top of page
Search

Diskoneksi Nalar dalam Intepretasi Karya Seni

Updated: Nov 29, 2019

Ditulis oleh M. Affan Asyraf dan Renita Ayu Irmameirika

Karya Nasirun


Taman Hiburan Karya Seni Bertajuk Biennale


Biennale Jogja XV/2019: Do We Live in the Same Playground, pameran seni ini merupakan agenda dua tahunan hasil kolaborasi seniman nasional dan internasional yang diselenggarakan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta. Beberapa lokasi di Yogyakarta dipilih untuk menjadi venue khusus, seperti Jogja National Museum (JNM). Malam hari tepat pukul 19.00 WIB pada 30 Oktober 2019, kami menapakkan kaki di Jogja Nasional Museum. Seperti halnya penikmat seni, berjalan mengamati setiap karya seni yang ada.


Saat datang ke JNM, kami teringat pemikiran Martin Scorsese terkait pandangan beliau tentang film-film Marvel. Hal itu membuat kami memaknai venue Biennale layaknya sebuah taman hiburan besar di mana setiap sudut dan sisinya terdapat atraksi-atraksi yang dapat dinikmati. Pada setiap tempat kami mengakui bahwa kami seperti dibawa kepada dunia baru dengan wacana yang baru di mana pada setiap atraksi berbeda antara satu sama lainnya. Namun kami tersandung sebuah masalah yaitu kami tidak dapat sepenuhnya menikmati atraksi seperti layaknya di taman hiburan pada umumnya. Pada setiap karya seni yang kami ibaratkan sebagai layaknya atraksi, kami mendapati bahwa kami tidak dapat mengerti makna sepenuhnya atau gagasan dari si pembuat karya seni. Walaupun terpampang penjelasan karya seni di sebuah papan kecil yang tertempel di dinding, terasa sangat kontras antara yang kami baca dengan yang kami lihat.


Berangkat dari dilema ini kami seolah terpantik pada dua pertanyaan yaitu apakah dalam setiap karya seni yang ditampilkan seniman berintensi untuk memberi wadah bagi kita untuk berimajinasi dan mencari interpretasi sendiri terkait dengan karya seni? Atau malahan seniman ingin menyampaikan agenda yang tercurahkan dari gagasan yang ada dalam dirinya kepada para pengunjung.


Proses Diskoneksi Nalar terhadap Karya Seni


Dalam Proses pemahaman, kami mencari korelasi antara karya seni dengan konsep peripheral atau pinggiran. Karena konsep tersebut merupakan tema yang diusung pada pameran Biennale. Dari hasil proses pemahaman, kembali hal yang membingungkan muncul, penghubungan antara karya seni dengan konsep pinggiran justru menimbulkan kesan yang general, terlalu luas dan fokus dari pinggiran cenderung kabur. Oleh karena itu dengan apa yang direpresentasikan oleh para seniman Biennale membuat kami sulit untuk menemukan suatu benang merah pada gagasan seniman dalam papan penjelasan dan makna pinggiran atau peripheral. Dalam tulisan ini kami akan mengulas dua karya seni yaitu karya dari Abdoel Semute dan Ipeh Nur.


Karya Abdoel Semute

Karya Abdoel Semute dengan slogan menguri-uri tradisi leluhur (ruwatan) masyarakat Jawa tidak semata-mata membuat kami langsung mengetahui makna yang ingin disampaikannya lewat bentuk karyanya. Penyampaian ruwatan yang dibawa oleh Abdoel bukan membuat kami menjadi lebih mudah untuk menempatkan diri dalam satu garis lintasan dengannya untuk menangkap makna yang ingin disampaikan. Dekorasi dan pengaturan cahaya yang menarik justru menjatuhkan kesan yang khidmat dan sangat kental dengan budaya kejawen daripada kesan yang mencekam dan menyeramkan.


Bayangan yang menjadi objek pertama dalam penglihatan kami seolah berbentuk seperti manusia sedang ditusuk dari bawah menembus kepala. Saat memasuki ruang instalasi tersebut rasanya di dalam seperti penuh sesak dan sangat mengintimidasi. Bahkan sampai kepada perasaan pusing dan sesak napas saat berada di dalam ruangan tersebut. Kami merasa seperti bukan kami yang sedang mengamati namun kami yang diamati oleh berbagai hal yang ada disana. Kami seolah menjadi objek yang dinikmati oleh karya-karya seni pada ruangan tersebut.


Dalam memaknai karya Abdoel Semute ini, kami semakin bingung dengan pesan yang ingin disampaikan olehnya, ruang instalasi tersebut dibagi dalam dua bagian yang menurut kami begitu kontras. Satu bagian seperti berisikan pasukan yang melawan monster jelek atau kekuatan roh jahat dengan representasi berupa wayang-wayang seperti manusia, topeng kepala monster, dan kepala naga. Sedangkan bagian lainnya malah berisi coretan-coretan hitam yang mengelilingi gumpalan putih asimetris dan memenuhi seluruh dindingnya. Tulisan pada gambar prasasti batu pun bertuliskan bahasa yang tidak jelas. kebingungan yang kami rasakan terwujud dalam rangkaian pertanyaan seperti mengapa dari sekian banyak tradisi, harus ruwatan dengan representasi yang demikian? Bukankah dengan mengasosiasikannya sebagai monster buruk rupa malah akan mengurangi tingkat keinginan pengunjung untuk kembali menghidupkan tradisi tersebut? Lantas jika memang ingin kembali menguri-uri tradisi leluhur, bagaimana hal tersebut bisa terus dipercaya jika masyarakat kini sudah semakin religius dan lekat dengan modernisme? Apakah tradisi tersebut harus bertahan? Apakah masih ada esensi rasional yang dihasilkan dengan ‘menjaga’ tradisi tersebut? Dan, sejauh mana kebebasan pengunjung untuk memaknai karya tersebut?


