top of page
Search

Eksplorasi dalam Bingkai Pinggiran


Oleh: Bias Baihaki Muhammad & Muhammad Hilmi Reyhan


Biennale Jogja merupakan suatu perhelatan seni yang rutin diadakan dua tahun sekali. Kali ini, Biennale Jogja XV EQUATOR #5 mengusung tema “Do We Live in the Same Playground?” Tema ini kemudian ditekankan melalui interpretasi wajah pinggiran di Asia Tenggara.


Rabu malam, 30 Oktober 2019, menjadi waktu kami menyambangi JNM. Suasana tak terlalu ramai kami dapati, bahkan cenderung sepi. Hanya beberapa pengunjung (yang dapat dihitung dengan jari) yang seliweran di lorong utama bangunan ini. Kiranya letak JNM yang tidak terlalu di tengah kota menjadi salah satu faktor penyebab luangnya ruang-ruang di sana. Walaupun demikian, pemilihan JNM sebagai salah satu lokasi penyelenggaran BJ secara implisit turut menggambarkan tema “Pinggiran” yang diusung kali ini. Letaknya yang bersebelahan dengan Pasar Serangan—salah satu sentra arang di Yogyakarta—menunjukan persinggungan langsung dengan hal yang erat dengan masyarakat pinggiran. Dalam banyak instalasi seni pun banyak seniman yang menggunakan objek arang dalam mengekspresikan idenya.


Wacana pinggiran menjadi sesuatu yang kompleks dan sangat interpretatif. Setiap individu mengalami dan merasakan pinggiran secara berbeda-beda, tergantung latar belakang mereka. Kondisi demikian pada akhirnya memunculkan pertanyaan, pinggiran seperti apa yang ingin disuguhkan oleh Biennale Jogja XV?


Perbedaan perspektif dan impresi


Saya, Bias, mengawali perjalanan ke Jogja National Museum dengan penuh pertanyaan tentang bagaimana konsep dari pameran seni Biennale Jogja. Ketertarikan saya untuk menyambangi tempat tersebut didasarkan pada tema yang diusung. “Do We Live in the Same Playground?” merupakan tema yang mengangkat makna pinggiran dalam ruang lingkup masyarakat Asia Tenggara. Berbagai ekspetasi pun diciptakan dengan sengaja tentang konsepsi batas yang memiliki keterkaitan dengan makna pinggiran juga tentang suasana interaktif yang tercipta antara instalasi yang ditawarkan dengan para penikmat karya seni. Interpretasi pribadi tentang pemaknaan pinggiran masih menjadi sebuah pertanyaan yang esensial. Pertanyaan besarnya adalah “konsep pinggiran seperti apa yang hendak ditawarkan Biennale Jogja?”. Mengingat kegamangan yang masih menghantui saya mengenai wacana ‘pinggiran’, saya dan beberapa teman beranjak dari bangku kuliah menuju Jogja National Museum.


Memasuki ruang lantai satu Jogja National Museum, pemandangan berbagai instalasi terlihat kokoh di balik dinding-dinding putih. Ornamen-ornamen dikonsep sesederhana mungkin, namun tetap elegan dipandang mata. Instalasi-instalasi yang tercanang di sisi bangunan seolah-olah mengintip dari dalam bilik guna memantik ketertarikan para penikmat seni yang datang.


Konsep pinggiran ini dirangkai secara acak. Begitulah kiranya pemikiran saya tentang interpretasi pinggiran yang disodorkan oleh Biennale Jogja kepada penikmat seni. Lantai demi lantai kami pijaki guna benar-benar memahami tentang apa yang hendak ditawarkan oleh Biennale Jogja dalam mengkreasikan pameran yang sedemikian rupa.


Bayangan tentang suasana yang interaktif di dalam ruang-ruang instalasi nampaknya tidak terealisasikan dengan sempurna. Kurangnya intensitas interaksi yang ditunjukkan antara instalasi seni dengan penikmat seni menciptakan kesan yang monoton. Sepi pengunjung merupakan hal yang paling saya khawatirkan. Konsep pinggiran yang sejatinya bersinggungan dalam kehidupan masyarakat seharusnya dapat diapresiasi penuh oleh khalayak sekitar karena bersentuhan langsung dengan fenomena-fenomena sosial yang ditumpahkan dalam ratusan karya seni di Biennale Jogja.


