top of page
Search

Exhibition Guide, Representasi Pinggiran?

Ditulis oleh: Kathrin Shafa Zakiyya dan Tiara Puspa Ramadanti

 

Kesuksesan Biennale tidak terlepas dari adanya peran volunter. Bak organ tubuh, volunter adalah pembuluh vena yang membantu jantung tetap berdetak—cukup penting ya. Pentingnya peran seorang volunter—khususnya exhibition guide—tidak terlepas dari anggapan kami bahwa mereka berperan sebagai muka Biennale itu sendiri. Tidak jarang ada beberapa pengunjung—termasuk kami, mengajukan pertanyaan kepada si exhibition guide untuk memperoleh informasi tambahan mengenai sebuah karya yang ada. Tak kalah sering juga kami mendengar jawaban ‘waduh, saya nggak tahu’, jawaban yang tidak kami harapkan keluar dari seorang exhibition guide. Kami beranggapan bahwa acara sebesar ini pasti diusung oleh orang-orang pilihan, dalam konteks ini adalah volunter, yang minimal sudah melalui tahapan seleksi—ya termasuk exhibition guide ini.


Bukannya sudah melalui tahap seleksi? Untuk menjawab pertanyaan ini kami memutuskan untuk mewawancarai dua orang volunter, di mana keduanya adalah exhibiton guide dalam acara Biennale ini. Berawal dari fenomena ketidaktahuan beberapa exhibition guide sesuai pengalaman kami ketika mengajukan pertanyaan, kami memulai percakapan santai dengan membahas topik tersebut. Menarik—ada respons yang sedikit kontras antara dua volunter ini, salah satu dari mereka terkesan segera mengiyakan kondisi yang ada, sedangkan satunya terkesan mengevaluasi kinerja exhibition guide sendiri sebagai seorang volunter.


Menjadi Exhibition Guide yang Seharusnya

Exhibition guides and demonstrators help to educate visitors about a particular place or object. It is their role to bring to life a certain scenario or item, and to put it into the relevant context (Creative & Cultural Skills, 2019).

Sayangnya, kami jarang merasakan peran exhibition guide seperti yang tertulis di atas. Justru sebaliknya, kami sering menemukan exhibition guide yang dapat dikatakan ‘tidak niat’. Tidak niat dalam hal ini tercermin saat kami pernah bertanya mengenai makna dari suatu instalasi seni, bukannya jawaban informatif didapat, eh malah hanya terlontar empat kata: ‘wah saya nggak tahu’. Bahkan, tidak jarang mereka mengabaikan pengunjung yang datang—padahal kan sudah seharusnya mereka menyambut dan memberikan informasi pada pengunjung karena memang itu tugasnya.


Mari mulai bercerita dari pengalaman kunjungan pertama kami di Jogja National Museum, seperti yang sudah kami tuliskan di atas, kami tidak mendapatkan peran exhibition guide yang seharusnya diberikan kepada pengunjung. Contohnya saja saat kami mulai melihat instalasi seni yang berada di lantai satu, kami jarang melihat kehadiran exhibition guide di sana—pun ada, mereka tidak menggubris kehadiran kami. Saat itu suasana JNM masih sepi, tidak salah jika kami berharap mendapatkan informasi lebih melalui exhibition guide yang ada. Akan tetapi, keadaan berkata sebaliknya, kehadiran exhibition guide yang hanya beberapa itu justru seperti ada dan tiada. Mereka hanya duduk bersantai dan memasang mata tanpa berkata-kata.


Parahnya lagi ketika kami berada di lantai teratas bangunan bercat putih ini, tepatnya di lantai tiga, kami mulai masuk ke beberapa instalasi seni dan lagi-lagi kami menaruh harapan akan memperoleh perhatian lebih si exhibition guide. Tetapi kenyataannya, duduk berdua di bean bag sambil mengobrol dengan asyik—itulah aktivitas dua orang exhibition guide perempuan yang terekam dalam jepretan mata kami. Mereka seakan tidak peduli dengan apa yang kami lakukan dalam suatu instalasi seni tersebut. Boro-boro diberi informasi, disapa pun tidak—hanya kedua mata yang mengintai seklilas gerak-gerik kami tanpa ada tanggapan sedikit pun.

Hal semacam ini juga kami rasakan ketika berkunjung ke lokasi lain. Taman Budaya Yogyakarta menjadi harapan baru kami untuk mendapatkan respons yang lebih baik dari si exhibiton guide sebelumnya. “Halah—podho wae!”, umpatan yang kami lontarkan saat menerima respons yang ditunjukkan exhibition guide di TBY ini. Respons yang diberikan ternyata sama dengan yang ada di JNM.


