top of page
Search

Dimana Antropologi dan Kehutanan Bertemu

Putri Karina Yusuf

Andhika Miftakhul Huda


Hutan, Ekonomi dan Masyarakat

Hutan merupakan sumber daya alam yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada manusia untuk dimanfaatkan secara optimal. Hutan menurut UU no. 41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Keberadaan hutan memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang.


Manusia sebagai makhluk hidup, telah memanfaatkan hutan sebagai sumber daya alam yang serba guna sejak lama sekali. Sumber kayu menjadi bahan utama manusia untuk membuat api dan memenuhi kebutuhan sandang. Sedangkan ekosistem hutan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa berburu dan meramu. Hubungan manusia dengan hutan sudah terjalin sejak manusia membuat api untuk pertama kali dan secara sadar memahami kebermanfaatan hutan. Keberadaan hutan sangat berperan penting dalam keberlangsungan hidup manusia.


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki hutan yang cukup banyak. Indonesia memiliki luas daratan seluas 187,75 juta ha, terdiri dari lahan berhutan seluas 93,95 juta ha dan lahan tidak berhutan seluas 93,80 juta (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2018). Luas hutan yang ada di Indonesia memberikan bukti besarnya ekosistem alami yang dapat dimanfaatkan serta dijaga kelestariannya oleh seluruh warga negara Indonesia.


Prinsip pengelolaan hutan di Indonesia diatur dalam UUPA no. 5 1960 yang pada intinya menyatakan bahwa seluruh kekayaan alam di Indonesia milik negara dan pengelolaannya diperuntukkan bagi kesejahteraan seluruh rakyat. Pemerintah sebagai pemegang otoritas negara bertanggung jawab dalam mengelola manajemen kehutanan yang lestari sehingga dapat dimanfaatkan untuk semua masyarakat. Pemerintah juga bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat dalam menjaga hutan agar tetap lestari, sehingga tidak rusak dan dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lama.


Pemerintah dalam pengelolaan hutan memiliki orientasi pada ekonomi makro. Setelah UUPA dibentuk pada tahun 1960, pemerintah membentuk peraturan mengenai Hak Pengusahaan Hutan (HPH). HPH diberikan kepada BUMN dan perusahaan swasta untuk izin pengolahan dan pemasaran hasil hutan yang berasaskan pada kelestarian hutan. Izin pengusahaan hutan ini diberikan oleh Kementrian Kehutanan dengan jangka waktu 20 tahun. Melalui kebijakan ini, pemerintah mencoba untuk melakukan komersialisasi hutan Indonesia untuk mendapat keuntungan dari investasi.


Sejak tahun 1970 an, izin pengusahaan hutan yang diberikan kepada perusahaan kerap terjadi bentrok kepentingan dengan hutan adat yang dikelola oleh masyarakat setempat. Konflik ini terjadi di beberapa daerah adat, seperti salah satunya yang terjadi pada masyarakat Suku Dayak (Semedi, Pujo. 1992). Permasalahannya terjadi pada tidak adanya komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat adat. Hutan adat yang terlihat seperti hutan rimba dianggap oleh pemerintah sebagai hutan tanpa tuan, sehingga berhasil dikomersialisasi oleh pemerintah melalui pemberian HPH.


Konflik HPH dengan masyarakat adat masih terus terjadi hingga saat ini. Pendekatan industri yang dilakukan pemerintah menjadi persoalan baru yang dihadapi. Belum lagi kerusakan hutan yang disebabkan perusahaan pemilik HPH karena melanggar syarat dan ketentuan. Maka dari itu kami tertarik untuk melakukan diskusi lintas jurusan untuk melihat manajemen kehutanan Indonesia melalui sudut pandang antropologi ekologi dengan kehutanan.


Kehutanan, Antropologi dan Relasinya

Sekilas, Kehutanan dan Antropologi memang dua ilmu yang sangat berbeda dan sangat mungkin bagi seseorang untuk yakin bahwa keduanya tidak memiliki apapun yang dapat didiskusikan bersama. Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia, Kehutanan adalah ilmu yang mempelajari manajemen hutan yang bijaksana. Lalu, dimana keduanya bersinggung?


Manusia telah menggantungkan hidupnya pada hutan sejak awal sejarahnya. Dari mengumpulkan makanan, membuat api, tempat berlindung, hingga kini terciptanya segala bentuk energi dan teknologi yang berasal dari hutan dan menjadi sumber dasar dan utama kehidupan manusia. Yang berawal dengan hubungan sehat di antara keduanya, kini lihatlah kita sekarang. Bila perlu mengulas sejarah lagi, hutan tidak pernah benar-benar membutuhkan manusia. Manusia lah yang tidak dapat hidup tanpa hutan, tidak bisa memulai hidup tanpanya dan tidak bisa mempertahankan hidup pula tanpanya.