Rendahnya animo masyarakat terhadap pameran seni Biennale Jogja ini menunjukkan bahwa karya seni masih menjadi konsumsi yang terbatas. Dalam kata lain, karya seni belum bisa sepenuhnya sebagai tontonan yang universal. Walaupun Biennale Jogja telah menawarkan konsep seni yang berasosiasi dengan masyarakat, ketertarikan untuk mengapresiasi seni di kalangan masyarakat masih patut dipertanyakan.


Berbeda dengan Bias, saya Hilmi, memperoleh pengalaman yang sedikit berbeda. Kilas balik menjadi respon pertama saya saat mulai memasuki JNM. Dua tahun sebelumnya, pada Biennale Jogja XIV, saya telah menyambangi JNM. Saat kembali, perhatian saya pun tertuju pada interior dan penataan ruang di sini. Dulu, dinding-dinding, tangga, dan sudut bangunan lainnya turut dimanfaatkan sebagai media seni. Kini, lorong utama bangunan cenderung kosong karena instalasi seni diletakkan di ruang-ruang kecil (atau menurut saya lebih tepatnya bilik) yang tersebar di ketiga lantai. Menurut pengamatan saya, kekosongan tersebut kemudian diakali oleh tim produser dengan menambahkan elemen dekorasi seperti lampu yang menggantung sepanjang lorong juga barang-barang seperti kursi roda, sepeda onthel, hingga kursi kayu yang mulai digerogoti rayap.


Banyak cara yang digunakan oleh para seniman dalam mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka. Catatan di penjara, sampah, cangkul beserta tanahnya, potret kelas bawah, hingga berbagai macam hal dengan bau menyengat pun dihadirkan di JNM. Banyak ruang di JNM kiranya menjadi ruang eksperimen si seniman dalam menggambarkan ide tentang pinggiran atau periferi. Ada ruangan yang disekat antara satu dengan yang lain menggunakan kain hitam, ada yang meletakkan instalasi seninya di ruang terbuka lebar, ada pula seniman yang dengan sengaja memanfaatkan tata ruang yang sudah ada di JNM (misalnya level) dalam pembuatan seninya.


Dalam kunjungan pertama, saya secara jelas merasakan ada jarak yang muncul antara saya dan objek seni yang ditampilkan dalam event ini. Respon tersebut muncul atas tidak tersampaikannya wacana pinggiran yang coba disampaikan oleh Biennale Jogja. Saya kurang mendapatkan dan merasakan nuansa marginal yang sedang dibangun. Bukannya mencicipi periferi, justru melahirkan diskoneksi. Setelah kunjungan selanjutnya, pada 22 November lalu, perasaan beda saya dapatkan. Pinggiran yang sebelumnya samar semakin kentara. Selain itu, aspek-aspek kecil dalam suatu instalasi pun lebih terlihat dalam kunjungan kedua.


Konteks tersembunyi dalam wacana pinggiran di Asia Tenggara


Asumsi mengenai letak geografis. Itulah setidaknya yang tertanam di benak kami tentang penggunaan diksi ‘pinggiran’. Frontiers area menjadi masuk akal bila direlasikan dengan konteks

pinggiran yang memiliki karakteristik khusus tentang keterbatasan. Kehidupan etnis-etnis di pedalaman, kondisi sosial masyarakat perbatasan, hingga carut marut permasalahan desa-desa terisolir mengkonstruksi persepsi mentah kami terhadap makna ‘pinggiran’.


Memahami pinggiran. Sebuah subjek utama yang tertera pada dinding sebelah kiri pintu masuk Jogja National Museum. Melalui medium papan tulis hitam dan kapur tulis, tersusun rapi sebuah karya coretan tangan yang menjelaskan kontestasi nilai-nilai sosial-budaya di Asia Tenggara yang dimanifestasikan melalui berbagai karya seni dari berbagai seniman Asia Tenggara. Tulisan tersebut seakan-akan menjadi penuntun pertama kami tentang maksud yang hendak ditunjukkan oleh Biennale Jogja.