Karya Ipeh Nur dalam Residensi Kelana Laut di Sulawesi Barat

Selain melalui karya Abdoel Semute, perihal lainya adalah karya milik Ipeh Nur yang berjudul “Pusar”. Karya tersebut cukup merepresentasikan kebingungan kami. Berangkat dari karya seni tersebut menimbulkan sebuah gagasan kepada kami bahwasanya hal yang berpengaruh dalam kebingungan kami memaknai karya seni adalah karena kecenderungan para seniman menempatkan simbol-simbol yang tidak konvensional (lazim). Pada karya seni tersebut terdapat tiang yang diatasnya terdapat kubah, di setiap sisi kubah terdapat 4 kaca spion motor dan kemudian di depannya ada patung manusia namun hanya dari bagian pinggang hingga kaki saja. Berangkat dari hal tersebut permasalahan simbolisasi muncul dalam bentuk yang rumit. mengapa terdapat kubah di atas tiang? Bukankah seharusnya kaca spion berada di kendaraan bermotor? Mengapa terdapat kaki yang memakai sarung namun tidak ada badan dan kepalanya? dan apa hubunganya dengan tradisi kepercayaan masyarakat terkait dengan laut, apalagi dengan pinggiran. Kami tidak serta merta mengungkapkan bahwa nalar kami benar-benar terputus dengan karya seni ini. Ada beberapa dimensi, seperti pengangkatan tema masyarakat pantai yang memunculkan corak pinggiran, namun esensi keseluruhan karya seni tidak sepenuhnya dapat kita mengerti.


Walaupun begitu tidak sepenuhnya terjadi diskoneksi antara kami dengan karya seni. Contohnya seperti pada karya seni Nasirun yang merespon ulang karya-karya lukisan pinggir jalan (Girlan). Nasirun membuat kami benar-benar terhubung dengan wacana pinggiran. Dengan mengangkat lukisan-lukisan Girlan yang terabaikan di Indonesia, dan semakin hari semakin terpinggirkan menggugah kami untuk merekonstruksi pemikiran kami terhadap apa yang seharusnya dipinggirkan. Lukisan-lukisan Girlan sebenarnya sangat indah dan estetik, menampilkan ekosistem latar tempat kondusif. Walaupun begitu, sejauh pemahaman kami yang sudah kami anggap cukup kompleks, masih tetap muncul pertanyaan seperti apakah hubungan kepala wayang, malaikat objek-objek kabur yang menyeramkan terhadap kesan yang hendak disampaikan? Hal tersebut cenderung menimbulkan kesan bingung karena tidak adanya keselarasan dalam proses encoding dan decoding.


Refleksi Kesan Diskoneksi Nalar terhadap Karya Seni


Kami meyakini bahwa karya seni merupakan hasil dari kejeniusan si pembuatnya. Pada setiap karya seni yang kami lihat di JNM setiap memiliki nilai estetik yang tinggi, namun bukankah seni merupakan sesuatu yang lebih dari estetik? sesuatu yang membawa makna lebih dari perihal estetika. Oleh karena itu dengan kebingungan ini kami sangat mengharapkan adanya akan sebuah medium bagi gagasan seniman agar bisa lebih terkoneksi dengan para “manusia biasa”.


Pada akhirnya perkara ini layaknya perkara-perkara lain dalam kehidupan sosial, berada di kawasan berwarna abu-abu yang terletak diantara warna hitam dan putih. Tidak sepenuhnya terjadi diskoneksi antara keduanya, ada beberapa karya yang memberikan kesan berharga terhadap konsep pinggiran atau orang yang termarjinalkan namun hal tersebut berupa sesuatu yang menggantung, tidak holistik dan pada beberapa karya justru sama sekali tidak tercapai koneksinya. Mungkin tidak hanya kami yang hendak menyeleksi karya seni untuk dipahami namun karya seni itu sendiri mungkin menyeleksi atau memilih sendiri penontonnya.

78 views0 comments

Recent Posts

See All

Obi: Volunteering Adalah Momentum Pengembangan Diri

(Oleh Haerunnisa dan Nanda Sazkya) Tergabung menjadi seorang volunteer atau relawan adalah sebuah hal yang sering kali dan umum dilakukan. Membantu dengan sukarela, meluangkan waktu dan kemampuan sert

MEMAHAMI SITUASI PINGGIRAN LEWAT PERAN FISIK MANUSIA

Oleh Gabriel Dania Rekalino Kandolia Ajang pameran seni rupa Biennale Jogja XV 2019 dilaksanakan secara tersebar di beberapa lokasi di Yogyakarta pada 20 Oktober-30 November 2019. Tahun ini, Biennale

bottom of page