Kedatangan manusia hanya membawa kerusakan dan penyakit bagi hutan. Betul, berbagai aksi konservasi dan penyelamatan hutan yang semakin hari semakin aktif dalam menjadi prajurit hutan-hutan dunia memang telah dan terus memberikan dampak positif berlimpah baginya, namun aksi-aksi tersebut tidak akan dibutuhkan di titik awal semua ini kalau bukan karena kerusakan yang dibuat manusia. Dalam arti lain, aksi penyembuhan yang kita lakukan hanya mengobati luka yang dibuat oleh kita juga.


Di sinilah Kehutanan dan Antropologi menyatu. Kehutanan secara singkat mempelajari “bagaimana cara memanfaatkan produk-produk hutan semaksimal mungkin dan sebijaksana mungkin serta sambil melestarikan hutan itu sendiri”, begitulah yang dijelaskan oleh Nadim, mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada yang sedang menduduki semester ke-3. Lagi-lagi dan selalu, manusia menjadi objek dari sejarah dan masa kini. Hutan hanyalah hutan, kumpulan pohon yang menjadi tempat tinggal berbagai makhluk hidup (ekosistem). Pernyataan tadi langsung berubah ketika manusia dimasukkan ke dalam konteks, hutan tidak lagi sekedar hutan. Hutan dengan manusia di dalamnya menjadi hutan yang merupakan sumber daya alam, merupakan batas teritorial, merupakan aset, merupakan kekayaan dan/atau kekuasaan.


Kami percaya bahwa meskipun tiap jurusan berbeda, bahkan berada di lahan yang berjauhan, hal itu dimaksud untuk saling melengkapi. Kehutanan tidak bisa mengeksekusikan ilmu dan hasil penelitiannya dengan maksimal tanpa pendekatan manusia yang merupakan objek dan agen penggeraknya, dan Antropologi tidak dapat menggerakkan objek dan agennya ke arah yang maksimal tanpa ilmu dan hasil penelitian dari Kehutanan yang memang ahli dalam perkara masa depan hutan. Begitu pula dengan jurusan-jurusan lainnya.


Setelah menemukan jembatan dan titik dimana Antropologi dan Kehutanan bertemu dan berkarya bersama, kami bergerak ke diskusi yang lebih dalam mengenai situasi dan masa depan kehutanan Indonesia, baik dari sisi manajemen maupun manusia.


Manajemen Kehutanan Indonesia dan Situasi Moral Indonesia

Pada awal pembahasan telah dijelaskan terkait kebijakan yang dibuat pemerintah dalam pengelolaan kelestarian hutan. Undang-undang Pokok Agraria yang dibentuk pada tahun 1960, dinilai oleh beberapa ahli antropologi kurang pro terhadap masyarakat adat. Manajemen kehutanan di Indonesia oleh pemerintah hanya ditekankan pada pendekatan industri dengan membuka hutan sebagai ladang investasi. Tekanan sosio kultural dari masyarakat adat, ditambah pelanggaran yang dilakukan perusahaan pemilik HPH, membuat manajemen kehutanan Indonesia belum bisa dikatakan baik.


Di luar segala fenomena yang terjadi, kami ingin mengetahui pengelolaan secara teknis melalui sudut pandang kehutanan. Nadim membenarkan segala kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia. Ia mengatakan bahwa kerusakan hutan yang disebabkan oleh perusahaan yang tidak bertanggung jawab juga benar terjadi. Akan tetapi menurutnya kerusakan tersebut tidak serta merta kesalahan teknis, melainkan moral masyarakat yang buruk sehingga melakukan hal di luar teknis.


Peraturan yang sudah ditetapkan menurut Nadim telah melalui berbagai uji materi oleh berbagai ahli dari berbagai bidang. Kebijakan terkait perizinan pengusahaan lahan sebenarnya telah memperhatikan kelestarian alam, hanya saja dalam pelaksanaannya banyak pihak yang tidak pro terhadap kebijakan pemerintah. Baik pihak yang menguasai lahan atau aparat yang bertugas untuk mengawasi, saling bekerja sama untuk merusak hutan. Merusak hutan dalam artian hanya mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dari alam, tanpa mau memperbaikinya kembali.


