top of page
Search

Figur Meliantha Muliawan: Mengkritisi lewat Karya Seni

Updated: Dec 24, 2019


Sumber foto: Madi - The Arting


Ditulis oleh: Asmi Ramiyati (18/430853/SA/19468) & Mufadlila Dienul Zahra (18/424766/SA/19138)


Rabu sore kami berjanjian dengan Meliantha Muliawan untuk bertemu. Untuk lebih akrab kami memanggil Meliantha Muliawan dengan sebutan Mbak Meli. Kami sebelumnya telah menghubungi Mbak Meli via dm instagram dan move ke WhatsApps. Setelah itu Mbak Meli mengirimkan lokasinya. Kami akan bertemu di daerah Prawirotaman. Saat kami baru akan berangkat ternyata Mbak Meli sudah tiba disana lebih dulu. Kami janjian pukul 16.00 WIB, dan kami otw jam 15.30 WIB.Kami panik karena lalu lintas dari ugm sampai Prawirotaman melewati jalan menuju malioboro dan jam segitu adalah puncak macet.


Kami berangkat dari UGM dan syukurnya diperjalanan belum terlalu ramai. Di perjalanan kami juga tidak terjebak dengan lampu merah lama dan panjang. Kami mengandalkan maps yg dikirim Mbak Meli tapi tidak akurat seperti biasa. Setelah itu kami serch lokasinya di google baru akurat. Setelah sampai ada dua mbak-mbak yang sedang duduk berhadapan. Satunya berambut panjang dan berkulit kuning langsat serta, mbak satunya dengan potongan cepak berkulit sawo matang.


Ketika kami baru saja tiba rasanya sangat canggung dan bingung harus gimana karena Mbak Meli sedang makan. Makanannya terlihat baru datang sebab masih terlihat utuh. Kemudian Mbak Meli bertanya, “Udah disiapin kan pertanyaan nya?”. Terus kami jawab sudah dengan nada agak kebingungan karena kami sudah menyiapkan pertanyaan tapi tidak begitu formal. Uul memulai percakapan dengan agak canggung dengan menanyakan tentang karyanya yang anda di Biennale Jogja IX yaitu tentang post card. Namun, uul mencoba mengulik siapa tahu Mbak Meli pernah mengikuti pameran seni seperti ini selain di Biennale. Ternyata selain di Biennale, mbak meli pernah nampilin karyanya di Bali Art.


Ketika Pameran Bali Art, Mbak Meli menampilkan baju seragam merah putih dan pramuka anak SD yang dikeraskan dengan Rezin. Melalui karya ini Mbak Meli ingin mengkritisi sistem pendidikan di Indonesia yang membuat anak-anak menjadi seperti Labour. Peserta didik seakan-akan “dipaksa” untuk ke sekolah lengkap beserta dengan berbagai kegiatannya seperti ekstrakulikuler yang membuat banyak waktu dari bermain mereka tereenggut. Dan Mbak Meli merasa jika sekolah itu penting kenapa harus memaksa? Kenapa tidak membiarkan anak-anak untuk memilih apakah anak tersebut mau sekolah atau tidak? Mbak Meli membuat karya ini berdasarkan pengalamannya ketika bersekolah dulu, sejak sekolah dasar setelah jam sekolah usai, Mbak Meli tidak bisa langsung pulang ke rumahnya, namun harus mengahmpiri kakaknya yang bekerja di proyek bangungan hingga kakaknya selesai bekerja. Hal ini di lakukan karena alasan efisiensi agar pulangnya “sekalian”. Mbak Meli membandingkan masa sekolah yang dia alami dengan masa sekolah orang tuanya. Di dalam karyanya juga terdapat gambar matahari terbit dan tenggelam yang menggambarkan Mbak Meli saat masa sekolah merasa seperti buruh karena saat berangkat matahari baru muncul, dan pulang matahari sudah akan tenggelam.



Kembali membahas tentang dunia per-seni-an Mbak Meli. Mbak Meli awalnya berkecimpung di dunia seni lukis hingga tahun 2014, dan kemudian beralih ke seni patung tiga dimensi dengan menggunakan teknik rezin. Ia memilih bahan-bahan yang ada di sekitarnya seperti kardus, atau seragam sekolah yang di keras kan menggunakan rezin. Mbak Meli memilih rezin sebagai ciri khas karya seni nya, karena rezin hanya membutuhkan waktu 12 jam untuk mengeras sehingga tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Mbak Meli juga memilih rezin karena tidak suka membuat karya yang meninggalkan banyak sampah.


