh perasaan dan kesadaran manusia; yang bersifat universal itu. Melalui apresiasi karya seni, nyatanya pesan yang (diupayakan untuk) disampaikan setidaknya dapat menyentuh emosi para pengunjung yang bahkan tidak pernah hadir di tengah-tengah isu yang diangkat. Bagaimana para pengunjung dapat berinteraksi dengan objek seni merupakan objek seni itu sendiri. Proses merespon dari upaya “penghadiran” kenyataan di lapangan menjadi hal baru yang menarik untuk dibahas. Dengan takjub kami melihat bahwa, dimensi di dalam pagelaran seni representasi ini sangatlah beragam dan multilayered, bahkan dapat dikaji dari sisi manapun. Dapat dari sisi masyarakat yang diwakilkan, seniman yang mewakilkan, dan pengunjung yang menentukan keberpihakannya.

Ulasan ini nyatanya tidak menyajikan jawaban, justru melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang masih tersisa dari hasil perundingan kami sebagai penulis. Seperti bagaimana posisi seniman sebagai agen eksekusi isu ini menjadi rumit dan membingungkan. Kembali lagi pada argumen bahwa seni merupakan hal yang subjektif sehingga sering kali karya yang dihasilkan—meski niatnya baik—tidak empiris. Berbeda dengan hasil karya etnografi yang empiris sebab sudah melalui berbagai proses kajian ilmiah. Muncul pertanyaan: apakah seniman dekat dengan objeknya? Apakah seniman sengaja menaruh jarak antara ia dan objeknya? Apakah seniman benar-benar aman di balik label “seni?” atau justru ke-arbritrer-an seni menjadi senjata utama agar isu yang dibawa dapat mudah menyentuh perasaan dan kesadaran para pengunjungnya?


Referensi

Admin. Melawan Idiom Orde Baru Lewat Monumen Marsinah. Biennale Jogja XV. https://biennalejogja.org/2019/melawan-idiom-orde-baru-lewat-monumen-marsinah/?lang=e, accessed November 22, 2019.


Admin. Pisitakun Kuantalaeng. Biennale Jogja XV. https://biennalejogja.org/2019/pisitakun-kuantalaeng/?lang=en, accessed November 22, 2019


Dove, Michael R. 2006. „’New Barbarism’ or Old Agency among the Dayaks? Reflections on Post-Soeharto Ethnic Violence in Indonesia” in Social Analysis: The International Journal of Anthropology, Vol. 50, No. 1

36 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page