Di satu sisi kami setuju dengan pendapat Nadim terkait kerjasama antara aparat dengan penguasa hutan dalam perusakan lingkungan. Izin HPH hanya diberikan selama 20 tahun, jika ditambah juga hanya mendapat 10-15 tahun masa tambahan. Perusahaan akan terus menekan produksi untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya sebelum izin HPH habis tenggat. Penekanan produksi menyebabkan lahan menjadi tidak subur sehingga menimbulkan kerusakan hutan. Belum lagi jika penanaman pohon reboisasi yang dilakukan oleh perusahaan pemilik HPH bukan pohon bernilai tinggi. Hal ini akan membentuk hutan yang tidak produktif dan tidak lestari.


Akan tetapi di lain sisi kami kurang setuju terkait kebijakan hutan yang direncanakan dengan baik. Menurut kami ada kalanya perencanaan hutan di Indonesia belum tepat sasaran. Banyak kasus kebakaran hutan karena pemberian HPH kepada perusahaan yang terlalu berlebihan. Belum lagi jika kita melihat neraca ekspor impor terkait hasil hutan, angka ekspor kelapa sawit Indonesia merupakan yang terbesar di seluruh dunia. Angka ini sangat menggiurkan bagi negara apabila perkebunan kelapa sawit terus diperluas. Tekanan ekonomi Indonesia belum diimbangi dengan perencanaan tata kelola hutan yang baik, yang kemudian menyebabkan kebakaran hutan karena maraknya perkebunan kelapa sawit. Nadim tidak memberikan kebijakan atau pengelolaan secara spesifik, ia juga enggan membicarakan soal kelapa sawit.

Penyebab terbesar dari kerusakan hutan Indonesia menurutnya adalah situasi moral orang-orang Indonesia. Masih banyak orang-orang yang berperilaku merusak ketimbang merawat alam Indonesia. Bermula dari buang sampah sembarangan hingga korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam kasus pemberian izin HPH. Semua dilakukan tanpa adanya kesadaran untuk menjaga lingkungan. Menurut Nadim situasi moral yang ada di Indonesia merusak manajemen kehutanan yang dibuat oleh pemerintah menjadi tidak berguna.


Perencanaan kehutanan bagi Nadim sudah ideal, hanya saja pelaksanaannya yang masih dipenuhi pelanggaran. Operasional yang dipenuhi dengan kerusakan lingkungan, menyebabkan Indonesia krisis pendidikan moral. Penanaman nilai cinta lingkungan atau bahaya korupsi tidak tekankan dengan baik oleh masyarakat. Akibatnya orang-orang Indonesia terus melakukan kegiatan yang merusak lingkungan.


Dari Kacamata Kehutanan dan Antropologi

Dari berbagai diskusi yang terjadi, kami dapat simpulkan pandangannya mengenai situasi manajemen dan perlakuan masyarakat Indonesia terhadap hutan dengan satu kalimat; Manajemen baik, eksekusi belum. Sederhana dan masuk akal, kami sangat setuju dengan masalah eksekusi yang belum berjalan baik. Terutama hal tersebut kami dan Nadim percaya dikarenakan oleh moral, nilai dan sifat masyarakat yang masih perlu dibenahi. Namun, setelah itu di sini lah kami dan Nadim menemukan perbedaan dalam pandangan kami, tepatnya di bagian pertama kalimat tadi. Mungkin kami yang belum mengerti karena kami tidak mendalami bidang tersebut atau karena kami dan Nadim memandang masalah ini dari sisi yang berbeda, namun seperti yang sudah kami bahas di bab sebelumnya, kami belum menemukan dimana manajemen hutan Indonesia sudah baik sampai di titik dimana tidak dibutuhkannya perubahan besar, tidak seperti yang dipercaya Nadim.


Kami yang melihat dari kacamata Antropologi dan lebih tepatnya Antropologi Ekologi, yang kerap membahas dan membandingkan manajemen hutan Indonesia dan Jerman masih sangat skeptis dengan situasi kehutanan Indonesia hari ini. Dasar ini lah yang membuat kami kaget ketika mendengar Nadim, seseorang yang memang mendalami bidang tersebut, menyatakan bahwa manajemen kehutanan Indonesia sudah baik. Dimanakah kedua kacamata ini gagal memandang? Siapa yang benar dan siapa yang masih keliru? Kalau manajemen kehutanan Indonesia betul sudah baik seperti apa yang Nadim katakan berulang kali dalam percakapan kami dan tidak perlu rombakan besar-besaran, untuk apa kami masih masuk ke kelas Antropologi Ekologi untuk menganalisis dimana Jerman membuat keputusan yang tepat dan dimana Indonesia belum berhasil mencapainya?