Meliantha Muliawan sebagai seniman selama 9 tahun dari 2010 baru pertama kali pada tahun 2019 mengikuti Biennale. Beliau mengikuti Biennale dengan jalur open call. Dimana beliau ikut diseleksi oleh kuartor bersama kurang lebih 50 karya yang lain. Ketika Mbak Meli berbicara tentang Binnela beliau dengan lantang mengatakan jika sudah ikut pameran utama Biennale kemungkinan senimannya akan lebih di kenal.


Selain Biennale Jogja Equator #5 dan Bali Art, Mbak Meli sudah mengikuti banyak pameran mulai dari dalam negeri hingga luar negeri. Ia pernah memamerkan karya seninya di Australia dan Singapura. Di Singapura ia memerkan karya berupa meja display di pameran-pameran yang dilapisi kain putih diatasnya agar para pengunjung fokus mengamati bagian bawah kardus tersebut. Dalam pameran ini Mbak Meli ingin membahas tentang kardus yang dijadikan meja display pada karya seni adalah hal yang krusial namun seringkali diabaikan bahkan tidak terfikirkan.


Karya Mbak Meli juga sudah banyak yang laku dibeli oleh kolektor. Ia paling mahal menjual karya seninya dengan harga 30 juta. Meskipun ia merasa seni adalah dunianya, Mbak Meli kerap menemui titik jenuh yang membuat kemandekan inspirasinya dalam berkarya. Ia pernah merasakan tiga kategori kejenuhan yaitu jenuh kerena tidak ada ide, jenuh karena merasa disetir “pasar”, atau jenuh karena ia kurang cocok dengan tema yang ia pilih. Untuk mengatasi hal ini Mbak Meli melukakan kegiatan lain seperti pergi jalan-jalan keluar, membaca buku, menonton film, atau sekedar mengamati aktivitas orang lain.


Mbak Meli selama menjadi seniman sudah berpindah-pindah 3 tempat: pertama, di Jakarat, namun menurut Mbak Meli seniman di jakarta lebih condorong pada manajamen karya seninya. Kedua, di Bandung, Menurut Mbak Meli seniman di bandung mayoritas bekerja sebagai personal. Kemudian ketiga, di Yogyakarta. Mbak Meli pernah mengikuti residensi di Yogyakarta selama 3 bulan sebelum menetap di Jogja. Kemudian Mbak Meli juga menambahkan jika seniman di Jogja lebih banyak bekerja dalam kolektif. Namun semua karya Mbak Meli di kerjakannya sendiri dengan bantuan dari artistik bayaran.


Menurut Mbak Meli, Jogja adalah kawasan paling ramah terhadap karya seni. Kemudian di jogja juga mempunyai biro pengiriman khusus karya seni, Mbak Meli memberi tahu nama biro tersebut namun kami lupa. Biro ini sudah sangat paham akan pengiriman barang, bagaimana menjaga dan memperlakukan karya seni sesuai jenis mereka. Merdeka Art selain menyediakan biro pengiriman juga menerima proses pengemasan, dan pemasangan di rumah kosumen karya seni tersebut. Mbak Meli juga menuturkan jika koletor membeli suka membeli karya seni dari Jogja karena ongkirnya lebih murah dari ongkir Jakarta


Setelah mengobrol terkait karya seninya. Kami mencoba untuk menanyakan tentang latar belakang Mbak Meli mulai dari keluarga hingga pendidikan. Awalnya kami ragu karena takut terlalu masuk ke ranah pribadi Mbak Meli, tetapi Mbak Meli menjawab dengan ramah dan santai. Mbak Meli lahir pada tahun 1992 di Pontianak, ketika umur 1 tahun ia dan keluarganya pindah ke Depok. Ia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja di kota metropolitan ini. Mbak Meli bersekolah di SMA Gonzaga Jakarta sejak tahun 2007-2010. Kemudian melanjutkan pendidikannya di Institut Teknologi Bandung dan memilih jurusan FSRD Seni Lukis. Mbak Meli memilih jurusan ini karena sejak kecil dirinya tertarik dengan menggambar yang menjadi sarana pelariannya ketika ia sedang sedih. Kemudian Mbak Meli mengambil les melukis waktu kecil, ia merasa mampu mengikuti dengan baik dan lebih cepat di banding teman-temannya yang lain.


Setelah selesai menempuh studi nya di Bandung, Mbak Meli memilih Jogja untuk menemukan suasana baru dan menambah jejaring antar senimannya. Saat ini Mbak Meli tinggal di daerah Prawirotaman menempati perumahan milik bosnya dengan pekerjaan sebagai arsip karya seni di sebuah perusahaan di samping kegiatan utamanya menciptakan karya seni.