Tapi tunggu dulu, sampai pada barisan ini, jangan beranggapan semua exhibition guide memiliki respons kurang menyenangkan seperti yang kami alami di atas. Masih ada beberapa exhibition guide—meskipun sedikit sekali yang kami jumpai—memberikan penjelasan detail mengenai karya seni yang kami tanyakan. Bahkan ada satu orang exhibition guide laki-laki yang menurut kami memberikan jasa terbaiknya. Dia memberikan banyak penjelasan dan berhasil membawa peran exhibition guide itu dengan baik. Lalu, kira-kira kenapa ya ada perbedaan kualitas exhibition guide dalam acara Biennale Jogja ini?


Ya Wajar, Prosedurnya Gampang

Dalam suasana mendung kami bergegas menuju Kampung Ketandan untuk mengunjungi salah satu lokasi Biennale Jogja kali ini. Kami sedikit tersesat. Maka, bertanyalah kami kepada tukang parkir Ramayana di mana keberadaan lokasi Biennale tersebut. Kemudian, kami di arahkan ke jalan yang ternyata sudah kami lewati tadi—kebablasen.


Pantas saja kelewatan—penampakan instalasi seni Biennale Ketandan ini hanyalah sebuah bangunan tua yang terlihat sangat rapuh dan tidak terawat. Coba saja kami tidak membaca poster yang tertempel di pintu masuknya, kami tak akan sadar jika bangunan tua tersebut adalah salah satu instalasi Biennale dengan karya Khonkaen Manifesto’s.


Engap, gelap, seram, dan dipenuhi sarang laba-laba, suasana yang sengaja tidak diubah dari keadaan aslinya itu membuat kami ragu-ragu untuk masuk. Sampai akhirnya terlihat seorang perempuan berambut hitam panjang dan berbaju hitam—eits tenang, dia bukan penampakan. Perempuan tersebut duduk dan menyapa kami dengan senyum tipisnya dari belakang meja sambil menyuguhkan selembar kertas daftar hadir pengunjung untuk kami isi.


Mari kak, diisi dulu daftar hadirnya”—kalimat pertama yang ia lontarkan cukup memberi kesan ramah sebagai exhibition guide di sana. Setelah menorehkan tanda tangan masing-masing, kami melanjutkan perjalanan masuk ke sebuah lorong kecil yang pengap sekaligus menyeramkan—mirip lorong di game Slendrina.


Dari apa yang kami perhatikan, semua instalasi yang ada di sana menunjukkan sisi mistisnya. Mulai dari adanya telur di ujung ruangan, sekantong plastik tepung yang sengaja dibiarkan terbuka, instrumen musik yang mencekam, hingga replika kuburan lengkap dengan pasir dan penggalan kepala. Berangkat dari situasi yang benar-benar mengerikan ini, kami mulai berbincang dengan Mukkodah, mahasiswi Sejarah, Universitas Negeri Yogyakarta, exhibition guide yang menyambut kami di awal kedatangan tadi.


Walaupun ada satu exhibition guide lain yang tidur di lantai ketika jam kerja, syukurnya kami tidak mendapatkan jawaban semacam “waduh, saya nggak tahu” dari perempuan yang rambutnya dikucir sejajar dengan telinga. Mukkodah memberikan jawaban bahwa bangunan tua ini sengaja dipilih tanpa dibersihkan guna menjaga orisinalitasnya untuk menimbulkan kesan ngeri sejalan dengan isu politik di Thailand yang diangkat dalam Biennale Ketandan ini. Dari caranya menjawab pertanyaan kami, Mukkodah termasuk exhibition guide yang sesuai dengan peran seharusnya, memberikan informasi di luar kertas keterangan yang tertempel di tembok tua itu.


Di tengah perbincangan, kami juga menyinggung terkait respons exhibition guide sebelumnya di JNM dan TBY yang sama sekali tidak membantu kami dalam melihat instalasi seni yang ada. “Ya pantes Mbak, proses rekruitmennya aja gampang. Hanya ada dua kali briefing dengan seniman dan nggak semua exhibition guide ditempatkan sesuai dengan instalasi seni saat briefing”—ucap Mukkodah dengan pembawaan yang santai.


Perempuan yang lumayan suka seni ini menambahkan, bahwa setiap divisi kerja memiliki prosedur rekruitmen yang berbeda. Sayangnya, untuk divisi exhibition guide ini terlalu mudah. Dengan demikian, hasil penjaringannya pun tidak menunjukkan kualitas yang mumpuni—kecuali mereka yang memang memiliki niat untuk belajar, menambah pengalaman, dan sudah memiliki basis seni sebelumnya.


Jawaban yang Mukkodah berikan tidak terlepas dari proses rekruitmen termudah di antara divisi kerja lain, yang ternyata juga memengaruhi kualitas exhibition guide Biennale Jogja. Dari jawaban-jawaban yang diberikan Mukkodah dan beberapa exhibition guide lain seakan menunjukkan bahwa mereka merupakan representasi ‘pinggiran’ dalam Biennale ini.