Terbantahkan sudah asumsi kami mengenai wacana pinggiran yang sentris terhadap posisi geografis. Diskursus pinggiran dibawa Biennale Jogja sebagai bentuk interpretasi terhadap kondisi sosial masyarakat yang memiliki tendensi sebagai masyarakat marginal. Arti pinggiran yang diusung Biennale Jogja memberikan sebuah kognisi baru bahwa pinggiran sejatinya selalu berbicara tentang batas. Namun, makna batas sendiri sebenarnya tidak hanya merujuk pada bentuk fisik—berupa garis, melainkan juga pada esensi yang dihasilkan dari sebuah implikasi fisik tersebut.


Buah dari konsep pinggiran yang ditawarkan kemudian dituangkan dalam instrumen-instrumen yang visibel. Instalasi-instalasi yang terpasang di sudut-sudut ruangan seolah-olah mengajak para penikmat seni untuk mencoba menafsirkan objek-objek yang interpretatif. Berbagai instalasi seni yang merujuk pada wacana dinamika sosial seakan-akan mengajak kami untuk berfantasi terhadap hakikat fenomena sosial yang disuguhkan melalui berbagai medium.


Asia Tenggara dalam perhelatan Biennale Jogja kali ini diperhatikan sebagai ruang utama untuk memperlihatkan konteks pinggiran. Apabila ditilik dalam peta, maka Asia Tenggara memang tidak berada dalam wilayah pinggiran. Namun, dalam konstelasi makna sosial-budaya, tidak salah apabila Biennale Jogja membahasakan makna pinggiran dalam lingkup wilayah Asia Tenggara.


Narasi pinggiran di Asia Tenggara dikonstruksi oleh Biennale Jogja sebagai artikulasi berbagai permasalahan identitas dan kehidupan sosial-politik masyarakat Asia Tenggara. Tajuk “Do We Live in the Same Playground?” dihadirkan guna memberikan pandangan tentang sebuah ruang ekspresi yang sebenarnya juga memiliki kompleksitas terhadap problematika yang terjadi pada ruang tersebut. Respon yang ditujukan pada tajuk tersebut merupakan sebuah harapan tentang rasionalisasi pemikiran masyarakat luas mengenai bagaimana menyikapi persoalan pinggiran yang sebenarnya lekat dengan kondisi sosial populer pada masyarakat Asia Tenggara.


Touloumi (2005), mengemukakan bahwa pinggiran muncul sebagai lingkungan dimana kekuasaan ditampilkan melalui tidak adanya fenomenologis. Keterkaitan politis dalam memaknai arti ‘pinggiran’ ini boleh saja terjadi akibat gerakan semu yang bertopang pada kepentingan. Kata ‘kuasa’ dapat menjadi sebuah retorika yang menginisiasi terbentuknya makna pinggiran. Sebab, ‘pinggiran’ tidak akan menjadi sebuah ‘pinggiran’ apabila tidak ada yang meminggirkannya.


Dalam kata lain, kami mengutarakan bahwa terciptanya sebuah pinggiran ialah karena adanya sesuatu yang direncanakan. Entah rencana yang bersifat manifes, maupun yang tercipta karena dampak laten. Kami pun dapat menyuarakan sebuah pernyataan bahwa makna pinggiran yang disodorkan Biennale Jogja tidak terlepas dari sebuah ‘ruang yang terlupakan’.


Tata Ruang dan Pembentukan Persepsi


Jogja National Museum memiliki banyak ruang, baik terbuka maupun tersekat, yang dapat dimanfaatkan oleh seniman dalam membuat suatu instalasi seni. Bangunan yang kurang lebih luasnya 1,4 hektare ini menjadi saksi bisu pelaksanaan BJ tahun ini. Kiranya, instalasi seni yang ada di sini kami klasifikasikan menjadi empat, yang terletak di luar bangunan, lantai satu, lantai dua, dan lantai tiga. Dalam pelaksanaan event, panitia tidak membuat lajur khusus atau peta ruangan bagi pengunjung, alih-alih pengunjung diberi kebebasan untuk mengamati dan menikmati instalasi seni sesuka hatinya.