Setelah membahas pekerjaan tersebut, suasana semakin cair dan obrolan kami semakin santai. Sesekali kami dan Mbak Meli bercanda dan tertawa bersama. Mulai dari sini kami membahas mengenai kehidupan pribadi Mbak Meli lebih dalam, ia bercerita bahwa ia belum menikah tetapi sudah memiliki pacar yang bekerja sebagai desain di salah satu perusahaan e-commerce. Namun di umur yang hampir menyentuh kepala tiga ini Mbak Meli belum siap menikah dan ia merasa beruntung karena keluarga dan lingkungannya tidak pernah mendesaknya untuk segera menikah dan ia berasumsi bahwa mungkin karena Mbak Meli seorang anak bungsu.


Selain itu Mbak Meli juga menceritakan tentang asal-usul keluarganya. Dipicu oleh kami pertanyaan kami terkait wajah Mbak Meli yang sangat Chinese. Ia bercerita tentang orang tua nya yang beragama Kong Hu Chu, tetapi Mbak Meli memilih agama Buddha untuk di lampirkan di KTP nya. Ia juga bercerita tentang ke-kentalan fisiknya dengan etnis Cina karena keluarganya pindah ke Indonesia pada migrasi Cina gelombang ke-3 sehingga bukan Cina keturunan.


Ketika berdiskusi bersama Mbak Meli, beliau juga ingin mengetahui antropologi lebih mendalam. Kemudian kami dengan senang hati menjawab pertanyaan Mbak Meli terkait apa saja yang kami perlajari dalam antropologi. Sesudah kami menjawab hal itu, kemudian Mbak Meli mengaitkan antropologi dengan seni. Jawaban unik kami terima dari Mbak Meli karena menurut beliau sekarang sedang mendominasi pendekatan antropologi dalam karya seni. Pendekatan itu dapat berupa riset dalam membuat karya seni kemudian berupa hasil karya atau pameran penermuan yang bisa di sampaikan kepada masyarakat umum.


Keberadaan antropologi yang dekat dengan manusia tidak dapat berpisah dari karya seni yang terkait dengan budaya kehidupan masyarakat yang ingin diungkap dalam karya seni. Mab Meli memberikan contoh seorang seniman yang berhasil menerapkan pendekatan antropologi dalam seni drama. Seniman tersebut melakukan riset lalu memberikan performance di depan audience dengan alat peraga demi melengkapi penampilan mereka. kemudian ada pula seniman yang melakukan sebuah riset terkait tanah yang di gunakan untuk pembunuhan masal, kemudian tanah tersebut di tanami dengan singkong. Hasil dari kebun singkong tersbut dibawa oleh seniman sebagai alat peraga presentasi dan audience dapat merasakan langsung singkong hasil tanah pembunuhan tersebut. dengan tidak sengaja kami juga bertemu di KFF, dimana tempat itu adalah miliki seniman yang juga dahulu lulusan antropologi UGM.


Mbak Meli juga memberikan kami saran bahwa jangan takut dalam dunia antropologi karena 10 tahun kedepan, ilmu antropologi sangat di perlukan dalam segala bidang terutama e-commerce. Sebab pacar Mbak Meli bekerja dalam bidang e-comerce namun menggunakan cara studi dan riset antropologi. Walaupun pacar Mbak Meli adalah lulusan jurusan design namun beliau dalam membaut design blog yang menjadi pekerjaannya menggunkan metode riset kebutuhan, kemudahan serta kesulitan masyarakat dalam menggunakan blog tersebut. Riset itu dilakukan untuk menjaga blog dan e-commerce tetap diminati dan dianggap mudah oleh masyrakat umum.


Diskusi kami bersama Mbak Meli semakin mengalir begitu saja, obrolan kami diakhiri dengan saling menceritakan alergi makanan masing-masing. Mbak Meli menjawab pertanyaan-pertanyaan kami dengan santai tanpa kesan menggurui. Mbak meli juga kerap bertanya-tanya mengenai apa saja yang kami pelajari di Antropologi. Selain itu Mbak Meli bercerita tentang ia tidak memiliki alergi apapun. Namun saat SMA Mbak Meli sempat terobsesi ingin kurus sehingga jarang sekali makan nasi dan hanya makan buah dan sayuran. Hal ini ia lakukan dalam waktu yang cukup lama dan malah menimbulkan masalah pencernaan lain. Mbak Meli jadi sulit buang air besar karena kekurangan”pendorong” sisa-sisa makanan yang ada di dalam organ pencernaannya, sementara pendorong yang paling potensial berasal dari nasi atau karbohirdrat lainnya. Namun, meskipun menerapkan hidup sehat, kulit Mbak Meli termasuk cukup sensitif karena jika ia kebanyakan makan daging makan jerawat akan bermunculan.

61 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page