Exhibition Guide: Representasi Pinggiran—Setuju!

Mengunjungi Biennale ketiga kalinya, kami datang bersama rombongan mahasiswa untuk melaksanakan kuliah lapangan Antropologi Seni. Kunjungan kami kali ini dipandu oleh Agung, mahasiswa tingkat akhir jurusan Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma. Sebagai salah satu exhibition guide yang juga memiliki posisi sebagai koordinator, ia menemani kami sembari memberikan banyak informasi terkait instalasi seni yang ada. Dengan sabar ia menjelaskan satu per satu instalasi seni yang ada, sampai pada akhirnya digantikan oleh Arham, kurator Biennale Jogja yang terlambat datang.


Sembari Arham memandu rombongan, kami mencuri kesempatan di sela penjelasannya untuk bisa berbincang dengan Agung lebih dalam mengenai posisi exhibition guide dalam acara Biennale. Seperti yang sudah kami nyatakan di awal tulisan ini, exhibition guide memiliki posisi yang sangat penting dalam kelangsungan sebuah acara, atau kita bisa menyebutnya sebagai muka dari suatu karya. Agung setuju dengan pernyataan tersebut, ia juga menambahkan: “Menjadi exhibition guide itu sebenernya peran yang paling penting dan krusial ya dalam Biennale ini, walaupun gak semuanya ya Mbak, tapi masih ada exhibition guide yang lumayan menguasai materi kok”.


Menurut laki-laki yang memiliki tinggi sekitar 175 cm itu, menguasai materi atau tidaknya tergantung dari pribadi masing-masing. Percuma pihak Biennale memberikan briefing materi, jika si exhibition guide-nya sendiri tidak mau berusaha belajar dan mencari tahu. Paling tidak seharusnya ada beban moral yang ditanggung sehingga menumbuhkan minat belajar dalam memahami suatu karya disamping fungsinya sebagai exhibition guide.


Membicarakan Biennale Equator #5 pasti tidak terlepas dari konsep ‘pinggiran’. Dimulai dari prosedur rekruitmen sampai ke sistem kerjanya, kami menganggap exhibition guide juga pantas menyandang kata ‘pinggiran’. Mengapa? Hal itu tidak terlepas dari exhibition guide yang sering diremehkan dan dianggap sebagai ‘boneka kucing’ di depan toko—penyambut. Agung pun merasa demikian, bahkan sebagian dari exhibition guide itu sendiri yang melanggengkan persepsi ‘pinggiran’ tersebut.


“Saya sering diremehkan sama teman-teman lain juga Mbak, meskipun saya koordinator exhibition guide tapi posisi kami itu sama-sama volunter. Nah, dari situ saya sering menemukan banyak teman yang keras kepala ketika saya mengkoordinir sesuatu. Saya juga setuju kalau Mbak sebut kami itu pinggiran dalam acara ini, soalnya kebanyakan orang cuma mikir ‘alah wong exhibition guide aja nggak ngapa-ngapain, cuma nunggu dan mengawasi karya doang’. Banyak yang ngomong juga kalau kita itu cuma dikasih tugas untuk memberi peringatan agar karya tidak disentuh, seakan-akan exhibition guide nggak perlu skill tertentu. Padahal kan kita harusnya punya peran lebih sebagai pemberi informasi terkait instalasi karyanya”.


Menyambung dengan jawaban Agung di atas, kami beranggapan bahwa exhibition guide yang seharusnya tidak hanya berperan sebagai pemberi peringatan, contohnya ketika ada pengunjung yang mulai menyentuh karya, barulah ada komunikasi—itu pun dalam bentuk teguran. Pepatah yang berbunyi ‘mengambil apa yang kau tanam’ nampaknya benar-benar terjadi dalam sistem kerja exhibition guide kali ini.


Singkatnya begini, mengapa kami bisa menyebut exhibition guide sebagai representasi ‘pinggiran’ dalam acara Biennale ini? Jawabannya sederhana—ya karena kinerja yang ditunjukkan membuatnya pantas disebut orang lain sebagai ‘pinggiran’. Walaupun tidak semuanya, tapi kami yakin banyak pengunjung lain juga merasakan hal yang sama, yaitu menemukan exhibition guide yang selalu menjawab pertanyaan dengan “waduh, saya kurang tahu”.


Dapat dikatakan pula, banyak exhibition guide sendiri hanya menganggap remeh perannya, dengan tidak mencari tahu dan memahami makna di balik karya seni yang ada—mereka hanya sekadar menunggu, dan tak jarang malah asyik sendiri. Itulah alasan yang melanggengkan persepsi ‘pinggiran’ untuk mereka para exhibition guide. Lalu, bagaimana dengan Anda—setujukah dengan kami?

35 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page