Selama diskusi ini berlangsung, tidak dapat kami hindari fakta bahwa Nadim terlihat sangat optimis terhadap manajemen dan masa depan kehutanan Indonesia. Ketika kami bertanya “mungkinkah datang masa dimana kehidupan manusia mengutamakan kehidupan hutan dibandingkan keuntungan material?”, Nadim dengan percaya diri menjawab iya, namun dengan tambahan bahwa masa itu masih jauh dan akan sulit untuk digapai, perlu adanya perubahan besar dalam kesadaran manusia serta cara kita melihat alam terutama hutan-hutan di bumi ini. Akhirnya kami sepakat lagi dalam hal ini,


Kami bertiga juga sepakat mengenai satu hal lain, yaitu bahwa masalah terbesar dan yang menghambat Indonesia dari perbaikan hutan yang signifikan perlu ditarik kembali ke individu masyarakatnya. Selain moral dan etika yang menyelimuti pengambilan keputusan serta hal yang menghalangi pandangan masyarakat dari memprioritaskan keselamatan lingkungan dan hutan Indonesia adalah nilai-nilai dan sifat individunya baik dalam skala personal maupun kelompok. Misalnya, masih banyaknya orang yang membuang sampah sembarangan, menggunakan produk tidak ramah lingkungan hingga masih banyaknya kasus-kasus korupsi yang terjadi. Penyalahgunaan kekuasaan dan kepemilikan uang menjadi hambatan besar bagi penyelenggaraan negara yang ramah hutan dan lingkungan pada umumnya, misalnya pada kasus-kasus penjualan tanah dan sumber daya alam hutan yang tidak atau belum bijaksana.


Harapan dan Rencana Masa Depan

Dari percakapan kami bersama Nadim, ia tidak terpikirkan akan solusi jangka pendek yang dapat atau perlu kita lakukan dalam waktu dekat, namun kembali ke topik permasalahan yang telah dibahas di bab sebelumnya, menurut Nadim diperlukan kesadaran yang datang dari diri masyarakat terlebih dahulu akan pentingnya hidup bersama alam, bukan dari alam. Hal ini dapat dicapai dengan menumbuhkan nilai dan pemahaman kepada anak muda dan anak-anak sejak dini dan perlu berawal tidak hanya dari media dan sekolah tapi juga keluarga. Pembekalan orang tua masa depan mengenai nilai hutan dalam kehidupan manusia menjadi kunci utama dari perubahan besar yang akan dan dapat kita capai bersama. Bukan lagi dari mata ekonomi, namun dari mata kemanusiaan dan kesadaran akan identitas sebagai sesama makhluk hidup. Juga, perlu mengingat sifat ketergantungan kita terhadap hutan untuk bertahan hidup yang tidak bisa dielakkan.


Selain menyadari nilai hutan yang sebenarnya, nilai yang tidak bisa diwakilkan dengan angka yang tertera di uang, perlu ditumbuhkan pula kesadaran akan krusialnya mengutamakan kepentingan bersama dibandingkan pribadi. Hal ini melekat dengan kasus-kasus dimana sumber daya alam di hutan diperjualbelikan atau dirampas begitu saja demi kepentingan kelompok kecil atau pribadi untuk keuntungan jangka pendek. Bila kami perlu menyambungkan kasus dan situasi perilaku masyarakat Indonesia terhadap hutan saat ini, yang terjadi adalah apa yang disebut sebagai Tragedy of the Commons atau Tragedi Kepemilikan Bersama. Yang dimaksud dengan Tragedy of the Commons adalah fenomena dimana suatu masyarakat atau kelompok berbagi satu sumber daya yang sama untuk kelangsungan hidupnya, namun setiap individu memanfaatkan atau mengeksploitasi sumber daya dengan seenaknya tanpa memikirkan orang lain dan kelangsungan sumber daya tersebut. Dalam arti lain, egois dan serakah; mementingkan keuntungan pribadi sebelum rugi karena tidak tersisa jatah. Bila fenomena ini terhindar, yang akan terjadi adalah jaminan bagi setiap pihak akan bagian yang dibutuhkan atau secukupnya untuk hari ini, besok, lusa dan masa yang akan datang dibandingkan mendapat bagian yang melimpah hari ini atas dasar rakus dan kosong di hari esok.


Pemikiran seperti inilah yang sedang dan masih terus menjadi virus di budaya menjaga lingkungan dan hutan Indonesia. Padahal bila semua orang mementingkan keuntungan pribadi yang bisa didapatkan hari ini saja, besok sumber daya tersebut akan habis dan ketika hari dimana sumber daya tersebut punah, setiap pihak baik yang mengeksploitasi baik yang tidak akan merasakan kerugiannya.