Peletakan suatu objek dalam posisi atau arah tertentu pada akhirnya berpengaruh terhadap pemahaman seseorang, terlebih dalam suatu pameran seni. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan Krukar (2014) di mana bahwa baik buruknya penataan ruangan ekshibisi dapat berpengaruh terhadap memori pengunjung, lebih jauhnya terhadap pemahaman pengunjung atas arti penting suatu objek seni. Dalam observasi kami, tidak ada pola khusus dalam peletakan instalasi seni di JNM. Objek tidak dikelompokkan ke dalam tema-tema kecil ataupun klaster tertentu, kecuali di lantai tiga.


Lantai tiga JNM menjadi pengecualian dalam tata ruang Biennale Jogja. Dalam lantai ini, karya dan instalasi seni yang ditampilkan merupakan karya dari seniman yang jauh-jauh hari sebelumnya mengikuti residensi kelana darat, laut, dan sungai di berbagai penjuru Indonesia. Melalui program residensi kelana, seniman dibawa dalam sebuah perjalanan menuju pulau Sumatra hingga Sulawesi untuk mendapatkan narasi sejarah dan sosial yang mulai terpinggirkan. Tidak terbatas pada kewarganegaraan, gender, maupun status-status lainnya, para seniman pun lebur menjadi satu wadah.


Kami pun berasumsi bahwa bisa saja peletakan berbagai instalasi seni dianggap sama rata. Jika dilakukan pembedaan/pemisahan setiap karya seni atas dasar klasifikasi, jurang yang ada justru semakin diperlebar. Seni yang harusnya dekat dan melebur justru akan memunculkan diskoneksi antara satu dengan yang lainnya dan juga terhadap pengamatnya, dalam hal ini pengunjung. Walaupun demikian, kami menemui anomali dimana instalasi seni dengan tanda bagi 18 tahun ke atas posisinya berada di dalam, tidak pernah secara eksplisit terlihat dari lorong utama. Besar kemungkinan hal tersebut merupakan tindakan preventif, mengingat pengunjung pameran ini tidak terbatas dari kalangan usia tertentu. Namun, hal tersebut bersifat kontradiktif dengan apa yang kami sampaikan di atas terkait pemisahan.


Wacana pinggiran merupakan hal yang sangat dekat dengan kita, namun dalam waktu yang bersamaan amatlah jauh dengan kita. Dengan melihat ragam instalasi seni di sana, pengunjung diajak untuk menyelami periferi lebih dalam lagi. Banyaknya konsep pinggiran yang disajikan oleh para seniman pada akhirnya mampu mengekspos pinggiran yang lebih luas kepada khalayak umum. Di sisi lain, penataan instalasi yang acak pun dapat mengaburkan narasi pinggiran yang sedang dibangun satu per satu melalui setiap karyanya. Walau demikian, seperti yang disampaikan Krukar (2014) tidak boleh diabaikan bahwa menciptakan situasi seperti itu mungkin merupakan bagian dari niat seniman atau pun kurator.


Seperti pameran seni pada umumnya, Biennale Jogja berusaha menjadi wadah para seniman untuk menunjukkan eksistensi dan ekspresinya melalui karya seni. Wacana pinggiran yang diusung kali ini pun dimaknai berbeda-beda oleh seniman maupun pengunjung. Semua interpretasi kembali kepada kita, bagaimana kita memahami konsep pinggiran?


Referensi

Biennale Jogja XV. (2019). Retrieved from https://biennalejogja.org/2019/. Accessed 26 November 2019.

Krukar, J. (2014). Walk, Look, Remember: The Influence of the Gallery's Spatial Layout on Human Memory for an Art Exhibition. Behavioural Sciences, 4, 181–201.

Touloumi, O. (2005). What is the distinction between center and periphery?. Social Theory and the City, 1-2.

18 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page