Setelah mendiskusikan banyak mengenai kehutanan Indonesia, kami menyelipkan pembicaraan mengenai para agen perubahan masa depan; mahasiswa. Kami dan Nadim membahas bagaimana masih banyak mahasiswa yang tersesat di jurusan-jurusan yang tidak diinginkan mereka, terutama jurusan kami bertiga. Kemudian sebuah pikiran muncul dan kami bertiga setuju bahwa perubahan, khususnya dalam kasus masa depan hutan yang lebih sehat, bila menjadi tanggung jawab siapapun maka jatuh ke tangan kami. Mahasiswa-mahasiswi kehutanan yang ahli dalam bidangnya serta mahasiswa-mahasiswi Antropologi yang ahli dalam objeknya; manusia. Namun, bagaimana hal itu dapat tercapai kalau di dalam penggerak intinya saja masih banyak prajurit yang setengah hati dalam berperang? Bila kamilah tim utama dan terdepan dari gerakan ini, tim yang penuh dengan anggota setengah hati tidak akan cukup untuk membawa masyarakat ke masa depan yang lebih baik; kehidupan yang mementingkan kesehatan bumi, kehidupan yang mementingkan kesehatan hutan.


Kesimpulan

Setelah menggali lebih dalam mengenai situasi dan masa depan hutan Indonesia melalui dua kacamata di atas, kami menemukan beberapa poin penting yang perlu diperhatikan dalam membangun masa depan kehutanan Indonesia yang lebih baik, sehat dan berkelanjutan.


Pertama-tama, perlu dipertimbangkan bahwa sebenarnya mungkin perjalanan kita menuju situasi tersebut sudah lebih dekat dari yang kita kira. Langkah pertama yang berupa manajemen kehutanan yang baik telah dicapai dan kini saatnya kita melaksanakan tahap kedua, menanamkan kesadaran dan wawasan masyarakat Indonesia akan pentingnya hutan dalam kehidupan kita. Namun, hal ini tidak berarti manajemen kehutanan Indonesia sudah sempurna. Seiring berjalannya proses, manajemen kehutanan Indonesia perlu terus dipantau dan diperbarui sesuai dengan zaman dan keadaan. Peningkatan dan penyempurnaan menjadi tugas yang berjalan beriringan dengan tahap kedua tadi.


Walau kami setuju kami penggerak utama dari perjalanan menuju masa depan kehutanan Indonesia yang lebih baik, perubahan dan inisiatif perlu datang dari setiap individu masyarakat Indonesia. Perubahan baik melalui aksi makro seperti pendirian organisasi penanaman pohon, ikut serta dalam konservasi hutan atau menggerakkan massa dalam membela kebaikan hutan, atau pun tindakan mikro seperti memperhatikan pembuangan sampah dan mengurangi penggunaan produk tidak ramah lingkungan. Semua harus bekerjasama menciptakan lingkungan alam yang lestari, bukan berdiam memikirkan ego pribadi.


Lagi-lagi, masyarakat Indonesia tidak bisa bergerak sendiri-sendiri dalam misi nasional ini. Rencana paling sederhana tetapi sangat krusial yang dapat kami berikan adalah memaksimalkan kerja bersinergi antara berbagai bidang keilmuan, yang dalam kasus ini adalah antara Antropologi dan Kehutanan demi mencapai pelaksanaan rencana-rencana penyelamatan lingkungan yang lebih maksimal dan menyeluruh. Manajemen kehutanan yang baik harus dilaksanakan bersama dengan berbagai sudut pandang. Keterbukaan pemerintah juga sangat diperlukan untuk menghindari kejahatan yang tidak terlihat.


Kami memiliki harapan positif dalam melihat pembangunan manajemen kehutanan Indonesia. Walaupun melihat kerusakan alam yang terjadi saat ini, kami tetap optimis Indonesia memiliki masa depan yang baik. Kami sebagai pemangku masa depan siap untuk melaksanakan tanggung jawab terhadap lingkungan. Bagi kami, menjaga lingkungan bukanlah tuntutan negara semata, melainkan panggilan moral yang tumbuhnya dalam hati.

Daftar pustaka

Semedi, Pujo. 1992. Masyarakat Dayak, Perusahaan HPH, dan Hutan di Kalimantan Barat. Buletin Fakultas Kehutanan no. 4, 54-67.

277 views0 comments

Recent Posts

See All
bottom of page